(Sebelumnya: Danse Macabre Bagian 1)
Bagian kedua dari tema Danse Macabre menghadirkan ulasan singkat tentang Musik Kematian dan Virtuoso Franz Liszt. Adapun virtuoso adalah keahlian dan penguasaan teknik seorang musisi dalam membawakan karyanya. Keduanya–baik musik kematian dan virtuoso Franz Liszt–merupakan dua pilar penting pada perkembangan seni abad 19 karena sebab sebagai berikut:
(1) Tema kematian sangat diminati oleh para seniman Romantik abad 19, termasuk oleh para komposer dan musisi. Era Romantik yang ditandai oleh hadirnya eksposisi emosi, kerap menggunakan tema kematian dalam alusinya, karena jujur saja, kematian merupakan topik yang mampu menggugah emosi dengan mudah. Kegandrungan ini menghantarkan para seniman Romantik pada pengangungan akan segala bentuk seni yang berasal dari abad 14 (atau dikenal dengan sebutan medieval era)–yaitu sebuah masa ketika kematian menari di jalanan Eropa dalam bentuk wabah hitam (black plague). Kematian yang mendera melahirkan genre seni yang dikenal dengan istilah danse macabre (tarian kematian). Genre ini muncul dalam bentuk mural, lukisan, dan pahatan yang secara riil menampilkan kematian dalam bentuk telanjang, juga dalam bentuk musik, tarian rakyat hingga dongeng anak-anak. Pada abad 14, danse macabre adalah sebuah mekanisme koping masyarakat atas himpitan kematian yang begitu menyesakkan. Namun bagi masyarakat (seni) abad 19, danse macabre adalah sumber inspirasi yang memberi jalan pada kelahiran seni Romantik.
(2) Adapun pilar kedua mengacu pada virtuoso Franz Liszt, seorang musisi asal Hungarian yang dapat dinyatakan sebagai “superstar” pertama dalam dunia pertunjukkan musik. Hal ini disebabkan karena sebelumnya, apresiasi terhadap virtuoso sebuah karya musik diberikan pada kompleksitas komposisi musik, dan bukan pada keahlian personal seorang musisi. Baru ketika memasuki pertengahan abad 19, dua orang maestro musik yaitu Paganini (Violinist) dan Liszt (Pianist), mengubah pola apresiasi musik tersebut. Musisi yang pada awalnya hanya instrumen pertunjukkan–pengiring lagu dan kerap ditempatkan pada posisi gelap panggung pertunjukkan–bergeser menjadi pusat perhatian dan menempati posisi sebagai seniman heroik yang mampu menggetarkan panggung pertunjukkan. Dalam industri musik modern kondisi ini adalah hal yang biasa, namun pada konteks abad 19, penampilan solo adalah sebuah tindakan revolusioner. Tanpa revolusi yang dilakukan Paganini dan Liszt, sulit membayangkan bentuk apresiasi musik yang berlaku saat ini.
Pembahasan kedua pilar di atas menghantarkan kita pada ulasan danse macabre dalam seni musik. Liszt yang juga keranjingan tentang segala tema terkait kematian–Walker (1983) bahkan menggambarkannya kerap menghadiri eksekusi seorang pesakitan untuk menangkap esensi kematian–tampil sebagai virtuoso melalui interpretasinya atas Dies Irae, nyanyian Gregorian berasal dari abad 13 yang digubah oleh Thomas of Celano. Interpretasi musik kematian ini, atau Liszt menyebutnya “paraphrase”, dikenal dengan judul Totentanz yang memiliki arti tarian kematian dalam bahasa Jerman. Totentanz digubah Liszt pada 1849 dan mengalami beberapa kali revisi antara 1853-1859. Dies Irae atau the Day of Wrath merupakan sebuah puisi berbahasa latin dengan rima dan nada yang berkisah tentang hari penghakiman. Sejak digubah, entah berapa ratus kali Dies Irae diinterpretasi ulang. Diantaranya tetap mengacu pada fungsi sakral dengan konteks biblikal, namun terdapat pula interpretasi lepas yang mencerabut makna relijius dan menjadikannya musik latar semata (Brooks, 2003). Contoh interpretasi lepas Dies Irae dapat ditemukan pada musik pembuka horror Stanley Kubrick, The Shining.
Lalu mengapa membahas Totentanz karya Liszt, dan bukan interpretasi lainnya? Pertama tentu mengacu pada virtuoso Liszt yang sulit mendapatkan tanding. Kedua, karena selain mengacu pada Dies Irae, Totentanz karya Liszt juga merupakan interpretasi pahatan Danse Macabre karya Hans Holbein the Younger (dipahat antara 1523–26). Paduan antara nada gelap Dies Irae dan studi karakter dalam pahatan Holbein, diterjemahkan Liszt dalam 9 variasi Totentanz dengan penggambaran sebagai berikut: (a) panggilan kematian; (b) festival kematian; (c) kematian yang mengerikan; (d) kematian yang sunyi dan lembut; (e) ujung mengenaskan dari kematian manis seperti gula; (f) musik seperti paku pada peti mati; (g) kematian personal; (h) kematian massal di jalanan; dan (i) tarian kematian (Greenberg, 1998). Tidak dapat dipungkiri bahwa penggunaan seri pahat Holbein sebagai landasan visual, telah memberi karakter dalam setiap variasi Liszt dalam Totentanz. Sedangkan nada dasar Dies Irae, yang menjadi landasan setiap variasi, berperan layaknya kematian itu sendiri: hadir dalam setiap kesempatan.
Sejarah musik selanjutnya mencatat bahwa komposisi dan virtuoso Liszt tidak hanya diletakkan pada keberhasilan interpretasi musik kematiannya saja. Namun Totentanz karya Liszt menjadi istimewa karena merupakan sandingan pilar pengaruh danse macabre dan virtuoso sang musisi yang mengubah arah apresiasi musik. Soal tonalitas jangan ditanya, jarang ada yang mampu menyaingi nada kelam Totentanz karya Liszt–termasuk bila dibandingkan dengan Danse Macabre versi Camille Saint-Saëns yang terasa jauh lebih “ringan”. Dengan kata lain, Totentanz karya Liszt adalah sebuah monumen interpretasi atas syair Dies Irae yang berbunyi: The day of wrath, that day, will dissolve the world in ashes. Alhasil, kita dibuat merinding karenanya.
Musik Kematian, Virtuoso Franz Liszt, Asal Pengaruh dan Bandingannya
Gregorian Chant – Dies Irae
Franz Liszt – Totentanz
Camille Saint-Saëns – Danse Macabre
Sumber Bacaan:
Brooks, E. (2003). The Dies Irae (“Day of Wrath”) and Totentanz (“Dance of Death”): Medieval Themes Revisited in 19th Century Music and Culture. Inquiry, Vol. 4. Article 5.
Greenberg, R. (1998). Concert Masterworks. Chantilly, VA.: The Teaching Company Limited Partnership
Walker, A. (1983). Franz Liszt: The Virtuoso Years 1811-1847. New York: Faber and Faber.
kontak via editor@antimateri.com