Saya memiliki kebiasaan buruk, ketika mendengar sebuah peperangan berkecamuk, reaksi pertama saya adalah: ‘musik dan puisi seperti apa yang dihasilkan oleh pihak-pihak yang bertikai?’ Tentu saja ini tidak baik karena, mungkin, secara etika (yang bertolak ukur pada manusia) tidak benar. Tapi kebiasaan ini sulit sekali dihindari. Seperti halnya ketika Taliban kembali menguasai Afghanistan, alih-alih sibuk menelusuri peta geopolitik, saya malah berkecimpung dengan sejarah musik yang membentuk karakter negeri tersebut. Kategorisasi (tidak manusiawi) ini, muncul kembali ketika perhatian dunia mengarah pada perang dua negara besar Slavik Timur: Ukraina dan Rusia. Daripada membaca krisis dan adu strategi, saya menemukan diri tengah mendalami musik Ukraina–yang oleh negara lawan disebut ‘musik rendahan’.
Namun, arah menyimpang (dalam memaknai perang) kali ini, ternyata ‘tidak jauh-jauh amat’, karena Rusia mengarahkan propagandanya pada struktur kebudayaan Ukraina. Musik, sebagai ekspresi vital budaya, menjadi sasaran empuk. Salah satunya adalah pelabelan neo-fasis/neo-nazi pada musisi yang mendukung kemitraan Ukraina dengan Eropa. Juga pelabelan teroris pada musisi yang melakukan protes atas perang yang berlangsung. Bagi Ukraina sendiri, negasi Rusia atas budayanya bukan hal baru. Istilah ‘Rusia Kecil’ contohnya, adalah upaya untuk mengerdilkan musik klasik Ukraina (Yelverton, 2022). Dampaknya sangat signifikan: dunia ikut memandang Ukraina dari citra yang diproyeksikan Rusia. Sonevytsky (2019) dalam buku berjudul ‘Wild Music’ memaparkan pembentukan citra ‘liar’ atas identitas Ukraina. Dalam narasi yang dibentuk Moskow, Ukraina merepresentasikan segala bentuk keliaran: mulai dari politik, tradisi hingga musik.
Tapi tentu saja, setiap cerita memiliki banyak sisi. Setidaknya ada tiga sisi menarik dari musik Ukraina yang bisa dibagikan dalam ulasan singkat ini. Pertama, karena memiliki rumpun yang sama, Ukraina dan Rusia memiliki sejarah musik yang berkelindan. Yelverton (2022) memberikan contoh unik Maxim Berezovsky. Berezovsky, kelahiran Cossack Hetmanate (kini Ukraina), dikenal sebagai penyanyi istana kekaisaran St. Petersburg nomor wahid. Gubahannya, Symphony in C, dianggap sebagai simfoni Rusia pertama, tetapi juga dianggap sebagai simfoni Ukraina pertama. Persinggungan dalam musik tradisi jauh lebih kentara mengingat kedua negara berbagi akar bahasa yang sama. Dumka misalnya (musik instrumen khas Slavik Timur), merupakan soundmark yang familier baik di Ukraina ataupun di Rusia. Persamaan sejarah juga memberi pengaruh penting, salah satunya persinggungan dengan akar musik Tartar (etnis dari Turki) yang ikut membentuk ritme musik di kedua negara.
Sisi cerita kedua dari musik Ukraina berkaitan dengan citra liar yang melekat; atau lebih tepatnya, dilekatkan secara paksa. Menurut Sonevytsky (2019), orang Ukraina–yang terkenal memiliki selera humor di atas rata-rata–lantas menjadikan citra ini sebagai lelucon sehari-hari. Jack Halberstam (dalam Sonevytsky, 2019) punya sebutan unik untuk cara berpikir liar ala orang Ukraina, “thinking about ‘wildness’ as a space/name/critical term for what lies beyond current logics of rule”. Dengan kata lain, ‘liar’ adalah mode berpikir kebanyakan orang Ukraina, dalam politik, ekonomi, hingga konsumsi budaya populer. Pada titik inilah, Rusia melakukan salah satu blunder terbesar dalam sejarah. ‘Keliaran’, yang awalnya ditujukan untuk membentuk stigma, menjelma menjadi sesuatu yang paling dihindari oleh politisi mana pun, yaitu: ketidakpastian (unpredictability). Dan representasi keliaran Ukraina yang paling mencolok adalah dalam musik.
‘It was a really big deal for some people’ ujar Sonevytsky dalam sebuah wawancara (Kiparoidze, 2022) ketika menggambarkan ekspresi ‘liar’ Ruslana merayakan kemenangan di Eurovision Song Contest tahun 2014. Kemenangan tersebut, secara disengaja atau tidak, menjadi penegasan akan citra ‘Wild Music’ yang melekat pada musik Ukraina. Namun, terlepas dari momen singkat tersebut, keliaran musik (khususnya pada musik tradisi Ukraina) merupakan representasi untuk menyatakan banyak hal (Sonevytsky, 2019: 5-6):
sebagai strategi auto-eksotisisme (seperti dalam Eurovision, musik Ukraina menampilkan diri sebagai sesuatu yang eksotik); sebagai bentuk otentikasi (untuk mendukung imajinasi orang kota yang keranjingan musik ‘asli desa’); sebagai aktivisme ekologi (lewat banyak lirik tentang lanskap), sebagai totem (penuturan cerita rakyat), sebagai hedonisme anarkis (bentuk keliaran yang memang untuk keliaran itu sendiri), atau sebagai resistensi (mengolok-olok hegemoni asing yang mencoba berbagai bentuk domestikasi).
Dengan kata lain, dalam tradisi Ukiraina, fungsi musik adalah sebagai ‘senjata untuk melawan agresi budaya dari negara tetangga’. Melalui pemutarbalikkan konsepsi liar, musik Ukraina bertujuan mengejutkan, menarik perhatian, atau sebagai bentuk penolakan.
Cerita ketiga terkait musik Ukraina berkaitan dengan massa populer. Poin ini mengemuka, terutama pada masa protes Euromaidan (2013-2014) ketika musik berada pada garis depan penentuan masa depan Ukraina kala itu. Pada kancah protes tersebut, dua fakta mengemuka: pertama, bahwa dengan memainkan musik, seseorang dapat masuk ke dalam daftar teroris ala Kremlin; kedua, musik menjadi garis batas yang membedakan massa populer pendukung Eropa dan Rusia. [Opini] publik dibentuk melalui interpretasi dari musik yang dimainkan dalam berbagai sudut Kiev selama protes berlangsung. Sonevytsky (2019) menyebutnya proses sensoris dalam pembentukan identitas “kewarganegaraan akustik”. Kewarganegaraan akustik adalah sebuah istilah yang mengacu pada bentuk-bentuk pembentukan narasi negara melalui pengalaman mendengarkan, atau didengarkan. Dalam hal ini, proses ini menjangkau, bukan hanya musisi, tapi juga massa sebagai pendengar.
Dari ketiga sisi cerita di atas, musik menepati posisi sentral dalam narasi politik Ukraina: sebagai identitas sekaligus senjata perlawanan. Bagi musisi Ukraina sendiri, pilihan apa pun akan berujung politis. Misal, apakah lirik akan menggunakan bahasa Rusia atau bahasa Ukraina? Genre apa yang akan dimainkan? (pilihan mana yang diambil memunculkan konsekuensi politis tersendiri) Ritme apa yang digunakan? Apakah ritme Dorian (yang senada dengan ‘identitas’ Rusia)? Atau ritme Tartar? (Ritme yang populer di Krimea yang tentunya akan dipandang sebagai oposisi atas operasi militer Rusia)? Lalu, gaya pakaian seperti apa yang akan dipakai dalam pertunjukkan? Salah satu band, the Dakh Daughters adalah contoh nyata dari sebuah grup yang terseret dalam arus politis. Lirik-liriknya apolitis (kerap mengutip penulis terkenal mulai William Shakespeare, hingga Charles Bukowski), namun karena mendukung ‘keterbukaan musik’ (karena mereka memiliki fanbase luas di luar Ukraina), maka mereka adalah bagian dari ‘pengusung neo-fasis’. Pilihan-pilihan seperti inilah menjadikan musik adalah bagian integral dalam konstruksi identitas kewarganegaraan dan, sialnya, masuk ke dalam trajektori pembentukan mitos, negasi budaya, dan justifkasi perang.
Sumber Gambar: Protest Piano (Voice of Ukraine)
Sumber Bacaan:
Sonevytsky, M. 2019. Wild Music: Sound and Sovereignty in Ukraine. Wesleyan University Press: Middletown, Connecticut.
Kiparoidze, M. 2022. Ukraine’s Music Reveals the Past and Points to the Country’s Future. Codastory.
Yelverton, J. 2022. Ukraine’s and Russia’s Tangled History Leads to Musical Conundrum. Your Classical.
kontak via editor@antimateri.com