Figur Solitud* di Balik Patung Figuratif (Rodin Bagian II)


In many places, Rodin was accused of realistic ugliness, of morbidity, of eroticism, of an unrestrained fancy, of deliberate sensationalism, he is later found guilty of a geometrician’s interest in sheer abstraction, in meaningless patterns – Louis Weinberg

Ketika memperkenalkan sosok Auguste Rodin, penyair Rilke menggambarkannya sebagai seorang yang senantiasa tenggelam dalam kesendirian. Terlebih setelah berhasil (dengan paksa) mendapatkan posisi sentral dalam dunia seni patung figuratif, sang pematung semakin memisahkan diri dari hiruk pikuk di sekitarnya (Rilke, 2011). Di kalangan seniman Paris, Rodin memang terkenal cukup sulit didekati. Tapi musababnya bukanlah snoobisme akut khas seniman, namun karena Rodin lebih memilih menghabiskan hari-harinya seorang diri dalam sebuah studio sunyi yang terletak di sudut kota Paris (kini menjadi Rodin Museum). Akibatnya tidak banyak tulisan yang mampu menangkap geliat liar gagasan sang pematung dan kritik atas karya Rodin pun berdatangan dari berbagai arah.

Adalah Ranier Maria Rilke, penyair sekaligus penulis ulasan untuk karya-karya Rodin yang setidaknya memiliki proksimitas interpretasi karena memang ia didaulat untuk itu (lihat karya Auguste Rodin Bagian I). Ulasan lainnya yang juga mampu menangkap figur solitud Rodin, terangkum dalam The Art of Rodin yang dipublikasikan oleh the Modern Library pada tahun 1918. Di tengah minimnya ulasan atas karya-karyanya, Rodin memutuskan untuk untuk memberi sedikit penjelasan yang ia tuangkan dalam On Art and Artists yang ditulisnya sendiri pada kisaran 1911. Dalam esay tersebut, Rodin memaparkan gagasannya secara intens dalam format percakapan akrab bersama Paul Gsell, kawan sekaligus muridnya. Ketiga sumber inilah yang kini kerap menjadi referensi utama dalam kajian tentang Rodin (yang entah telah berapa ribu jumlahnya). Adapun pada bagian kedua tulisan singkat tentang Rodin ini, The Art of Rodin (1918) akan diangkat secara khusus sebagai pembanding tulisan sebelumnya yang lebih menyoroti ulasan dari sudut pandang Rilke. Sedangkan esay Rodin (1911) telah membuka pintu untuk masuk ke dalam dunia ideal sang figur solitud.

Kutipan di awal tulisan tentang tuduhan berlapis pada karya Rodin, menjadi titik awal penelusuran tentang sosok sang pematung. Weinberg dalam kata pengantarnya untuk The Art of Rodin (1918), menyebut bahwa karir Rodin senantiasa berada pada jalan berliku. Ia ditolak di beberapa tempat dengan alasan klasik: tidak layak. Penolakan di Salon Paris adalah sejarah tersendiri (lihat Rodin Bagian I); ditambah dengan serentetan penolakan dan tuduhan, diantaranya galeri di Brussel yang menuduhnya sebagai penipu: “it was charged that the statue was a fraud, made from a mechanical mould obtained by the direct application of plaster to the figure of the model”.

Walaupun kemudian tuduhan tersebut dicabut (setelah salah seorang kurator galeri diundang untuk menyaksikan pembuatan patung secara langsung), namun kontroversi di seputar nama Rodin tidak pernah sepenuhnya padam. Pada tahun 1886, karyanya ditolak oleh the Royal Academy di London karena dianggap gagal mempertahankan tradisi – “a failure to observe the decencies which the best traditions of sculpture impose”. Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan perlakuan galeri di Chicago yang walaupun tidak menyampaikan penolakan secara langsung, namun karya Rodin (terutama The Kiss) ditempatkan di ruang terpisah karena dianggap “vulgar dan tidak beradab”. Namun, pukulan terbesar bagi karir Rodin jatuh pada interpretasinya atas pahlawan sastra Perancis, Balzac. Ia mendapat kritik tajam karena Balzac versi Rodin tidak seperti yang dibayangkan orang kebanyakan. Alih-alih tegak sempurna tanpa cela, Balzac dalam karya Rodin bergumul dengan ketidaksempurnaan. Huru-hara ini dikenal dengan sebutan “Affaire Balzac” – sebuah titik yang hampir menghancurkan karir Rodin.

Namun, bersebrangan dengan pandangan miring para kurator dan kritikus seni yang bersarang di galeri-galeri elit, sosok Rodin adalah pahlawan bagi para seniman dan dikenal dengan sebutan The Exalted Hero (pahlawan yang mulia). Ketika “Affaire Balzac” memanas, sebuah karya musik virtuoso dari seorang seniman anonimus hadir untuk menjawab kritikan dengan pujian; dan dimanapun ia berada, namanya dielu-elukan oleh para seniman yang lantas menempatkan Rodin dalam liga seniman pembaharu (baca: pembangkang) diantaranya Manet, Ibsen juga Whitman. Para seniman inilah yang menjadikan kritikus seni kehabisan bahan karena interpretasi baru yang dihadirkan: “they are interpreting life in terms of their own fresh reactions to it are demons in Parnassus to one section of critics, artists and public, gods to another”.

Dapat dibayangkan, bahwa dalam katalog seni abad 19, nama Rodin berarti “penghancur kesempurnaan tradisi”. Di saat yang sama, banyak pula seniman yang memiliki pandangan bersebrangan: bahwasanya patung figuratif karya Rodin memiliki rasa puitis yang melampaui kesempurnaan bentuk. Weinberg (1918) menyatakannya bahwa kekuatan karya Rodin terletak pada kecerdikannya dalam merepresentasikan bentuk, yang kerap berujung pada penaklukan batas dan prinsip dasar seni patung. Dengan kata lain, Rodin bukanlah seorang revolusioner. Ia tidak berniat mengubah tatanan seni, yang ia lakukan adalah pencapaian visi ideal – namun, dengan tidak ia sadari batasan seni ikut berubah karenanya. “But he was not consciously a revolutionist. Not even unconsciously has he been a breaker of traditions. Rodin is much closer to the Egyptians, the archaic Greeks, the Chinese, who felt the beauty of the form and fashioned it like craftsmen who love the stuff they work with”.

Selain teknik deformation (deformasi)[1], terdapat satu hal lain yang menjadikan kritikus seni kebakaran janggut, yaitu: tema apapun akan disajikan secara radikal. Beberapa contoh dapat disebutkan: The Gate of Hell yang berjejalan wajah penuh kesakitan (interpretasi atas karya Dante, Inferno); The Kiss yang menyajikan erotika secara eksplisit; atau keberanian menampilkan sisi kehidupan tidak sempurna, sebagaimana disajikan dalam interpretasinya tentang “Balzac”. Namun lagi-lagi, dukungan atas karya-karya Rodin sama banyaknya dengan kritik yang mendera. Paska “Affaire Balzac”, karya Rodin lambat laun diterima publik dan Pemerintah Perancis akhirnya menyetujui upaya untuk mengabadikan studio lukis sang maestro menjadi sebuah museum. Hingga akhir hayatnya (Rodin meninggal pada 1917), ia selalu berada pada dua kutub sama kuat: “contoh tidak sempurna bagi keagungan seni Eropa” di satu sisi, dan “pahlawan bagi para seniman” di sisi lainnya. Ungkap Weinberg: “his art became the most violently hated and the most ardently admired in all Europe”. Namun, satu hal yang pasti, karya Rodin kini berbicara dengan bahasanya sendiri dan dengan lantang menyampaikan pesan sang maestro: bahwa keindahan dapat hadir, bahkan ketika hidup bergumul dengan ketidaksempurnaan.

Patung Figuratif The Thinker Rodin, 1880
The Thinker, 1880

 

Patung Figuratif Rodin: Wikiart

Sumber Bacaan:
Rilke, R.M. 2011. Auguste Rodin. Parkstone International Press.

Rodin, A. & Gsell, P. 1911. Rodin on Art and Artists: Conversations with Paul Gsell. Dover Publication.
Weinberg, L. 1918. The Art of Rodin. Boni and Liveright Publisher.

Keterangan:
*Dalam bahasa Indonesia, serapan yang benar adalah soliter, namun disini kata “solitud” digunakan demi rasa bahasa semata, mohon jangan diikuti 😀 
[1] Istilah yang digunakan Rodin untuk pemotongan bentuk yang bertujuan mengekspos bagian tubuh tertentu (Weinberg, 1918)

Share on:

Leave a Comment