Perkakas dan Mainan Anak-Anak: Musik di Awal Peradaban Manusia

Tulisan ini merupakan sebuah lompatan jauh ke belakang, sebuah tindakan nekat bagi seorang penulis musik amatir yang pengetahuannya hanya sebatas musik jaman sekarang (yang disajikan oleh industri musik) dan bacaan tentang etnomusikologi seadanya. Namun, rasa penasaran yang terlalu sulit dikesampingkan berujung pada tulisan nekat ini. Beruntung bagi saya, content director webzine ini, Aang Sudrajat, adalah seorang penggila ancient dark academia, filolog yang familiar dengan teks-teks awal Sumeria. Dengan bekal diskusi dan beberapa sumber utama, maka lompatan jauh ini saya lakukan–dengan kenekatan ala Don Quixote, yang mungkin agak sedikit gila.  

Untuk mengawali penelusuran, dua teks dari Richard Dumbrill, saya gunakan sebagai landasan utama: Idiophones of the Ancient Near East in the Collections of the British Museum (Gorgias Press, 2011), dan kumpulan tulisan dari Konferensi Near Eastern Archaeomusicology (Gorgias Press, 2010). Dalam pembuka bukunya, Dumbrill memperkenalkan idiophone–instrumen yang menghasilkan bunyi dari dirinya sendiri, tanpa senar atau tiupan–sebagai salah satu alat musik tertua yang pernah ditemukan (2011: 3):

Idiophones are often considered, pejoratively, as toys, black magic implements, warning devices, part of horse and cattle trappings, etc., rather than musical instruments. Although this is not an unreasonable description of their common usage, it must recognised that on the basis they might have been conceived to produce sound, and not noise, they may belong to the musical instrumentarium.

Melalui gambaran di atas, jelas bahwasanya gagasan musik kuno dihasilkan dari interpretasi para arkeolog tentang artefak penghasil bunyi atau idiophone, seperti rattle (kerincing) dari tanah liat, clapper (ketap) dari kerang, dan lonceng perunggu yang ditemukan di Ur, Nimrud, atau Niniwe. Dumbrill (2011) mengungkap sebuah gagasan menarik, bahwa “alat-alat kecil yang sering disalahpahami sebagai jimat, alat sihir, atau aksesoris ternak, adalah awal dari segala bentuk musik.

Kerincing atau rattle tanah liat sebagian besar merupakan penemuan arkeologis dari wilayah Ur (saat ini barat daya kota Nasiriyah, Irak). Kerincing ini dikenal dalam bahasa Arab sebagai diqdiqqah (atau pemberat batu kerikil). Kerincingan tanah liat yang ditemukan di Ur memiliki karakteristik yang sama. terdiri dari badan berongga di mana bola-bola kecil tanah liat, atau mungkin kerikil kecil, atau bahan apa pun yang sesuai, berderak di dinding bagian dalam rongga. Sebagian kerincing ditemukan di makam, sebagian lagi di situs pemukiman. Bentuknya beragam, ada yang menyerupai buah delima, kura-kura, babi, atau bahkan ayam. Dumbrill juga mengungkap bahwa beberapa kerincing bahkan meninggalkan jejak sidik jari kecil di permukaannya, menunjukkan fungsi lainnya sebagai mainan anak-anak (Dumbrill, 2011: 21). Ragam bentuk dan ragam posisi dimana kerincing ini ditemukan memberikan pembacaan yang luas akan fungsi utamanya, namun Dumbrill menekankan fakta utama, bahwa dalam fungsi apapun, kerincing mengeluarkan bunyi, dan menurut Dumbrill: ‘itulah fungsi utamanya’.

Clay Rattle, British Museum

Instrumen lain yang disajikan Dumbrill (2011) adalah clapper dari kerang. Penggunaan kerang sebagai idiophone masih teruji hingga saat ini, khususnya di Irak Selatan di mana deretan kerang dikenakan di pinggang dan pergelangan kaki penari pria, yang kemudian menghasilkan bunyi. Aksesoris kerang ini disebut khalakhal–berasal dari bahasa Akkadia ĥalĥalatu, meskipun mungkin memiliki terjemahan yang berbeda dari deskripsinya yang kini (2011: 29). Clapper lain ditemukan dari bahan kuningan, yang kemudian berkembang menjadi simbal pada milenium pertama sebelum masehi. Seperti halnya kerincing tanah liat, clapper dan simbal memiliki ragam fungsi, terutama dalam ritual, permainan, dan sebagai bentuk persembahan. Simbal, sebagai perkembangan lebih lanjut dari clapper, memiliki suara lebih lantang dengan getaran yang lebih lama (2011: 43). Konteks ini mengindikasikan bahwa terdapat upaya pengembangan instrument, yang ditujukan untuk memproduksi bunyi tertentu–yang tentunya bersinggungan dengan gagasan awal tentang musik.

Shell Clapper, British Museum

Artefak lain yang memiliki asosiasi sebagai instrument musik adalah bell (atau kahlu), dan salah satu yang tertua ditemukan di Nimrud hasil penggalian arkeologis Austen Henry Layard pada paruh pertama abad ke-19 (Dumbrill, 2011: 90). Bel, pada era sebelum masehi, lajim disandingkan sebagai aksesoris kuda atau ternak lainnya. Namun, ketika keberadaannya (atau posisi ketika bel tersebut ditemukan) berada di luar fungsi utamanya–seperti penemuan di dalam istana dan kuil–mengindikasikan bahwa fungsi personal ataupun fungsi ritual juga melekat pada bel tersebut. Pola ini serupa dengan penggunaan bel masa kini yang berinteraksi dalam banyak ruang: mulai dari aksesoris ternak (fungsi awal), alat komunikasi, hingga penanda identitas keagamaan. Dalam konteks ini, argumen Dumbrill terbukti dengan sendirinya–bahwa alat atau perkakas sehari-hari, adalah instrument musik di awal perdaban manusia.

Bell, British Museum

Selain memberikan pemahaman tentang ‘awal sederhana’ dari kelahiran musik, Dumbrill juga menyajikan gambaran umum tentang perkembangan musik di beberapa peradaban lama, seperti Mesopotamia, Mesir, Suriah, dan Israel, dengan menambahkan gagasan dari para arkeolog musik terkemuka: Leon Crickmore, Theo Krispijn, dan Lise Manniche. Dengan membandingkan gagasan tentang idiphone dan perkembangan musik pada periode yang lebih maju, terdapat sebuah gagasan menarik yang ditawarkan Dumbril (2010), bahwa perjalanan musik sejak zaman batu menuju zaman perunggu adalah perjalanan dari getaran perasaan menuju rasio. Dumbrill menempatkan idiophone sebagai akar “psikogenesis musik”, sebagai landasan dari dorongan alamiah manusia untuk membuat bunyi yang akhirnya menjadi struktur berpikir. Crickmore (dalam Dumbrill 2010: 1-8), lantas memperluas gagasan ini kedalam ranah konseptual, yaitu dengan memberikan gambaran sistematis tentang bagaimana getaran diterjemahkan menjadi bilangan, lalu menjadi harmoni, dan akhirnya menjadi sistem nada yang terukur.

Penemuan idiophone, diantaranya rattle (kerincing) dari tanah liat, clapper (ketap) dari kerang, dan lonceng perunggu, menghantarkan pada pemahaman bahwa hampir semua idiophone dimainkan dengan gerak tubuh: digoyang atau diketuk. Dengan kata lain, musik pada masa awal peradaban manusia tidak memerlukan instrumen kompleks, dan bunyi dihasilkan hanya dari gerak tubuh manusia. Setiap gerakan menghasilkan pola, dan setiap pola bisa diulang. Dari pengulangan lahirlah ritme, dan dari ritme lahir kesadaran akan gagasan tentang musik (Dumbrill, 2010).

Melalui kumpulan kedua tulisannya, Dumbrill menawarkan gagasan bahwa dalam sejarah peradaban manusia, musik tak pernah sekadar estetika, tapi juga berkaitan dengan ekspresi bahasa, cara berpikir, bahkan logika matematika. Musik, dalam konteks ini, tidak terpisah dari hidup itu sendiri–menjadi bagian dari kerja sehari-hari, dari upacara kelahiran, hingga kematian. Pola ini menjadi warisan peradaban yang masih memiliki relevansi makna hingga saat ini. Sehingga tidak berlebihan kiranya jika Dumbrill menyebut bahwa idiophone sebagai “forefathers of all of our world’s music heritage”. Dumbrill menyatakan, bahwa tanpa kerincing kecil dari Ur, atau simbal dan bell ternak, tidak akan ada orkestra simfoni atau eksperimen musik elektronik seperti yang kita kenali saat ini. Penemuan idiophone menjadi vital bukan karena bentuknya sama, tapi karena gagasan yang serupa: yaitu memenuhi kebutuhan manusia untuk mengekspresikan diri. Sebuah gerak eksistensial yang hadir bahkan sejak awal peradaban manusia.

 

Gambar Muka (untuk ilustrasi):
Clay Rattle, Cyprus, 300 BC-50 BC, British Museum

Sumber gambar:
© The Trustees of the British Museum. Shared under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0) licence.

Sumber Bacaan:
Dumbrill, R. J. Idiophones of the Ancient Near East in the Collections of the British Museum. Gorgias Press, 2011.
Dumbrill, R. J. (ed.). ICONEA 2009–2010: Proceedings of the International Conference of Near Eastern Archaeomusicology. Gorgias Press, 2010.

Share on:

Leave a Comment