Terdapat dua hal yang mendahului kualitas lukisan Lucian Freud. Pertama, garis mentereng silsilah keluarga Freud (dia adalah cucu dari psikoanalis kenamaan Sigmund Freud). Kedua, kontroversi kehidupan pribadi yang mendapat sorotan [media] lebih banyak daripada pembahasan tentang lukisannya. Terlepas dari dua perihal di atas, juga pada selera estetika subjektif, lukisan potret Freud memiliki tempat tersendiri dalam sejarah seni lukis dunia. Ia kerap dibandingkan dengan maestro sekelas Rembrandt dan Velazques yang gemar bermain dengan gagasan potret diri subversif. Yang membedakan adalah, lukisan Freud lahir pada abad dua puluh, ketika langit paska perang dunia hanya menawarkan trauma dan mimpi remuk redam–seperti yang tertuang pada: Guernica karya Picasso, koleksi konstelasi Joan Miro, atau seluruh lukisan Francis Bacon. Freud mulai berkiprah pada awal 1940an dengan pengaruh kubisme dan ekspresionisme Amerika yang terlihat dominan pada lukisan-lukisan awalnya. Namun, memasuki era 1960an, Freud secara konsisten membangun idiosinkratik yang menurut banyak kritikus berbicara tentang “the truth of the body” (Gopnik, 2021). Tubuh, atau lebih tepatnya daging (flesh), ditampilkan secara paksa dalam lukisan potret Freud, dengan penekanan kuas berulang. Bahkan Freud melarang pemakaian tata rias pada modelnya. Dengan kata lain, tubuh (atau wajah, atau bagian tubuh manapun yang menjadi objek) dalam lukisan Freud adalah realita yang ditampilkan dengan eksposisi berkali lipat. Walaupun Freud dikenal dengan sebutan “pelukis potret”, harap buang jauh-jauh kesan potret misterius ala Monalisa karya da Vinci atau potret menawan Adele karya Gustav Klimt. Lukisan potret Freud layaknya puisi vulgar: meminta perhatian sekaligus mengandung kejujuran, tapi di saat yang sama terasa begitu menggangu. Penerimaan lingkaran seni pada lukisan Freud kira-kira sama dengan gambaran di atas, dipuji, sekaligus dicemooh: “Freud’s art was regarded as at best an oddity, serving a general French suspicion that this is simply what the Brits look like without their clothes, and why they should put them back on” (Gopnik, 2021). Namun, Freud secara tegas berdiri pada tradisi realis, yang melukis tubuh secara detil, dengan lapisan lemak, kerutan serta keringat yang oleh kebanyakan dihilangkan atas alasan harmoni. Sebuah manifestasi gagasan yang lantas menempatkannya sebagai bagian penting dalam the London School. Freud berkiprah hingga akhir hayatnya, pada Juni 2011. Delapan tahun paska sang pelukis berpulang, Royal Academy London mengadakan pameran dengan tajuk ‘Lucian Freud: the Self-portaits’. Pameran ini merupakan perayaan atas karya pelukis potret terbesar abad 20, sekaligus sebuah efifani: karena melalui pameran ini, publik mengetahui bahwa Freud melakukan ‘penelanjangan diri’ pada dirinya sendiri – sebagaimana ia lakukan pada model-modelnya. Meminjam pernyataan Dixon (2019): The presented works are unsettling, and at times violent introspections into Freud’s mind, as they attempt to merge the physicality of the human form, with the artist’s response to being. Sebagaimana lukisan sepatu Van Gogh adalah juga ‘potret diri’ sang seniman, maka eksposisi tubuh yang ditampilkan dalam setiap lukisan adalah ‘potret diri’ bagi Lucien Freud. Brutal, telanjang, dan tanpa dekorasi yang membuat lupa akan realita.
Lukisan Lucian Freud: Early Stage
Lukisan Lucian Freud: Post-Expresionism
Sumber Gambar: wikiart
Sumber Bacaan:
Gopnik, A. 2021. Lucian Freud and the Truth about the Body. The New Yorker.
Dixon, C. 2019. Lucian Freud: The Self-portraits. The London Magazine.
kontak via editor@antimateri.com