Secret Criminal in Our Midst

Revolusi, biasanya tidak pernah akan terekam televisi. Ini wajar saja, mengingat kecenderungan pertahanan diri sebuah sistem (baik politik, ekonomi, sosial, atau budaya) akan sebisa mungkin meredam gagasan yang dianggap mengancam status quo. Revolusi, dalam konteks ini layaknya kotak pandora yang telah dibuka: ia membebaskan ide alternatif yang tidak mungkin untuk ditarik ulang dari kesadaran masyarakat. Banyak rejim intelektual ataupun politik telah berjatuhan gara-gara ulah para revolusioner, akibatnya Galileo Galilei dihukum mati sedangkan buku-buku Jean Jacques Rousseau dilarang beredar. Dalam rejim seni pun sama saja, pemikiran progresif selalu diasingkan: seperti anti-moralist Marquis De Sade atau lukisan-lukisan Van Gogh yang luput dari perhatian. Namun, terdapat pengecualian dalam sejarah revolusi seni di Jepang. Melalui strategi jitu revolusi avant-garde Genpei Akasegawa yang biasanya tampil di teater-teater bawah tanah, mampu meraih perhatian publik dan menjadi salah satu corong kritik terhadap kapitalisme.

Gegap gempita kritik seni ini merupakan bagian dari proses persidangan panjang antara tahun 1964 hingga 1970 yang dikenal dengan sebutan “Thousand-yen Bill Incident”. Terdakwanya tidak lain daripada Akasegawa Genpei. Kasus ini berawal ketika sang seniman yang hendak mengadakan pertunjukkan tunggal, mencetak undangan dengan bentuk menyerupai lembaran 1000 yen. Tidak ada pernyataan dari Akasegawa yang mengungkapkan bahwa tindakan ini merupakan sebuah provokasi, namun pemerintah Jepang tetap mendakwanya dengan pasal pemalsuan uang. Persidangan atas kasus nyentrik inilah yang kemudian menjadi panggung eksibisi gagasan seni bagi Akasegawa. Melalui pernyataan dan pembelaannya, ia berhasil mengangkat diskursus kritik seni yang sebelumnya berada di pinggiran. Salah satu gagasan Akasegawa yang mendapatkan banyak komentar dari publik adalah pandangannya tentang perbedaan mendasar antara representasi dan imitasi. Konseptualisasi ini menyasar collective unconsciousness masayarakat Jepang paska perang yang keranjingan dengan sistem kapitalis import. Menurutnya, tidak ada yang lebih menyedihkan dari bentuk imitasi gagal atas sebuah sistem asing. Kritik ini sebetulnya banyak disuarakan oleh para seniman melalui berbagai bentuk seni, seperti manga (kala itu belum populer) juga film dan drama, namun selalu gagal untuk muncul ke permukaan. Baru pada sesi persidangan Akasegawa-lah, publik dihadapkan pada refleksi vulgar kapitalisme yang diurai Akasegawa melalui konsepsi “realisme kapitalis” – yaitu sebuah analisis mendalam tentang wajah kapitalis sesungguhnya yang merupakan imitasi buruk dari realita.

Akasegawa on trial

Pembahasan lain yang diangkat dalam persidangan adalah kepada siapa saja “undangan” diberikan. Sesi ini memunculkan sejumlah nama seniman, diantaranya: Yoshimura Masanobu, Shinohara Ushio, Nakanishi Natsuyuki dan Arakawa Shusaku – yang serta merta mendapat berkah promosi gratis dari persidangan kawannya. Tersebut pula gerakan Neo-Dada Organizers dan kelompok seni anarki the Hi-Red Center yang juga dibahas secara panjang lebar dalam sesi persidangan. Alhasil, persidangan Akasegawa adalah kotak pandora bagi masyarakat Jepang, khususnya publik seni – karena melalui narasi tentang representasi, Akasegawa memberikan warna bagi perkembangan sejarah seni Jepang, yang masih terasa hingga saat ini. Banyak pengamat seni Jepang yang kemudian menempatkan insiden Akasegawa sebagai tonggak penting sejarah Jepang paska perang dunia. Marotti dalam Money, Trains, and Guillotines: Art and Revolution in 1960s Japan, mengungkapkan bahwa persidangan Akasegawa merupakan episode unik dalam sejarah seni avant-garde Jepang yang menggambarkan makna tentang relasi antara seni dengan kekuasaan negara. Namun, alih-alih menggunakan sosialisme sebagai pijakan kritiknya, Akasegawa menggunakan seni untuk mencemooh kapitalis dengan cara absurd yang menggelitik. Hasil persidangan sendiri dapat dengan mudah ditebak: Akasegawa didakwa bersalah dan dijatuhi hukuman tiga bulan penjara. Boleh jadi otoritas menang dalam proses ini, namun masyarakat Jepang sudah terlanjur terpapar gagasan avant-garde dan anarki sehingga memudahkan penerimaan pada bentuk-bentuk ekspresi cutting-edge seperti yang diusung oleh seniman lain seperti Terayama Shuji atau Takamatsu Jiro.

Setelah menyelesaikan masa hukumannya, persistensi Akasegawa untuk menyebarkan gagasan-gagasan seninya secara luas terus berlanjut. Kali ini instrumen yang digunakannya adalah manga, yang sejak tahun 1970an telah menjadi kanal utama budaya populer di Jepang. Dengan judul Sakura Gahō (The Sakura Illustrated), Akasegawa mengisi Asahi Journal dari Agustus 1970 hingga Maret 1971. Asahi Jurnal sendiri memiliki reputasi sebagai tabloid sarat politik yang menyuarakan protes anti-perang hingga anti-Anpo (gerakan yang menolak Traktat Pertahanan Jepang-Amerika). Terlepas dari ideologi yang diusung Asahi, pemilihan manga sebagai bentuk ekspresi seni menjadi strategi tersendiri bagi Akasegawa. Harus diingat, bahwa Akasegawa lebih dekat pada gambaran terorist seni daripada seorang lefstist tulen, sehingga sindirannya bukan hanya ditujukan pada otoritas negara, tapi juga pada perusahaan tabloid, penulis lain, hingga pembaca. Salah satu panel paling terkenal adalah panel manga terakhirnya pada nomor 31. Pada panel tersebut ia menuliskan ungkapan “Akai/akai/asahi/asahi” yang memiliki arti “Merah, merah sedang naik matahari”, merupakan parodi dari sketsa terkenal buku sekolah dasar. Dalam post-script yang ia publikasikan setelah serinya selesai, Akasegawa mengungkapkan bahwa ia berhasil “membajak” taboid arus utama tersebut sebagai bentuk kritiknya. Manga yang ia sajikan dalam Asahi Journal tidak lebih sebagai parodi – karena ternyata, ungkapan “Asahi Merah” bukan hanya kritik pada pemerintah, tapi juga sebagai lelucon atas prinsip kiri yang diusung oleh surat kabar Asahi. Menurut Akasegawa, pemerintah dan pengkritiknya, tidak lebih dari gambaran: an audience who cheers in conspiracy with the performer.

Akasegawa Genpei, Horse Hecking, Sakura Illustrated
Akasegawa Genpei (Sakura Illustrated)

Pernyataan ini tentu mengingatkan kembali publik pada insiden sebelumnya. Sedangkan bagi media arus utama, nama Akasegawa adalah kriminal yang harus diwaspadai jika tidak ingin kecolongan dan mendapatkan kasus seperti Asahi Journal. Namun nampaknya ia tidak tertarik untuk mengulang sebuah ekspresi seni (melalui panggung persidangan ataupun melalui pembajakan tabloid), karena karya selanjutnya Akasegawa tidak muncul dalam bentuk diatas, tapi melalui kumpulan cerita pendek berjudul Chichi Ga Kieta (Father has Dissapeared). Cerita pendek adalah sisi lain dari Akasegawa, karena walaupun tetap mengangkat bayang-bayang realita, ia tidak mencemooh atau mengejek. Chichi Ga Kieta mendapatkan Akutagawa Prize di tahun 1981 sedangkan kumpulan esay humornya berjudul Rōjinryoku, mendapat sambutan hangat dari publik. Tapi adalah salah besar jika menanggap Akasegawa telah kehilangan daya kritisnya. Setelah menaklukan dunia cerita pendek, ia lalu menggeluti fotografi dan menemukan bentuk seni baru: seni kesia-siaan. Konsep ini diberi nama Hyperart Thomasson, dan masuk menjadi salah satu kosa kata dalam kamus seni dengan Akasegawa sebagai penemunya.

Akasegawa Genpei, Hyperart Thomasson Book Cover (Door Knob on the Wall)

Kata Hyperart Thomasson sendiri sedikit menimbulkan rasa kasihan – karena, bayangkan saja: ketika Akasegawa tengah menggeluti Hyperart melalui temuan-temuan fotonya, ia merasa konsep tersebut terlalu luas dan membutuhkan spesifikasi, lalu ditambahkanlah kata “Thomasson” dibelakangnya, diambil dari nama seorang pemain baseball yang tidak pernah berhasil memukul bola. Oleh sebabnya, foto-foto Hyperart Thomasson karya Akasegawa, senantiasa memunculkan rasa lucu yang sia-sia (dan traumatis jika anda adalah Gary Thomasson). Namun, humor Akasegawa adalah humor yang menusuk uluhati, karena foto-foto hyperartnya lantas menyisakan pertanyaan: siapakah yang akan peduli untuk merawat dan memperbaiki barang yang tidak ada gunanya?. Melalui pertanyaan tersebut, Akasegawa kembali menyasar kapitalisme – karena siapa lagi yang bertanggung jawab atas membanjirnya imitasi sia-sia, jika bukan sistem yang sia-sia itu sendiri?. Melalui kritik tersebut, Akasegawa semakin mengukuhkan posisinya sebagai seniman kriminal yang akan menghantam ketika lengah. Tapi jika kita berhenti sejenak dan melihat sekeliling, rasanya ada yang lebih layak disebut kriminal dariapada sang seniman nyentrik.

Referensi:
Judul diambil dari kutipan: “The artist is the secret criminal in our midst. He is the agent of progress against authority”, Tom Stoppard
Marotti, William, 2013, Money, Trains, and Guillotines: Art and Revolution in 1960s Japan, Duke University Press Books
Tomii, R., 2010, “Before Tomason: Akasegawa Genpei’s Print Adventures—Model 1,000-Yen Note Incident and The Sakura Illustrated,” dalam Akasegawa Genpei, Hyperart Thomason, Kaya Press

Share on:

Leave a Comment