Dalam kondisi mata yang mulai mengalah pada kantuk, aktivitas doomscrolling saya terhenti pada cuplikan live performance grup musik Os Originais do Samba yang membawakan tembang klasik, “Tenha Fe” (Have Faith):
Nunca tenha medo do seu inimigo / Quando não é você que começa a brigar.
(Never be afraid of your enemy / When it’s not you who starts fighting)
Hiruk-pikuk melodi dan ritme yang saling tumpang tindih, tabuhan akustik yang energetik, dan dencitan cuíca (alat musik tradisional Brasil yang berbunyi layaknya tertawaan monyet), membangunkan diri yang awalnya mulai lelap dalam buaian malam. Keasingan saya akan bahasa Portugis Brasil tak diacuhkan kepala–yang mana segera mengambil kesimpulan bahwa apa yang saya saksikan adalah musik perayaan. Saya pun terbangun untuk menari…
Bagi sebagian orang, samba mungkin dipahami sebagai tembang energetik untuk berpesta asal Brasil. Mungkin juga, bayangan pertama kita jika memikirkan samba adalah tarian-tarian dengan kostum eksotis (nan erotis) yang hadir pada perayaan Carnaval di Rio de Janeiro. Namun tentunya, seperti banyaknya hal yang terkesan sederhana, samba lebih dari itu.
****************
Sejarah Brasil berawal di atas fondasi perbudakan. Manusia dari berbagai tempat diambil paksa dari tanahnya dan mendapatkan diri terbelenggu. Mereka menjadi budak untuk memenuhi hasrat Portugal dalam memperkaya diri melalui perkebunan tebu dan tambang mineral yang tersebar di seluruh daratan Brasil.
Pada awalnya budak yang ada di Brasil terdiri dari masyarakat pribumi, namun lambat laun perkebunan yang terus bertambah, pertambangan baru untuk dikeruk, dan berkurangnya populasi lokal, memaksa Portugis untuk mengimpor para budak baru dari perkebunan Karibia dan Benua Afrika. Budak-budak baru ini adalah orang-orang kulit hitam yang terjebak dalam rantai perdagangan budak transatlantik.
Meski datang hanya berbekal pakaian yang melekat–sebagian bahkan harus dirantai dalam kondisi telanjang–komunitas yang di kemudian hari akan membentuk identitasnya sendiri ini tiba di Brasil bersama kekayaan budaya, serta kepercayaan spiritual yang menemani mereka untuk terus hidup dalam ketertindasan–coba dengar “Cordeiro de Nana” samba klasik yang diadaptasikan dari himne para budak yang menyatakan mereka masih menyimpan kepercayaan leluhur mereka, sebuah himne apik penolakan konversi paksa.
Menari di Atas Tirani
Mulanya, samba adalah kata yang digunakan masyarakat Brasil untuk menggambarkan segala bentuk jenis tarian dan musik yang berasal dari komunitas Afro Brasilia. Hal ini meliputi tarian tradisional, penggunaan alat perkusi yang khas, dan adaptasi ritus-ritus leluhur para mantan budak yang ditampilkan melalui himne. Hal ini menyebabkan, samba dinilai penguasa sebagai wujud pemberontakan dan kultur subversif yang dibawa para budak dan kelas pekerja yang tidak mau diajak “beradab”, atau bahkan, masih menyembah tuhan-tuhan “pagan” dari Afrika. Hal ini yang menjadikan sejarah samba awal dipenuhi dengan larangan dan kriminalisasi dari pemerintah.
Tidak mengindahkan larangan tersebut, berbagai komunitas samba di kawasan rural (Provinsi Bahia) dan urban (favela Rio de Janeiro) tetap mengadakan pementasan samba yang diikuti tarian-tarian mereka secara sembunyi-sembunyi. Bagi mereka, ini bukan lagi soal perayaan semata, kultur samba mencapai kedewasaannya sebagai wujud perlawanan ketika hiburan untuk melewati hari-hari yang suram saja dilarang. Tidak hanya itu, mereka juga terus memodifikasi samba sehingga dapat dinikmati khalayak luas melalui lirik yang mengangkat tema aktivitas sehari-hari, lolongan nelangsa kelas pekerja, maupun ode romansa pada alam Brasil atau kekasih yang mereka idamkan–kalian bisa mendengarkan Cartola, salah seorang sambista tradisional dari golongan kerah biru yang mempopulerkan samba sehingga dapat diterima di luar lingkungan favela.
Samba baru mendapatkan penerimaan setelah popularitasnya tidak lagi dapat terbendung. Terlebih melalui hadirnya berbagai ‘sekolah’ atau mazhab samba yang turut berpartisipasi dalam perayaan carnaval yang menghiasi pusat-pusat metropolitan Brasil setiap tahunnya. Tidak hanya itu, berbagai stasiun radio yang menjamur di awal abad ke-20 turut andil melalui pemutaran tembang-tembang tersebut. Perkembangan ini juga yang mengawali pemahaman kita akan samba sebagai genre musik.
Semua yang Lahir Darinya
Dengan birama 2/4, perkusi yang menghiasi setiap bunyinya, dan hiruk pikuk ritme yang saling bersahutan, samba bertransformasi dari musik terlarang menjadi ikon kultural Brasil modern. Berbagai macam style dan mazhab juga menghiasi proses transformasi ini, sebut saja samba-canção, samba-choro, dan lain-lainnya. Masing-masing dari style tersebut berfokus pada maksud tertentu, mulai dari spesialisasi untuk carnaval, hingga sesuatu yang dapat kita dengar di halaman-halaman komunitas favela. Naik daunnya samba juga menjadi cikal bakal perkembangan genre dan subgenre besar lainnya, seperti Bossa Nova, Tropicalia dan berbagai musik Brasil yang hadir dibawah payung Música Popular Brasileira (MPB).
Saya sendiri mulai mendengar dan mencoba memahami sejarah genre ini melalui perkenalan pada beberapa Bossa Nova dan Jazz standards asal Brasil, seperti “Chega de Saudade” versi João Gilberto, “Samba de Orfeu” dari film “Black Orpheus”, dan “Carta Ao Tom 74” gubahan Vinícius Moraes.
Bagi kebanyakan orang, musik dan bait-bait yang dihadirkan oleh samba terkesan romantis dengan nada energetik yang mengajak para pendengarnya untuk menari, contohnya:
Dawn there on the hill, what beauty
No one cries, there is no sadness
No one feels upset
The sun coloring, it’s so beautiful, it’s so beautiful
–Alvorada, Cartola
Sulit untuk mendeskripsikan ode akan keindahan mentari (yang menjadi metafora bagi kekasihnya) jika tidak menggunakan kata “romantis”. Namun lagu ini lebih dari itu, bagi saya Alvorada adalah suatu bentuk perayaan akan kesederhanaan hidup, sebuah pernyataan bahwa untuk terus merayakan keindahan-keindahan kecil adalah bentuk perlawanan pada penderitaan yang ada. Cartola menciptakan karya-karyanya untuk dinikmati kalangan luas, terlebih bagi kaum papa yang tidak memiliki apa-apa lagi selain nestapa yang kadang butuh diguyur rasa tenang–seperti halnya Cartola yang sepanjang hidupnya serba kekurangan.
Bentuk samba sebagai perlawanan yang lebih gamblang lebih banyak hadir di era kudeta dan masa kepemimpinan diktatorial (1964 – 1985) di Brasil, untuk ini kita bisa membedah karya Chico Buarque seperti:
Você que inventou a tristeza (You who invented sadness)
Ora, tenha a fineza de desinventar (Now, have the grace to uninvent)
Você vai pagar e é dobrado (You will pay and it is double)
Cada lágrima rolada nesse meu penar (Every tear rolled in my pain)
Apesar de você (Despite you)
Amanhã há de ser outro dia (Tomorrow will be another day)
–Apesar de você, Chico Buarque
Lewat lagu ini, samba menjadi wujud teriakan menentang rezim, hadirnya bukan hanya untuk dinikmati, tetapi juga cara Buarque mengkomunikasikan kegelisahan kelas pekerja terhadap kondisi ekonomi-politik tanah airnya yang dirundung pembangunan ekonomi yang menegasikan kemanusiaan. Baitnya dipenuhi metafora yang mendorong para pendengarnya untuk membuka mata dan berpikir. Metafora ini juga berfungsi sebagai alat untuk menghindari sensor pemerintah bagi lagu-lagu dengan bait subversif.
Pengunaan samba sebagai alat kritik terus bergulir melewati pergantian rezim, bahkan hingga kini, di mana para musisi samba juga berperan aktif sebagai penggerak roda-roda perlawanan. Sejarah samba yang diinisiasi kelompok minoritas yang dibuang kaum elit, menjadikan samba sebagai sarana ideal bagi kelas pekerja Brasil untuk menyampaikan aspirasi mereka melalui karya.
Sekiranya mudah untuk menyapu bersih pemahaman kita akan samba, hanya sekedar musik perayaan yang mengisi glamor carnaval dan pesta-pesta memabukkan. Benar adanya bahwa samba populer hadir sebagai bentuk perayaan. Namun, seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, Ia hadir lebih dari itu. Ia adalah identitas yang dibangun kaum marjinal, ia adalah sajak mentah bagi mereka yang menderita, ia adalah seruan tegas bahwa untuk terus mencari hidup yang lebih baik adalah suatu perlawanan.
Bagi saya, samba adalah tawaan yang menyimpan suka dan duka pada kehidupan yang begitu terpuruk, dan keterpurukan yang begitu hidup.
Sumber Gambar Muka: Cuplikan dari Film “Orfeu Negro” (1959)
Catatan Editor:
Artikel ini tidak sepenuhnya merefleksikan opini editor ataupun direksi antimateri. Penulis dapat dihubungi melalui email: raffyanda@gmail.com
Penulis freelance, mengisi waktu luang dengan menikmati film, musik, dan sastra. Dapat menemukan saya di Bandung pada kegiatan-kegiatan kolektif Sore Menulis