Francis Bacon: The Violence Presence

Tidak banyak lukisan yang mampu untuk melampaui pandangan dan langsung menyasar “nervous system”. Untuk lukisan seperti ini, penilaian tidak lagi ditentukan oleh pertanyaan: dimana letak keindahannya?, tapi oleh respon nilai si pemandang. Dengan kata lain, lukisan model ini mampu memunculkan sensasi, dan bukan sekedar takaran estetis. Lukisan Francis Bacon berada pada jajaran ini. Pernyataan Bacon sendiri tentang lukisannya adalah pernyataan putus asa seorang pelukis yang didikte oleh karyanya. Ujarnya: I’m just trying to make images as accurately off my nervous system as I can. I don’t even know what half of them mean. I’m not saying anything. Whether one’s saying anything for other people, I don’t know. Banyak pengamat seni yang lalu mengkritisi keengganan Bacon dalam memaknai karyanya. Tapi, akal bulus Bacon (untuk berpura-pura naif) terendus oleh sastrawan Lawrence Gowing (dalam esay The Human Presence, 1989) yang menyatakan bahwa ketika Bacon berkata demikian, objek sebenarnya bukanlah lukisan, tapi justru si pemandang. Melalui pembacaan ini, Bacon menurunkan derajat subjek si pemandang (yang seringkali menghabisi makna lukisan melalui interpretasi semena-mena), menjadi objek yang tunduk pada impul dan reaksi saraf bawah sadar. Sehingga cara terbaik menikmati lukisan Bacon bukan dengan berdiri dihadapannya–tapi di pojok ruangan, karena pertunjukkan sebenarnya tidak dipajang di dinding, tapi bergerak di seantero galeri. Pembacaan ini lebih masuk akal daripada pandangan bahwa “Bacon tidak tahu apa-apa tentang lukisannya”. Figurnya terlampau komplek untuk dikategorikan pada kalangan pelukis lugu yang berharap untuk diakui dan disandingkan dengan aliran tertentu. Ketidaksengajaan dalam lukisan Bacon adalah sebuah bentuk kesengajaan. Namun, tentu, tidak semua kritikus lukisan setuju tentang pandangan ini; oleh karenanya, selama bertahun-tahun (ia mulai melukis pada tahun 1925) Bacon hanya dikenal sebagai pelukis sensasional yang melukis objek-objek mengerikan terdiri dari potongan tubuh manusia. Hingga terjadilah pembunuhan masal di Nagasaki dan Hiroshima pada tahun 1945. Tragedi bom atom membuat masyarakat gamang–dan pada saat inilah lukisan-lukisan Bacon memberi cerminan realita yang dipenuhi oleh rasa ngeri dan ketakutan absurd. Lukisannya menjadi penanda jaman kala itu, walau lukisan Bacon sendiri tidak ditujukan sebagai kritik perang, namun ternyata mampu menjadi simbol bagi dunia tanpa tuhan, dimana tubuh manusia kehilangan makna transendennya dan direduksi hanya sebagai seonggok daging. Melihat kondisi yang demikian–sedikit saran saja–ada baiknya lukisan-lukisan Bacon dikonsumsi dalam keadaan sadar, karena itupun sudah mampu membawa mimpi buruk.

lukisan Francis Bacon 2
Head IV (Man with a Monkey), 1949
lukisan Francis Bacon 3
Painting, 1946 (Full)
lukisan Francis Bacon 4
Three Studies for Figures at the Base of a Crucifixion, 1944
lukisan Francis Bacon 7
Screaming Pope, 1950
lukisan Francis Bacon 8
Figure Study II, 1945
lukisan Francis Bacon 9
Dying on the Toilet, 1973
Crucifixion, Lukisan Francis Bacon
Francis Bacon, Crucifixion 1933
Second Version of ‘Painting’, Lukisan Francis Bacon
Second Version of ‘Painting’, 1946

Sumber Gambar:
Francis Bacon Paintings

Sumber Bacaan:
Gowing. L. (1989). Francis Bacon: The Human Presence. Francis Bacon: an exhibition, Hirshhorn Museum and Sculpture Garden, Smithsonian Institution in association with Thames and Hudson.
Mordka, A. (2014). Aesthetic Qualities of Francis Bacon’s Canvases and the Issue of Value Response. Kultura. 9 (1), 5–21.

Share on:

2 thoughts on “Francis Bacon: The Violence Presence”

Leave a Comment