“Oke, semua orang tahu kalo Jimi Hendrix adalah gitaris nomor wahid. Tapi adakah yang bisa menjelaskan dengan gamblang dimana letak kehebatan Jimi Hendrix?”
Pertanyaan di atas adalah celetukan seorang teman lama ketika kami berupaya mengusir kantuk dalam perjalanan darat Bandung-Yogyakarta beberapa tahun yang lampau. Obrolan sampai pada seputaran album rock klasik dan untuk melengkapi suasana, album “Electric Ladyland”[1] dimainkan di pemutar cakram mobil. Kantuk pun hilang seketika karena petikan gitar Hendrix adalah suntikan penangkal bagi semua rasa jemu. Namun tiba-tiba sebuah pertanyaan menyerang tanpa persiapan. Walaupun pertanyaan iseng tadi dilontarkan oleh seorang teman dalam keadaan setengah mengantuk (dan nampaknya si penanya tidak sedang serius-serius amat), tapi ia telah menjelma menjadi mimpi buruk yang menghantui saya selama bertahun-tahun. Sebuah mimpi buruk yang menyentak kesadaran: bahwa ternyata saya tidak tahu apapun tentang gitaris tingkat dewa yang satu ini.
Insiden Hendrix malam itu betul-betul membekas dipikiran. Teman saya–si penanya tadi–sudah lupa dan tidak ambil pusing pada pertanyaan yang dia lontarkan tanpa sengaja. Namun ketidaktahuan tentang Hendrix adalah teka-teki besar, akibatnya cukup fatal: saya tidak berani berbicara sepatah kata pun tentang Hendrix dan musiknya, dan apabila perbincangan menyentuh tokoh yang satu ini, saya akan secara perlahan undur diri dari pembicaraan dan mengubur diri diam-diam dalam perasaan bersalah tanpa ampun. Singkat kata, Hendrix adalah ketakutan terbesar saya–karena dibalik kekaguman terhadap permainan gitarnya, saya sama sekali tidak ada bedanya dari apresiator musik lain yang hanya merumuskan referensi musik dari majalah-majalah dengan ulasan alakadar yang berujung pada satu penjelasan: Hendrix adalah gitaris nomor satu di dunia. Tapi mengapa dan dalam konteks apa Hendrix dinobatkan dan “dibebani” gelar dewa gitar, tidak pernah diulas secara tuntas.
Sayangnya, walaupun Hendrix notabene adalah gitaris nomor satu, berbagai sumber tentangnya di Indonesia sangat terbatas. Pada akhirnya kehebatan Jimi Hendrix diterima begitu saja. Baru setelah era digital hinggap di tanah air, teka-teki Hendrix sedikit demi sedikit terkuak. Melalui tiga e-book hasil bajakan: ‘Scuse Me While I Kiss the Sky’: The Life of Jimi Hendrix (David Henderson, 2009, reprint ed.), Room Full of Mirrors: A Biography of Jimi Hendrix (Charles R. Cross, 2006) dan Crosstown Traffic: Jimi Hendrix and Post-War Pop (Charles Shaar Murray, 2001)–musik Jimi Hendrix kembali (berani) saya akrabi. Walaupun menyelami tokoh yang sama, ketiga buku tersebut memberikan kesan yang berbeda. Henderson adalah seorang pengagum berat Hendrix, oleh karenanya bio garapannya lebih berupa perayaan sekaligus ratapan seorang fans atas kejayaan dan kematian idolanya. Dalam ‘Scuse Me While I Kiss the Sky’, banyak terdapat kesan subjektif penulis terhadap karya Hendrix, terutama pada interpretasi Henderson atas gubahan lirik Hendrix (mengingat Henderson adalah seorang penyair). Mengesampingkan subjektifitas penulis yang pada beberapa bagian terasa berlebihan, Henderson memaparkan dengan sangat baik tentang masa kecil Hendrix yang kacau balau dan “teman imajinasi” Hendrix yang tidak lain adalah gitarnya sendiri[2]. Subjektifitas Henderson sangat kental terasa ketika ia menggambarkan kematian Hendrix. Mungkin karena kematian Hendrix begitu sulit diterima, Henderson menggambarkannya sebagai sebuah konspirasi yang melibatkan berbagai pihak[3].
Dua buku lainnya lebih memaparkan fakta daripada emosi personal. Charles R. Cross dalam Room Full of Mirrors mengungkap berbagai wawancara menarik sehubungan dengan karir sang dewa gitar, mulai dari sepak terjang awalnya di klub bawah tanah New York, pertemuannya dengan Chas Chandler[4] sang produser, persentuhannya dengan scene blues Inggris, penolakan Decca Records, pembentukan The Jimi Hendrix Experience, respon publik terhadap “bom atom” penghancur tatanan musik (blues) yang dijatuhkan Hendrix pada tahun 1967 melalui album “Are You Experienced?”, hingga wawancara seputar alkohol dan berbagai jenis substance yang digunakan Hendrix dalam fase penghancuran dirinya. Namun, bagian paling menarik dalam Room Full of Mirrors bukanlah tentang cerita ketenaran Hendrix yang memiliki banyak versi, tapi pada kutipan Chandler tentang proses kreatif The Jimi Hendrix Experience, yang bersama Hendrix tergabung Noel Redding (bass) dan Mitch Mitchell (drum).
“I wasn’t concerned that Mitch and Noel feel that they weren’t having enough… I’ve seen everything ends as a compromise and nobody ended up doing what they really want. I was not going to let that happen with Jimi”.
Kutipan ini menghancurkan gambaran tentang dinamika trio yang selama ini menjadi gambaran utuh The Jimi Hendrix Experience, karena tanpa basa-basi Chandler berujar bahwa band ini sepenuhnya adalah Jimi Hendrix–dalam setiap sesinya, Hendrix telah menyiapkan ketukan dan ritme drum bagi Mitchell dan Chandler mengatur permainan bass Redding. Entah apa yang terjadi jika keduanya dibebaskan untuk berkreasi, karena Mitchell ataupun Redding adalah dua musisi berbakat yang dikenal baik dalam kancah musik Inggris kala itu–namun di sisi lain, tindakan Chandler adalah kehendak sejarah: karena apa yang kemudian muncul adalah kemurnian musik Hendrix, tanpa campur tangan orang lain.
Biography Hendrix ketiga yang sampai ditangan saya adalah garapan seorang jurnalis musik kawakan, Charles Shaar Murray. Bio ini menarik karena berupaya untuk memetakan musik Hendrix diantara garis leluhurnya: Blues dan Soul–dan perkembangan musik setelahnya. Namun karena sisi tilikannya yang merunut akar musik Hendrix, maka musikalitas dan sisi kreatif Hendrix yang memungkinkan untuk menjawab pertanyaan “dimana letak kehebatan Hendrix?”, belum secara gamblang saya temukan dalam buku ini, pun dalam dua buku sebelumnya. Alhasil, pencarian tentang teka-teki sang dewa gitar belum terpecahkan.
Tahun berlalu hingga saya membaca sebuah buku berjudul “Sejarah Musik Jilid 4” (Dieter Mack, 1995). Pada awalnya buku ini tidak menarik sama sekali karena diawali dengan pelbagai penjelasan “njelimet” tentang struktur musik modern dan tradisional–sehingga dari halaman ke halamannya hanya saya bolak balik tanpa banyak perhatian. Namun alangkah mengejutkan ketika tercantum nama Jimi Hendrix pada penjelasan tentang musik populer, dan empat halaman penjelasan Dieter Mack inilah yang pada akhirnya mengakhiri pencarian saya yang hampir putus asa. Seketika segala sesuatunya menjadi jelas melalui sebuah frase: “Hendrix menerapkan pendekatan radikal dalam permainannya, sehingga blues dimainkan sebegitu kasar, tanpa pernah ada yang memikirkan bahwa blues bisa dimainkan seperti itu sebelumnya”. Permainan Hendrix adalah radikal – itulah jawaban bagi pertanyaan mengganggu yang selama ini begitu saya takuti. Pada kata “radikal”lah letak kehebatan Hendrix: ia mengubah blues dan menjadikannya terbuka bagi kemungkinan-kemungkinan baru. Radikalitas menghantarkannya pada sebuah pendekatan musikalitas baru yang pada akhirnya membuka era baru, dan Hendrix menjadi “First Ray of the New Rising Sun”–sebuah album yang tengah digarapnya bersama Band of Gypsys (1970) sebelum ajal menjemputnya, menjadikan album tersebut sebagai nafas penghabisan sekaligus self-fullfiling prophecy seorang Jimi Hendrix.
Namun, Dieter Mack ternyata memberi lebih dari apa yang saya cari. Uraiannya tentang Hendrix tidak hanya pada sisi musikalitas, namun juga memberi tanggapan pada tindakan negatif yang selalu ditampilkan oleh sang dewa gitar. Menurut Mack, negativitas Hendrix dalam musik bukanlah hal yang buruk, karena melalui negativitas inilah terlahir pendekatan blues yang radikal. Tindakan Hendrix yang cenderung destruktif muncul secara fenomenal pada Festival Monterey (1967) melalui ritual pembakaran gitar dan penghancuran lagu nasional Amerika “Stars-Spangled Banner” pada Festival Woodstock (1969)–dimana kedua aksinya tersebut muncul dalam bentuk yang begitu artistik sehingga motif “penghancuran negatif” Hendrix dapat lolos dari perhatian. Mack pun mengomentari tentang sebuah fakta menarik dari sang icon psychedelic: “bahwa Hendrix gagal oleh dikotomi [pandangan massa yang salah memahami] dan masalah obat bius, yang sama sekali tidak dianggap sebagai sumber kreatifnya”. Pernyataan ini senada dengan apa yang dikatakan Henderson, bahwa salah satu ironi Hendrix adalah kenyataan bahwa penggunaan obat bius menjadi kontra-produktif bagi kreatifitas sang dewa psychedelic–sebuah kenyataan yang membawa mimpi buruk bagi pandangan filosofis dan gaya hidup para pengikutnya.
Seketika setelah selesai membaca bab tentang Hendrix dalam buku Mack, hal yang ingin saya lakukan adalah menghubungi teman yang melontarkan pertanyaan tentang Hendrix beberapa tahun silam. Tapi niat tersebut saya urungkan[5], dan alih-alih mencari nomor kontaknya, saya memutuskan memutar Are You Experience? dari album yang berjudul sama. Anggaplah lagu tersebut adalah sebuah perayaan besar atas pemecahan teka-teki Hendrix yang selama bertahun-tahun menghantui–begitu menghantuinya hingga percaya atau tidak, dalam beberapa “mimpi”, Jimi Hendrix menjelma malaikat maut berkostum oranye (kostum yang dikenakannya di Monterey Festival) menagih jawaban atas pertanyaan “Masa kamu tidak tahu apa hebatnya musikku?”. Dan malam ini, jika saja ia datang lagi, maka saya akan menjawabnya dengan senyum terkembang.
Keterangan:
[1] Electric Ladyland, The Jimi Hendrix Experience, 1968, Reprise Records
[2] Dalam beberapa keterangan teman kecil Hendrix ataupun teman semasa di ketentaraan, Hendrix memperlakukan gitarnya layaknya seorang teman, bahkan terkadang mengajaknya berbicara (Handerson, 2009)
[3] salah satu teorinya dikenal dengan “the ambulance theory”, yang menggambarkan bahwa terdapat banyak versi tentang penjemputan Hendrix yang hingga saat ini masih menjadi pertanyaan besar bagi para “pengkaji”nya.
[4] Chas Chandler, mantan personil The Animal, yang menjadi produser Hendrix paska keluar dari bandnya
[5] hingga tulisan ini dimuat hal tersebut belum saya lakukan
Sumber:
Cross, Charles R., 2006, Room Full of Mirrors: A Biography of Jimi Hendrix, Hyperion Publisher
Handerson, David, 2009, ‘Scuse Me While I Kiss the Sky’: The Life of Jimi Hendrix (reprint ed.), Atria Books
Mack, Dieter, 1995, Sejarah Musik Jilid 4, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta
Murray, Charles Shaar, 2001, Crosstown Traffic: Jimi Hendrix and Post-War Pop, Faber and Faber
kontak via editor@antimateri.com