“Tidak ada bir tersisa di kota ini, jadi mulai sekarang biasakanlah menelan kesepianmu bulat-bulat”
Puisi – yang saya tulis entah kapan – dengan judul yang kurang lebih sama dengan tulisan ini telah terbit malu-malu beberapa bulan yang lalu di kolom pinggiran sebuah koran lokal. Bagaimana nasibnya kemudian, entah, saya tidak [mencari] tahu – biarlah ia menjalani takdirnya sendiri. Namun apa yang terjadi adalah, ia – puisi itu – muncul kembali di depan pintu, sempoyongan dan dengan seenaknya meminta untuk dijadikan prosa. Tidak saya gubris permintaannya – memangnya saya penulis macam apa, menurut saja dengan keinginannya! – sambil pura-pura tidak memperhatikan, saya onggokan dia di sudut meja. Sejam berlalu, dan ia mulai bercerita tentang Edvard Munch dan kota yang ia lalui selama menggelandang jadi puisi buangan – yang terakhir itu sindiran khas puisi yang (merasa) dilupakan penulisnya.
Lukisan Mabuk Edvard Munch
Edvard Munch adalah pelukis terbaik dalam ide menuangkan kemabukan keatas kanvas. Mungkin karena ia selalu mabuk seperti yang diceritakan dalam biografinya, maka ia bisa sangat menjiwai kondisi tersebut. Atau mungkin karena mabuk adalah sebuah kondisi dimana jiwa manusia begitu terbuka – karena menurutnya: just as Leonardo studied human anatomy and dissected corpses, so I try to dissect souls[1]. Dari studinya tersebut tiga diantara lukisannya menempati jajaran lukisan paling terkenal dalam sejarah seni dunia: the scream, the sick child, the dance of life – yang ketiganya merupakan eksibisi jiwa manusia dalam berbagai bentuk. Namun, entah mengapa, jiwa yang ia ungkap dalam lukisannya selalu murung – yang menyebabkan para kritikus seni berpendapat bahwa lukisan Munch tidak lain adalah cermin, bukan bagi objek yang ia lukis, tapi bagi dirinya sendiri: Munch dissect his own soul.
Atas alasan personal, ujar si puisi tidak tahu diri itu, ia begitu menyukai pelukis yang satu ini – terutama lukisannya yang berjudul The Day After (1894-1895) yang selalu membuatnya kagum: bagaimana mabuk bisa begitu indah.
Edvard Munch memiliki sensitivitas di atas rata-rata yang membuatnya bisa bersentuhan dengan Dionysus, ujarnya. Munch dalam The Day After bukan melukis kemabukan, tapi menggambarkan ektase, sebuah fase pencapaian spiritual dengan cara mengurangi kesadaran (indrawi) dan menyerahkan diri sepenuhnya untuk tenggelam (dalam kemabukan) – itulah mengapa wajah perempuan di dalamnya begitu tenang, hampir mendekati kematian, tidakkah ia membuatmu iri?.
Lagi-lagi celotehannya tidak kupedulikan – dasar puisi, sisi emosional membutakan fakta bahwa perempuan dalam lukisan itu adalah seorang pelacur mabuk yang dilukis Munch entah untuk alasan apa, dan dua gelas bir di meja berbicara banyak, lebih dari sekedar wajah ekstasi. Tapi mau tidak mau harus kuakui: wajah perempuan itu begitu tenang dengan warna yang tidak bisa diuraikan oleh kesadaran.
Kota Para Pemabuk
“Potongan senja di sudut kota
dalam bingkai gelas kaca soda dingin,
karena wiski terlalu dini disajikan,
dan bir, katamu
hanya diminum bersama kesepian.
Aku kesepian, kataku
beri aku segelas bir dingin dan sekantung kacang
untuk ku makan bersama kepedihan!.
Tapi tidak kudapatkan segelas bir dingin,
hanya kerlingan sinis pelayan
dan pandangan miris kucing yang lewat
di bawah meja.”
Dengan naifnya si puisi memesan bir sore itu, tanpa ia tahu, bir di sini langsung habis ketika memasuki batas kota. Kota itu terkenal di seantero negeri sebagai kota pemabuk yang selalu kekurangan pasokan bir. Si puisi saja yang tidak tahu akan hal itu, padahal memasuki gerbang kota telah terpampang spanduk bertuliskan: Kota Pemabuk, yang tidak mabuk dilarang berkomentar! – jadilah si puisi kesepian seorang sendiri, komentar-komentarnya tidak ada yang menggubris lantaran ia tidak mabuk. Ia mencoba berbagai macam cara, bertanya kepada siapapun untuk mencari bir merek apapun, namun semua sudah kandas – menurut pemilik kedai, yang paling laku bir merek agama, yang populer kedua merk ideologi, tapi yang merk ilmu pengetahuan (yang agak mahal walo kualitasnya sama saja) sekarang habis juga. Sejujurnya disini tidak ada yang peduli kualitas, yang penting memabukkan.
Mendengar itu ia harus mengulum kecewanya, padahal si puisi begitu ingin mabuk, ia teringat pada wajah dalam lukisan Edvard Munch – saujana ektase yang tenang. Namun alangkah terkejutnya ketika suatu sore ia melihat karnaval para pemabuk – karena ternyata mabuk di kota ini memiliki wajah yang sama sekali berbeda. Tidak ada ketenangan ekstase disana, jauh dari yang ia bayangkan. Bir yang menjadi katalis telah membuat mereka begitu beringas, mereka [hanya] menginginkan lebih banyak bir untuk lebih mabuk lagi, lantas tenggelam bersama-sama di dalamnya – tanpa arah. Ia lantas teringat Rumi yang pernah berkata, bahwa untuk melangkah tanpa kaki adalah terbang, tapi melangkah tanpa arah adalah gila – dan yang ada dihadapannya adalah disorientasi massal[2], realita mengerikan sebuah kota yang [di]mabuk bir dengan kualitas rendahan. Alhasil, mereka mabuk tanpa tahu kenapa mereka mabuk, bahkan beberapa tidak sadar sedang mabuk, hingga ada yang rela mengorbankan nyawa untuk mabuk.
Melihat tontonan ini si puisi hanya bisa ternganga, dan karena menyadari kata-katanya tidak akan didengar, maka ia menelan kesepiannya bulat-bulat lalu pergi meninggalkan kota – hingga akhirnya kini ia teronggok di sudut meja, berhadapan (kembali) dengan penulisnya yang sudah kehilangan minat.
Keterangan:
[1] May, Susie, 2005, Edvard Munch: Educational Resource, National Gallery of Victoria
[2] Perbincangan dengan Hikmawan Saefullah, tentang gejala sosial dan disorientasi (pemikiran) di negeri kita tercinta
Keterangan Gambar:
[1] Duane Michals, There are things are not seen on these photograph
[2] Edvard Munch, The Day After (1894-1895)
kontak via editor@antimateri.com
kita semua sudah dimabukkan. mabuk yg tak terkontrol. 🙂
menarik… 😀 😀
(y)