Obsesi akan pemaknaan ruang telah menghantarkan saya pada sebuah konsep abstrak para pendeta Zen Jepang yang dikenal dengan sebutan Ma. Istilah ini tidak memiliki padanan yang tepat dalam bahasa manapun sehingga serta merta kita harus tunduk pada terjemahan yang tidak sempurna. Sebagian ahli bahasa mendefinisikan Ma sebagai interval (ruang antara), yang berlaku baik sebagai jarak antara objek, sunyi diantara percakapan atau jeda antara tindakan. Sebagian lagi menyebutnya sebagai state of mind (cara berpikir). Para seniman memaknai Ma sebagai paradigma estetika. Sedangkan para filsuf menyebutnya sebagai filsafat ruang. Akar dari konsep Ma sendiri dapat ditelusur pada kepercayaan Shinto yang berpandangan bahwa interval (baik jeda, sunyi, maupun jarak) diperlukan sebagai bentuk purifikasi jiwa. Kepercayaan ini lantas mewujud dalam berbagai bentuk gerak hidup: mulai dari arsitektur, sastra, hingga seni lukis. Ditengah kebingungan para ahli bahasa dalam menterjemahkan konsep Ma, ternyata pada abad 15 seorang maestro lukisan asal Provinsi Bitchū–sebuah wilayah di Perfektur Yamaguchi–telah berhasil menangkap wujud Ma dalam lukisannya. Maestro tersebut bernama Sesshū Tōyō, seorang biksu Zen peletak seni lukis Suibokuga (lukisan tinta). Besarnya pengaruh Sesshū dapat disimak dari legenda yang hadir di seputaran dirinya. Kisah Sesshū yang terkenal adalah cerita hukuman yang diterimanya ketika tengah menimba ilmu di biara Hōfuku-ji di wilayah Sōja. Kala itu, Sesshū memiliki reputasi sebagai murid pemalas yang kerap menghabiskan waktunya untuk menggambar daripada membaca Sutra. Salah seorang gurunya yang kesal lalu menghukumnya dengan mengikat Sesshū di sebuah batu. Sesshū menangis sekuat-kuatnya, namun sang Guru tidak mengindahkannya dan lalu kembali duduk di teras biara. Tak selang berapa lama, sang Guru penasaran dengan benda yang bergerak-gerak di bawah kaki Sesshū dan mendekati murid yang tersedu-sedu. Ketika sang Guru mendekat, ia menyadari bahwa benda tersebut adalah seekor tikus, namun yang membuatnya terkejut adalah bahwa tikus tersebut berasal dari lukisan yang dibuat Sesshū dengan jemari kakinya. Tentu saja tidak ada bukti nyata atas legenda ini, tapi kisah ini terus berkembang seiring dengan besarnya nama Sesshū kemudian. Teknik Suibokuga sendiri pada mulanya berasal dari Tiongkok, sehingga untuk mengembangkan tekniknya, Sesshū harus mengunjungi negeri tentangganya tersebut. Lukisan tinta yang kemudian ia pelajari merupakan gaya lukis yang berkembang pada Dinasti Song dan Dinasti Ming yang didominasi oleh lukisan landscape. Gaya ini dipelajarinya secara mandiri–karena menurut Sesshū, saat itu tanah Tiongkok telah kehilangan seluruh pelukis terbaiknya, sehingga ia bersikukuh untuk “belajar secara langsung dari lukisan” (mungkin maksud Sesshū adalah meniru teknik lukis, tapi biarlah pernyataan tersebut kita amini sebagaimana adanya). Pengembangannya dari lukisan tinta Tiongkok inilah yang kemudian membawa dua perubahan besar pada sejarah seni lukis Jepang. Pertama: seni lukis jepang pada mulanya tidak dipandang sebagai seni tingkat tinggi dan hanya memiliki fungsi sebagai dekorasi. Pendekatan Sesshū yang membuat lukisan pada gulungan kanvas (bukan pada pintu atau pada sekat ruangan) membuat seni lukis menapaki tempat baru sebagai fine arts (seni tingkat tinggi). Kedua: Sesshū menjadi pelopor lukisan Zen (yang kemudian diikuti oleh Hasegawa Tōhaku dan Tenshō Shūbun). Lukisan Zen inilah yang kemudian menjadi perwujudan konsep Ma. Persepsi ruang yang dikembangkan Sesshū memiliki perbedaan mencolok dari lukisan landscape Tiongkok. Pada lukisan Tiongkok, ruang adalah penegas bagi filsafat kosmos Taoisme (bahwa manusia tidak lebih dari sebutir debu), sedangkan dalam lukisan Zen, ruang adalah hal yang utama. Disinilah kita melihat metamorfosis yang memukau: jika dalam lukisan tinta Tiongkok landscape dan ruang hadir dalam porsi yang sama (sebagai kesatuan kosmos), maka dalam lukisan Zen, fungsi landscape tidak begitu diindahkan (dan hanya muncul dalam bentuk guratan abstrak), karena yang utama adalah ruang. Salah satu lukisan Sesshū yang paling terkenal berjudul Haboku Sansui adalah Ma yang tertuang dalam bentuk lukisan (Haboku Sansui lantas dinobatkan sebagai harta karun nasional karena kedalaman estetisnya). Memandang lukisan Sesshū, terkhusus Haboku Sansui membuat saya terkagum-kagum. Jika melihatnya dari layar laptop saja sudah membuat terharu, saya tidak dapat membayangkan berhadapan secara langsung dengan wujud Ma tersebut. Tapi lalu saya tertawa geli sendiri ketika membandingkan Haboku Sansui dengan lukisan landscape yang digagas oleh Jackson Pollock di pertengahan abad 20–keduanya menggunakan teknik spalsh-ink, hanya saja jika disandingkan dengan Sesshu, Pollock terlihat sangat kekanak-kanakan.
Seni lukis Suibokuga (lukisan tinta) Sesshū Tōyō
kontak via editor@antimateri.com