Galeri Seni Jalanan (Bagian 2)

I think that street art is illegal and it has to stay illegal – Invader

Kulturalis sekaligus kriminolog, Jack Katz, menyebutkan bahwa tindakan ‘kenakalan’ selalu memiliki daya pikat tersendiri–atau dalam istilah Katz: sneaky thrills (1988). Pandangan ini kerap dijadikan acuan untuk memahami maraknya fenomena grafiti seni jalanan yang mencapai masa ‘keemasan’ pada akhir 1970an (lihat galeri seni jalanan Bagian 1). Namun, gagasan tentang “daya pikat kenakalan” nampaknya tidak dapat digunakan sebagai simpulan umum semua bentuk seni jalanan; karena di antara jejal mural dan grafiti yang terpampang di dinding-dinding kota, terdapat pula karya seni dengan visi artistik yang tidak sembarangan. Sebut saja ikonografi SAMO (singkatan untuk istilah slang Same Old Crap) yang diusung oleh Jean-Michel Basquiat–sulit rasanya untuk menerima bahwa seni tersebut didorong oleh kenakalan semata mengingat sang seniman menyatakan: “SAMO as an end to mind wash religion, nowhere politics and bogus philosophy”. Basquiat, tidak ayal, berada pada barisan seniman dengan kebebasan radikal yang menolak standardisasi kritikus seni. Hal ini menjadikan dunia seni jalanan menjadi liar, tidak terkekang formalitas elite galeri, ataupun kotak-kotak perspektif. Ross (2016) memberikan sekilas gambaran akan dunia seni jalanan sebagai berikut: “graffiti writers and street artists not only produce distinctive forms of art that are governed by their own aesthetic and stylistic codes; they also engage distinctive if ephemeral artistic experiences and communities in the moments that they produce such art”. Geliat eksentrik inilah yang akan diurai secara khusus pada tulisan kali ini, karena walaupun sifatnya yang dinamis, terdapat beberapa karakter khusus dan pemaknaan kontekstual yang menjadi dasar ‘eksistensialis’ bagi seni jalanan. Satu buku menarik berjudul Street Logos karya Tristan Marco (2001) dipilih sebagai sumber utama atas dua alasan pokok: (1) Marco memberikan penjelasan lugas tentang ikonografi dan logo, dua pilar utama dalam [pemaknaan] seni jalanan; dan (2) memberikan jajaran nama seniman jalanan beserta karyanya, menjadikan Street Logos layaknya katalog ekshibisi di galeri terkemuka. Kedua poin tersebut akan dirangkum secara singkat: poin pertama, melalui penerjemahan seadanya, sedangkan poin kedua merupakan sampel dari seniman dan karya-karyanya. Mengingat seni jalanan berpijak pada autentisitas dan bukan pengakuan formal kritikus ataupun nama besar seniman, maka pengenalan atas karya para senimannya membutuhkan pendekatan lain. Ditambah dengan identitas anonim yang banyak dipertahankan para senimannya, pemetaan seni jalanan adalah tindakan yang mendekati mustahil untuk dilakukan. Namun ternyata, pandangan tersebut salah mutlak; karena walaupun tanpa nama, seni jalanan (grafiti ataupun mural) berbicara dalam bahasa ikonografi dan logo. Ikonografi hadir menggantikan fungsi tulisan (tipografi), sehingga istilah “image speaks louder than words” merupakan ungkapan jitu untuk menggambarkan perubahan bentuk komunikasi yang semakin menguat memasuki abad 20. Penggunaan ikon sangat beragam, mulai dari tulisan, mosaik, hingga instalasi, yang digunakan seniman untuk mengekspresikan gagasannya. Adapun logo adalah penanda identitas; semacam ‘ego’ yang dipampang seniman jalanan untuk menampilkan dirinya. Pada dua karakteristik inilah para seniman jalanan memainkan idiosinkrasinya masing-masing. Kekuatan ikonografi menjadi sama pentingnya sebagai bejana makna bagi sang seniman. Sedangkan logo berfungsi sebagai penanda identitas. Keduanya adalah pijakkan untuk bangun radikal kebebasan seni yang tanpa nama, tanpa patron, tanpa otoritas. Ungkap Marco, “street art is free – one of the most versatile art form today”. Banksy adalah salah satu di antara ikonografi yang telah dikenal luas saat ini. Namun, selain Banksy, Street Logos menjadi istimewa karena mengapresiasi para seniman jalanan dari berbagai belahan dunia dengan ikonografi yang tidak kalah kuat. Tanpa panjang lebar, mari kita nikmati ekshibisi seni pada galeri di saujana jalanan.

Galeri Seni Jalanan

Marco (2001) menyebutkan sejumlah seniman jalanan: Joystick, Mambo, Space 3, Influenza, the Art of Urban Warfare, Betamaxxx, Bast, Faile, Flowerguy, Pixel Phil, El Cartel, Plug, Etron, Above, Olivier Stak, Toasters, Aviadro, HNT, Xupet, Sums, Space Invader, Maya Hayuk, Santy, La Mano, Sickboy, Kami, Sam Bern, El Tono & Nuria, L’Atlas, Akroe, KRSN, Alexone, Andre, Buff Monster, Cha, Pez, El Tinas, Pelucas, Nano4814, Adam Neate, Patrick Smith, Shes54, Flying Fortress, The London Police, D*Face, Jace,  Hoernchen, Gomes, Regular Product, Freaklub, Mikrobo, Bo130, Robot Inc., Plank, Poch, Olivier, Wild Things, Sol Crew, Erosie, Swoon, Wet Shame, ONG, Don’t Copy Me.

Disclaimer: Tulisan ini hanya akan mengangkat beberapa atas pilihan personal dan mengacu pada ketersediaan gambar dengan lisensi creative commons.

SAMO – Basquiat
ANDRE
KAMI
KAMI
PLANK
FAILE
DON’T COPY ME
BO130

 

Sumber Gambar: Marco, 2001; Wikimedia Commons

Sumber Bacaan:
Katz, J. 1988. Seductions of Crime: Moral and Sensual Attractions in Doing Evil. Basic Books.
Marco, T. 2001. Street Logos. Thames & Hudson.
Ros, J. I. 2016. Routledge Handbook of Graffiti and Street Art. Routledge.

Share on:

Leave a Comment