Banyak perihal mengkhawatirkan dari seorang Kenzaburo Ōe–atau setidaknya saya bisa menyebutkan tiga diantara daftar panjang hal-hal mengkhawatirkan sang penulis kanonik Jepang satu ini. Persoalan mengkhawatirkan pertama adalah bahwa karya-karya Ōe tidak dikenal luas di luar Jepang. Bahkan John Nathan (1994), seorang penerjemah sastra jepang kawakan, mengemukakan bahwa banyak dari pembaca jepang sendiri kewalahan menghadapi karya Ōe yang cenderung kompleks dan mengganggu (rasa nyaman). Jajaran karyanya baru dilirik banyak penerbit asing dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa setelah Ōe memenangkan nobel sastra pada tahun 1994 melalui karyanya tentang trauma puitis generasi jepang paska bom atom.
Bentuk mengkhawatirkan kedua hadir dari fakta bahwa karya Ōe tidak menawarkan eksotisme tradisional (sebagaimana mewujud dalam karya Kawabata) ataupun erotisme magis sekaligus janggal (yang selalu muncul dalam karya Mishima). Berbanding terbalik dengan keduanya yang menjadi pijakan fantasi pembaca akan jepang, Ōe hanya menawarkan realita–sesuatu yang jauh dari mimpi. Seakan tidak cukup, dua hal mengkhawatirkan tadi masih ditambah perkara lain, yaitu kecenderungan Ōe dalam menghidupi apa yang dikhawatirkan oleh Basil Halward dalam The Picture of Dorian Gray karya Oscar Wilde: bahwa seniman yang terlalu personal dengan karyanya, berada pada jalur penghancuran diri tanpa bisa kembali.
Kira-kira demikianlah gambaran yang terbersit ketika membaca karya-karya Ōe. Dibandingkan dengan penulis jepang lainnya, Ōe memiliki cara tersendiri dalam perihal membedah emosi para tokoh dalam karyanya. Kelihaiannya ini jugalah yang menghantarkan Ōe mendapatkan pengakuan oleh berbagai kalangan. Sebagai contoh, eksposisi emosional terlihat jelas dalam karya pertamanya yang berjudul An Odd Job. Cerita pendek ini berkisah tentang seorang pemuda yang bekerja paruh waktu sebagai pembunuh anjing (sisa eksperimen laboratorium)–sebuah pekerjaan yang jauh dari simpatik. Namun melalui kelihaian Ōe, rasanya pembaca (bahkan seorang pecinta anjing) akan tergerak untuk memahami kondisi sang pemuda dan memberikan (sedikit) simpati padanya. Simak saja kutipan berikut:
“Helplessly leashed together, looking alike, hostility lost and individuality with it—so much like us, ambiguous Japanese students. But I wasn’t much interested in politics. I wasn’t much interested in anything. I was too young and too old to be involved in anything. I was twenty; it was an odd age, and I was tired. I quickly lost interest in that pack of dogs, too (An Odd Job, 1957)”.
Adapun karya monumental Ōe baru hadir tujuh tahun kemudian melalui sebuah novel berjudul A Personal Matter (1964). Novel ini bercerita tentang seorang ayah yang menyusun siasat untuk membunuh putranya sendiri yang terlahir dalam kondisi gagal otak. Plot menjadi mencekam ketika mengetahui bahwa Ōe menulis A Personal Matter persis setelah anak pertamanya lahir dalam kondisi serupa. Sebagai pembaca, sulit untuk menerima bahwa tautan tersebut hanya kebetulan semata. Dan sebagai pembaca pula kita menyaksikan bagaimana Ōe membedah realitanya sendiri–sebuah proses pergulatan panjang antara kemarahan dan penerimaan yang bisa berujung pada kegilaan.
Bird, tokoh utama dalam A Personal Matter, untungnya terlepas dari kegilaan dan menemukan kedamaian melalui penerimaan total pada kondisi kesehatan sang anak, Pooh. Namun nampaknya ramalan Basil (tentang seniman yang terlampau dekat dengan perihal personal) menjelma nyata bagi Ōe: karena hampir disetiap karya Ōe selanjutnya, kita berhadapan dengan realita kedap udara yang membuat sesak para pembaca. Empat tahun setelah A Personal Matter dirilis, Ōe kembali menghentak melalui kumpulan dongeng “mengkhawatirkan” lainnya. Kali ini berjudul Teach Us to Outgrow Our Madness (1968), sebuah kumpulan cerita yang berkutat pada realitas yang membebani manusia sedemikian rupa. Antologi ini terdiri dari empat cerita: The Day He Himself Shall Wipe My Tears Away (tentang seorang pasien kanker yang terbaring menunggu kematian), Prize Stock (tentang kebingungan seorang anak dalam mencerna realita yang jauh dari bayangan), Teach Us to Outgrow Our Madness (sebagaimana A Personal Matter, cerita ini berkisah tentang hubungan ayah dan anak yang menderita cacat mental), dan terakhir Aghwee The Sky Monster (tentang seorang komposer yang menjadi gila setelah kehilangan anaknya). Repetisi plot tentang relasi ayah dan anak semakin memperjelas gaya penulisan Ōe: yaitu dengan mengobrak-abrik emosinya sendiri untuk bersentuhan dengan esensi emosional manusia. Simak bagaimana “mengkhawatirkannya” Ōe dalam mengungkapkan emosi sang protagonis dalam Teach Us to Outgrow Our Madness:
The fat man (let it be repeated that at the time, exhausted, he was thinner than ever in his life) took the registration form nonetheless and, recalling from the Latin vocabulary he had learned at college a word which should have related both to death and idiocy, wrote down the character for “forest” and named his son Mori. Then he took the form into the bathroom, sat down in one of the stalls, and began to giggle uncontrollably. This ignoble seizure was due in part to the state of the fat man’s nerves at the time. (Teach Us to Outgrow Our Madness, 1968)
Dalam cerita di atas, manusia disudutkan pada kondisi yang membuatnya (wajar) menjadi gila, dan melalui karyanya, Ōe seakan mencari jawab atas remedi kegilaan tersebut. Keberanian Ōe dalam membedah emosi personal sulit untuk menemu tandingannya, walau keberanian serupa mengingatkan saya pada lukisan ekspresionism karya Edvar Munch atau “catatan bawah tanah” Dostoyevski. Sang penulis sendiri mengakui besarnya pengaruh sastra eksistensialisme Eropa bagi karya tulisnya–namun tentu jejak budaya khas Asia memberi warna lain pada karya-karya Ōe. Berbeda dengan gaya eksistensialisme Eropa yang merayakan individualitas dalam absurditas (dengan menentang berbagai konsensus sosial dan berpijak pada filosofis intelektual), karya-karya Ōe tenggelam dalam individualitas yang hadir karena realita menghantar manusia pada kondisi yang demikian. Nathan (1994) menyatakan, bahwa eksistensialis Ōe tidak menawarkan apa-apa kecuali gambaran tentang bagaimana manusia dapat bertahan tanpa kehilangan harga diri (baca: kewarasan).
Karya Ōe sendiri tidak terbatas pada novel dan cerita pendek, karena terdapat juga karyanya dalam bentuk essay, catatan akan kejadian dan kumpulan naskah pidato. Lucunya, walaupun sejak muda Ōe aktif dalam politik, karyanya jarang menggunakan jargon politik (ia lebih menyukai kutipan bait puisi antah berantah yang sulit untuk dilacak asalnya). Ōe selalu membuat tohok-tokohnya terlalu sibuk (atau terlalu depresi) untuk sekedar memikirkan persoalan politik. Dan kalaupun Ōe mengangkat narasi politik, ia akan mengambarkannya dengan cara yang sangat jenaka. Karyanya yang memenangkan nobel, A Portrait of the Postwar Generation, hadir dalam nuasa tersebut. Dalam karya tersebut, Ōe mengolok-ngolok Kaisar dengan gaya kekanakan: The adults sat around their radios and cried. The children gathered outside in the dusty road and whispered their bewilderment. We were most surprised and disappointed by the fact that the Emperor had spoken in a human voice. One of my friends could even imitate it cleverly. Dan bagi seorang Jepang tulen, mengolok-ngolok Kaisar tentu adalah gelagat yang juga mengkhawatirkan.
Sumber Bacaan:
Kenzaburo Ōe, 1994, A Personal Matter, Grove Press, New York
John Nathan, 1994, “Introduction” dalam Kenzaburo Ōe, Teach Us to Outgrow Our Madness, Grove Press, New York
Kenzaburo Ōe, 1999, On Politics and Literature: Two Lectures by Kenzaburo Ōe, The Regents of the University of California and the Doreen B. Townsend Center for the Humanities
kontak via editor@antimateri.com