Penelusuran tema Nordik pada beberapa tulisan sebelumnya mengahantarkan pada lanskap–atau lebih tepatnya, soundscape–yang sayang jika dilewatkan, yaitu soundscape musik Nordik. Selintas, mungkin nama Bjork atau Sigur Ross muncul dalam ingatan, juga beragam band dan musisi dengan sound eksotis lain dari tanah utara; mulai dari Samaris hingga Emiliana Torrini, dari kebangkitan neo-paganisme hingga kultus Black Metal, yang niscaya telah banyak dikaji oleh kanal ulasan musik lain dengan pembahasan yang tidak ada habisnya. Ketertarikan pribadi mengajak untuk melangkah sedikit lebih jauh dari lanskap musik populer dengan memasuki sebuah dunia mitos yang membangun karakter unik soundscape dengan musik yang menurut Dodge (1911) memiliki jimat penangkal sentimentalia – “Both in folk-music and in art-music, the Northern singer seems to possess a talisman against this fault. In Northern music there is much moonlight but no moonshine, there is plenty of sentiment but no sentimentality”. Alhasil, karakter musik Nordik yang paling mencolok adalah kelihaian para komposernya untuk memainkan sentimen (termasuk melankolia dan nostalgia didalamnya), tanpa menjadikannya komposisi sentimental nan cengeng. Asumsi Dogde yang ditulis pada tahun 1911 dalam artikel berjudul Scandinavian Character and Scandinavian Music, dapat menjadi jalan masuk untuk mengkaji lebih mendalam tentang musik Nordik. Tentu saja ia membicarakan musik dalam konteks klasik: melalui narasi folk dan arts music. Uniknya, salah satu aransemen klasik Nordik sangatlah familiar. Silahkan simak komposisi berjudul In the Hall of the Mountain King karya Edvard Grieg berikut.
Edvard Grieg, Pilar Klasik Musik Nordik
Grieg menulis In the Hall of the Mountain King (yang juga dikenal Suite No. 1, Op. 46) pada tahun 1875 sebagai musik latar untuk drama Peer Gynt karya Henrik Ibsen. Tidak aneh jika elemen mitos berjejalan dalam komposisi tersebut (lihat tulisan sebelumnya)–Peer, sang antihero romantis, berkelana di pegunungan Norwegia untuk menghapus patah hatinya tapi malah menemukan diri diculik oleh Raja Troll. Melalui aransemen ini dan jajaran opus lain dalam Peer Gynt, Grieg mengukuhkan diri sebagai ‘pilar utara’ dalam peta dunia musik (bersama dua komposer lain: Jean Sibelius dan Carl Nielsen–ketiganya didaulat sebagai tiga pilar dalam musik Nordik). Permainan nada magis dalam In the Hall of the Mountain King menjadikan aransemen tersebut sebuah icon tersendiri. Entah berapa versi telah digubah: mulai dari The Who yang merilis cover In the Hall of the Mountain King dalam The Who Sell Out (1967), versi elektronik ala Trent Reznor (2010), hingga penggunaannya dalam track latar video game dan animasi (salah satunya, tentu saja sangat familiar, adalah Sonic the Hedgehog). Opus Grieg lain pun tidak kalah tenar: Solveig’s Song dan The Death of Aase, kerap dijadikan latar dalam film ataupun drama kontemporer. Dengan mengacu pada segelintir contoh di atas, jelas sudah bahwa Grieg adalah epitome musik Nordik: musik yang mampu menemukan keasyikan dalam melankolia. Dodge menggunakan ungkapan menarik, “It has been said that the Englishman often takes his pleasure sadly. It might be said of the Scandinavian that he often takes his sadness pleasurably”.
Namun penelusuran saya terkait soundscape musik Nordik masih jauh dari selesai. Hingga tulisan ini dibuat, hanya sedikit buku berbahasa Inggris yang mengangkat tentang musik Nordik secara khusus (kemungkinan besar terdapat jumlah yang jauh lebih banyak dalam bahasa aslinya). Selain artikel klasik Daniel Kilham Dodge tahun 1911, terdapat Sabina Magliocco yang mengangkat tema Estetika Paganisme (1998), Frederick Key Smith menelusuri sejarah musik nordik dalam Nordic Art Music: From the Middle Ages to the Third Millennium (2002), kumpulan tulisan dalam Norse Revival terbitan Brill (2016), disusul The Oxford Handbook of Popular Music in the Nordic Countries (2017). Terdapat pula sumber lain yang secara langsung mengkaji mitologi dalam Black Metal diurai oleh Kennet Granholm (2011) dalam tulisan berjudul Sons of Northern Darkness. Sumber-sumber ini tentu tidak memadai untuk menggali lapisan mitos, identitas dan karakter khas yang membangun musik nordik, namun setidaknya gambaran tentang musik nordik secara permukaan dapat kita telusuri–walaupun, Smith (2002) mewanti-wanti, bahwa untuk mengenali musik, teks sama sekali tidak membantu.
Istilah ‘Nordik’ sendiri berasal dari hubungan politik dan sejarah antar negara di utara Eropa: Norwegia, Swedia, Denmark, Finlandia, dan Islandia. Sedangkan istilah ‘Skandinavia’ berlaku untuk jalinan bahasa yang melingkupi Norwegia, Swedia, dan Denmark. Hingga kini kedua istilah tersebut masih lajim digunakan sesuai dengan konteksnya. Dodge (1911) berasumsi bahwa musik merupakan refleksi dari karakter masyarakat. Oleh karenanya, gambaran musik yang ia berikan adalah musik yang hidup di masyarakat, seperti hymne ritual keagamaan, lagu yang mengandung cerita rakyat atau musik dalam perayaan-perayaan. Tambah Dodge, bentang alam yang murung tanpa cahaya langsung matahari, adalah asal muasal mengapa banyak musik Nordik ditulis dalam nada minor. Dalam menggambarkan sifat musik Nordik, Dodge berpandangan bahwa musik Nordik kerap mengandung kritik–tapi bukan kritik sosial atau musik-musik pergerakan yang berkembang kuat di negara dengan latar sosialis–di dataran utara, “musik mengkritisi dirinya sendiri, mengkritisi sang musisi dan juga mengikritisi konteks identitas masyarakat dimana musik tersebut dilahirkan”. Dalam bahasa yang lebih halus, Smith (2002) menyatakan: “Whereas the history of Continental European art music has been plagued at many points by certain stylistic and philosophical divisions between countries, that of Northern European art music has resulted in a joint effort on the part of all five Nordic nations for the advancement and promotion of their mutually-related musical cultures”. Aspek terakhir, yaitu kritisisme identitas, menempatkan musik sebagai tonggak pembentukan nasionalisme (seperti halnya kesadaran nasionalisme Finlandia yang dibangun oleh Sibelius). Namun belakangan, aspek identitas menjadi rentan dipolitisir oleh faksi sayap kanan yang marak berkembang di negara-negara Nordik dengan mengusung narasi nasionalisme garis keras.
Tanpa mengesampingkan kuatnya narasi [politik] identitas, keterkaitan musik Nordik dengan aspek sosial politik baiknya kita bahas pada kesempatan lain saja. Dengan memfokuskan kembali pada bahasan musikalitas, pernyataan Smith tentang keutuhan bentuk musik Nordik menarik untuk digali. Menurutnya musik Nordik tidaklah terpisah batas negara karena setiap bangsa menunjukkan kontribusi masing-masing dalam pertumbuhan seni musik Nordik secara keseluruhan. Namun untuk menyatakan bahwa musik Nordik sama sekali terputus dari tradisi musik Eropa adalah miskonsepsi. Smith (2002) meluruskan pandangan ini dengan menyatakan bahwa sejumlah besar komposer negara-negara Nordik, mendapatkan pelajaran musik di pusat musik Eropa (pada era Grieg, Jerman dan Perancis). Tapi Smith tidak pula dapat menafikkan bahwa terdapat karakteristik khusus, seperti tradisi, ajaran agama dan pengalaman yang menjadikan musik Nordik mampu membedakan diri. Holt (2017) menyebutnya sebagai “Gaya Musik Nordik” (Nordic-style Music), sebuah esensi musik yang lahir dari sejarah pertukaran gagasan yang berkelindan dengan mitologi yang membentuk persepsi akan dunia. Oleh karenanya, Gaya Musik Nordik bukan hanya cerminan estetika ideal, tapi juga gerak sosial dan mitos muasal yang melandasi setiap nada dalam penciptaan musik. Mitos, menurut Holt, adalah kekuatan yang menjadikan musik Nordik senantiasa bersentuhan dengan sisi transendental.
Adapun aspek lain yang berkontribusi pada pembentukan sound khas musik Nordik adalah aliran romantisisme, sebuah gerakan perayaan atas eksposisi emosi manusia–sehingga tidak aneh bila Dodge (1911) menyatakan bahwa musik Nordik sarat akan nuansa sentimen (perasaan). Dalam perkembangan industri musik belakangan, mitologi dan romantisisme musik Nordik hadir dalam (setidaknya) tiga varian (Holt, 2017): (1) romantisisme musik musim panas hangat ala ABBA, Lisa Eksdal atau Alice Babs; (2) melankolis introvert yang mengusung pencarian diri gelap dalam alam nan keras atau dalam bahasa nenek moyang seperti yang ditawarkan Sigur Ros, Samaris dan Emiliana Torrini; atau (3) musik yang terinspirasi mitologi norse yang diangkat oleh jajaran band dalam kultus Norwegian Black Metal dan folk neo-pagan. Pada varian terakhir ini, hadir pula para komposer techno seperti Jan Garbarek dan Safri Duo, atau modernist seperti Bjork yang kerap mengangkat bentuk kosmopolitan dari norse mitologi. Namun harus ditekankan bahwa varian musik hanyalan penyederhanaan dari gerak musik Nordik yang terangkum dalam refleksi tradisi, mitos, dan kepercayaan masyarakat yang dirayakan di luar video musik berdurasi. Atau dalam ungkapan terkenal Grieg: “I am sure my music has a taste of codfish in it”, sebuah rasa musik khas yang senantiasa meninggalkan kesan tersendiri.
Heilung dan Neopaganisme dalam Musik Nordik
Sumber Gambar: Wikimedia Commons
Sumber Bacaan:
Dodge, D. K. 1911. Scandinavian Characters and Scandinavian Musics. The Sewanee Review, 19(3): 279-284
Granholm, K. 2011. “Sons of Northern Darkness”: Heathen Influences in Black Metal and Neofolk Music. Numen, 58: 514–544.
Holt, F., & Karja, A. 2017. The Oxford Handbook of Popular Music in the Nordic Countries. Oxford University Press.
Magliocco, S., & Tannen, H. 1998. The Real Old-Time Religion: Towards an Aesthetics of Neo-Pagan Song. Ethnologies, 20: 175-201.
Smith, F. K. 2002. Nordic Art Music: From the Middle Ages to the Third Millennium. Praeger Publishers.
Von Schnurbein, S. 2016. Norse Revival: Transformations of Germanic Neopaganism. Brill.
kontak via editor@antimateri.com