Dilumatnya derita, seakan tak terbaca – Big Fat Mama, Zeffry Alkatiri
Pertemuan dengan penulis sekaligus penyair ibukota, Zeffry Alkatiri, beberapa pekan lalu, berujung obrolan tentang musik, puisi dan segala macam yang beririsan dengan kedua hal tersebut. Obrolan macam ini tentu bukan sesuatu yang spesial–siapa pun bisa membahas banyak hal dengan bekal sedikit membaca sana-sini, tapi cuma segelintir yang bisa menggubahnya dalam bentuk puisi. Zeffry Alkatiri adalah di antara golongan yang kedua; dibuktikan dengan antologi puisinya, Anarko Book Faith, yang dirilis tahun 2020. Beragam tema ada di sana, mulai perjuangan Palestina, gegap gempita revolusi Kuba, sejarah miris Indonesia dengan beragam ‘wajahnya’, jejak kelam rasisme yang masih tersisa di banyak tikungan jalan, gema musik dan lagu yang dialih-bentukan menjadi puisi (mengingatkan saya pada apa yang dilakukan mendiang Rendra dalam Blus untuk Bonnie), hingga beragam hal personal (seperti sepatu boot seorang gadis) yang lucunya, dapat diamini siapa saja. Tidak ada puisi yang secara eksplisit membahas cinta di sini–walaupun ada, bentuknya sangat subversif dan laten. Mungkin sang penyair hapal betul dengan pesan penyair lainnya, Ranier Maria Rilke, untuk menghindari tema cinta–tema paling sulit untuk ditaklukan–karena salah-salah malah jadi curhatan belaka. Alhasil, yang kita temui dalam Anarko Book Faith adalah nostalgia kehidupan tertuang pada bait-bait liris yang diselingi imajinasi tentang musik dan teka-teki sejarah. Mimpi revolusi juga ada di sana, tapi revolusi pun adalah juga nostalgia kehidupan yang dipenggal kepalanya.
Puisi dan Musik, dan beberapa sajak lainnya
The Varangian Girls:
A Whiter Shade of Pale
(By: Procol Harum)
Jangan sentuh jarimu pada tuts itu Brooke!
Sebab nanti akan mengayun dengung orgel tua,
Yang akan merambah lembah-lembah kering menguning
Dihempas musim panas yang getir.
Dan seperti diceritakan oleh temanmu
Sebisanya jangan kau keluar dari kerumunan itu
Sebab tatkala kau sendiri di relung nan sepi
Hembusan angina laut siang hari
Akan membawa dengung panjang
Dari intro lagu laknat milik Pak tua Bach itu ke telingamu,
Dan kau akan terjerembab
Dalam kerimbunan ladang-ladang gandum
Yang menguning keperakan berkilau-kilau
Diterpa mentari.
Ketika jendela matamu dicoba untuk dibuka
Gadis Varangian semampai berwajah pucat
Yang membawa minuman dingin dalam gelas bening
Segera menghilang bersama bayang-bayang siang.
Fisher, Jangan kau sentuh tuts itu!
Sebab nanti akan mengalun suara Bigpipe orang gunung
Yang menghembuskan napasnya sampai ke telingamu.
Dan kau akan pasrah
Seperti digoyang dilembut ombak gelombang.
Persis apa yang dikatakan oleh temanmu
Tentang dongeng The Virgins Varangian berwajah pucat
Membawa anggur yang kau minta.
Ketika kelopak matamu membuka
Kau seakan berada di pinggir pantai
Di alas bulir-bulir kaca yang segera hilang bersama buih gelombang.
Jangan kalian sentuh tuts orgel tua itu.
Teriak Bapak Pendeta kepada mereka berdua.
Sebab nanti kalian akan membuka ingatan lama
Akan dongeng tentang beberapa perempuan pucat,
Yang hadir tiba-tiba
Seperti pernah tertulis dalam buku langka dari Scandinavia.
Oh…Ya.
Jangan sampai mereka berdua
Menyentuh tuts pada orgel tua itu.
Sebab suaranya akan mengingatkan kita
Ke dalam pusaran waktunya dulu.
Dan kita akan terperangkap dalam ruang gelap
Yang hanya akan dapat melihat sekelebat
Perempuan tinggi semampai berwajah pucat
Yang menghilang cepat.
Dengung dongeng tentang mereka.
Berjejak jauh dihembus angin dingin.
Sampai juga di sekitaran kota Transylvania.
Di malam gerimis ritmis.
Dari sebuah lorong panjang pemukiman.
Terdengar sayatan biola dalam D major
Dimainkan oleh seorang lelaki Gipsi.
Mengiringi pulang beberapa perempuan berwajah pucat.
Sehabis menghantarkan sajian kepada lelaki asing
Yang tinggal mmenyendiri di Puri yang tinggi.
Sudah lama dari kedai minum tua di Balkan sana
Terdengar seruling Ney mengalun mengiringi
Tarian para sufi setiap malam Sabtu.
Seperti pernah diceritakan oleh temanmu dulu,
Kini para perempuan berwajah pucat itu
Membawa minuman yang diminta
Kepada para tamunya,
Yang sedang duduk asyik
Bersama hembusan asap dari tabung Hoge mereka.
(2018)
Peta Palsu
1/
Dalam remang pelita
Mata Columbus menembus peta kuno
Yang baru dibeli siang tadi
Dari seorang pencuri
Yang menjualnya dengan bayaran tinggi.
2/
Peta yang sengaja dibuat
Oleh pengikut Ibnu Batutah
Agar para petualang Eropa menjadi salah arah.
3/
Besoknya dengan bangga
Columbus membawa peta itu
Ke istana Ratu Isabela
Yang memberi kuasa untuk berburu rempah
Di tanah antah berantah
4/
Adakah hasil dari tangan nenek moyangmu
Yang duduk dalam pondok di depan tungku
Sambil menunggu
Kepulanganmu melintas lautan?
Di museummu dan di istanamu aku saksikan
Kumpulan harta jarahan.
Itukah yang kalian sebut peradaban?
(2020)
Anarko Book Faith
May day…May day
Prit…Prit…Prit…!
Susun barisan
Tunjukkan kekuatan
Berjalan bersama berpegangan
Langkah setiap rintangan.
Sejarah telah menunjukkan kebohongan Lenin dan Stalin.
Bolshevik telah mengkhianati kaum pekerja.
Para filsuf hanya beretorika di belakang meja.
Dan di depan tumpukan buku-bukunya.
Mereka dan para politisi sama saja
Membuat Kebohongan publik
Melalui kata-kata kosongnya.
Perlukah ditutup buu Marx yang sudah usang?
Masih bergunakan poster Che
Yang kalian pajang di ruang kerja?
Jangan titipkan suara kalian
Kepada makhluk-makhluk yang bertengger
Di gedung parlemen.
Mereka telah bermufakat jahat
Kepada kaum pekerja.
Tidak semua orang senang dilempari batu.
Jadi pikirkan, benda apa yang pantas
Dilemparkan kepada mereka?
Banyak pintu-pintu yang harus digedor
Banyak kantung-kantung yang harus dirobek.
Kelas pekerja telah berpolitik sejak lahir.
Kelas pekerja tak butuh hero
Jangan menempatkan mereka
Dalam panggung terbuka.
We are working class hero
Menjadi kaum pekerja adalah keterpaksaan
Menjadi kaum pekerja adalah keniscayaan.
Serahkan daftar tuntutan pada mereka pada waktunya.
Tanpa negosiasi tanpa kompromi.
Celakalah, wahai komprador dan koruptor.
All labour Union to the Working Class
but not the Oligarchy.
Paris, Seattle dan Washington tidak mampu
Mengubah dunia dan nasib kaum pekerja.
Seperti Guru Deva dan nasib kaum pekerja.
Shut down your machine!
Ayo turun ke jalan!
Tinggalkan seragam kerja.
Jalanan adalah sekolah terbuka.
Jadikan arena depan gerbang pabrik
sebagai pentas pesta.
Carnival against capital
Meskipun tak mampu menghentikan mesin-mesin mereka.
Tapi kalian paling tidak telah melemparkan kerikil tajam
Ke matanya.
Jangan pernah beri peluang kepada para makelar dan birokrat
Untuk meminjam perjuangan kalian
Sebab mereka tidak pernah berkeringat.
Fight against your oppression
Sebab nanti kalian membutuhkan 1000 jam lebih
Untuk mendapatkan kepercayaan berhutang
Yang akan mengikis semua
Uang Pesangon sampai habis.
Asap hitam yang keluar dari cerobong pabrik.
Adakah napas-napas kalian
Yang diperas menjadi Co2.
Selokan yang bau dan menghitam
Adakah darah kalian yang mengental.
Tanda sirene masih digunakan oleh mereka.
Layaknya hewan ternak yang dijejal
Dan dikeluarkan dari kandangnya.
Persis Charlie Chaplin yang terjebak dalam Modern Times.
May day…May day…
Lantangkan lewat megafon.
Atur dan rapatkan barisan.
Kenakan seragam hitam-hitam
Boikot dan mogok bukan hanya jalan
Untuk berkasi, pikirkanlah lagi…
Untuk memukul balik seperti Tsunami.
Hei, kaum pekerja.
Sudah cukup lama beban yang kalian bawa
Sudah saatnya tanggalkan segera!
(Boys, you’re gonna carry that weight,
Carry that weight a long time)
Buat apa sekolah
Kalau hanya untuk menjadi
Sekrup kaum pengusaha.
Putuskan rantai besi di leher kalian
Agar dapat bernapas bebas
Dari kooptasi, represi, dan eksploitasi.
Berserikatlah seperti kaum pekerja
Di Rojava, Chiapas, dan Cheran.
Suarakan:
Di sana bisa
Di sini juga bisa
Di mana-mana pasti bisa.
Tunjukkan poster dan kepalkan tinju ke langit
Selama berjalan dan bernyanyi himne kaum pekerja anarki.
Hitamkan semua tempat.
Agar mereka tahu bahwa kalian pernah lewat.
Buat huruf A dalam lingkaran bulat.
Kasih gemetar mereka punya tulang.
Beri ancaman agar jantung mereka terkejut kencang.
Jadilah kerikil pada sepatu mereka.
Jadilah kutu pada rambut mereka.
Siapkan mimpi buruk pada tidur mereka tiap malam
Katakan pada mereka:
Ini tidak benar
Ini harus diubah
Buat lima atau sepuluh barisan.
Bersama kaum pekerja di mana-mana.
Tinggalkan semua peralatan.
Gabung bersama menjadi air bah
Yang membengkak serupa bandang dari hulu
Menganglir ke hilir.
Bergerak serentak mendobrak.
Tak peduli pada cuaca panas dan hujan
Untuk menjaga marwah semangat kaum pekerja.
Bau peluh keringat terasa harum bagi sesame.
Tak ada yang dapat mengubah takdir
Sekalipun para oligarki bersatu dengan rezim lalim.
Jangan terpesona menjadi diam.
Jangan sampai perjuangan menjadi mimpi sia-sia.
Jangan mau tunduk.
Pada ungkapan kata-kata bijak mereka.
Hari ini istirahatkan gerigi mesin.
Besok mesin-mesin absensi akan mulai mengenali lagi
Tangan-tangan dan hati yang selalu gelisah
Pulang ke rumah kontrakan kumuh
Yang harus dibayar setiap awal bulan.
Bernyanyilah:
Di sana bisa, di sini bisa
Di mana-mana pun bisa
Berjuang bersama kaum pekerja.
Nyatakan: Ini tidak benar, ini harus diubah.
Sebab seja Mei Sembilan Delapan taka da yang berubah.
Hampir tak ada, kawan!
Bergabunglah wahai kaum pekerja.
Bangkitlah bersama May day.
Bergerak mendobrak.
Pintu-pintu untuk menangkap cahaya.
Bergerak merobek kantung-kantung mereka.
May day…hanya satu hari saja milik kaum pekerja.
364 hari menjadi milik pengusaha.
Mereka tetap tak berkuasa mengubah hari.
Atau menambah hari pestanya.
Apalagi mengubah nasibnya.
Kesadaran para kaum pekerja
Adalah mereka yang mampu
Melepaskan dirinya dari bujukan reklame.
Tetapi, sayang,
Sejak dulu mereka tidak mampu
Dan mereka tidak akan mampu!!!
(2019)
Sumber Gambar Muka: https://creator.nightcafe.studio/creation/9fw0YKVXGgse7LxbVuzG
Sumber Bacaan: Alkatiri, Z. 2020. Anarko Book Faith. Penerbit Gorga: Yogyakarta.
kontak via editor@antimateri.com