The Loner, The Stranger, The Arranger

Layaknya kebanyakan generasi yang dibesarkan oleh “Bleach”, “Nevermind” dan “In Utero”, nama Neil Young melesak bersama sebutir peluru dan sebaris kalimat dalam surat perpisahan Cobain: Better to burnt out, than to fade away. Baris ini – merupakan penggalan dari lirik “My My, Hey Hey (Out of the Blue)” yang ditulis pada tahun 1979 – pada akhirnya menghantarkan kita melintasi sebuah trajektori panjang yang bermula sejak Neil Young pertama kali meletupkan gagasan musikalitasnya pada tahun 1965. Sebuah lintasan ruang waktu yang didalamnya terangkum berbagai gejolak jaman, perubahan sosial, aksi protes, keruntuhan sebuah era, kemunculan raja [rock n’ roll] baru dan kelahiran sebuah subkultur dimana salah satu pahlawannya memberi makna personal atas apa yang dikatakan Neil – and Cobain sleeps with angels. Melalui trajektori ini kita berhadapan dengan seorang musisi folk multi-instrument yang setidaknya telah memiliki empat puluh album solo ditambah album-album lain yang telah ia ciptakan ketika bergabung dalam band atau proyek musik lainnya. Sebuah eksistensi luar biasa dalam dunia musik yang muncul dari sosok asing penyendiri.

Neil Young: The Loner

Neil Young adalah sosok penyendiri, sehingga media tidak pernah mampu menggambarkannya secara utuh walaupun ia telah berkiprah hampir setengah abad. Musik dan autobiografinya yang terbit pada tahun 2012 (Waging Heavy Peace: A Hippie’s Dream) adalah satu-satunya jalan menyelami “kesendirian” yang selama ini diusungnya – sebuah idiosinkratik yang kental terasa dalam berbagai penampilannya, sehingga walaupun memiliki band pengiring dan bahkan pernah tergabung dalam sebuah band, Neil tidak pernah sepenuhnya membiarkan diri larut dalam konsep “kelompok”. Ketidaknyamanan ini terlihat jelas ketika ia berada dalam band pertamanya yang mendapat tempat di publik: Buffalo Springfield. Band ini didirikannya bersama Stepehen Stills, Richie Furay dan Dewey Martin pada tahun 1965, tidak lama setelah Neil hijrah (secara illegal) dari Kanada. Secara musikalitas, kekuatan Buffalo Springfield berpijak pada duet gitar folk-rock Neil yang dipadukan dengan pop-country Stephen Stills, membuat band ini memiliki pendengarnya tersendiri – bahkan album “Buffalo Springfield Again” yang dirilis pada tahun 1967 merupakan salah satu album terbaik dalam genre country-folk. Namun dibalik kesuksesan Buffalo Springfield, Neil menyimpan kekecewaan yang berasal dari perbedaan pandangan baik dengan Stills, Furay, maupun pihak perusahaan rekaman – alhasil ketika beberapa materi ciptaannya “disesuaikan” dengan konsep musik Buffalo Springfield, ia pun menarik diri diikuti dengan bubarnya band tersebut tidak lama kemudian (Mei, 1968).

Selepas bubarnya Buffalo Springfield, Neil menggarap album solo pertamanya dalam waktu relatif singkat yaitu enam bulan, dan Neil Young (Neil Young) dirilis oleh Reprise Record pada November 1968. Walaupun album ini tidak mendapatkan respon maksimal dari media, namun dalam album inilah tergambar kemurnian musik seorang Neil Young, sehingga konsep folk klasik seperti “The Last Trip To Tulsa” dan “The Loner” kerap ditemukan dalam album-album setelahnya. Paska album pertamanya, ia merekrut Danny Whitten (gitar), Billy Talbot (bass) dan Ralph Molina (Drum) untuk menjadi pengiringnya dalam penggarapan album selanjutnya, Everybody Knows This is Nowhere. Trio tersebut kemudian dikenal dengan The Crazy Horse, merupakan band kolaborator utama bagi seorang Neil Young selama karir musiknya, dan atas kolaborasi ini album keduanya dirilis menggunakan nama: Neil Young with The Crazy Horse. Pada titik ini kita melihat bagaimana Neil semakin menegaskan keengganannya memberi ruang bagi gagasan lain untuk bersinggungan dengan musiknya, sehingga walaupun memiliki band, Everybody Knows This is Nowhere merupakan karya individu seorang Neil Young sebagaimana album pertamanya.

Keengganan jugalah yang merupakan respon pertama Neil atas ajakan Stephen Stills – eks-Buffalo Springfield – untuk bergabung dalam Crosby, Stills & Nash (CSN) yang merasa membutuhkan sentuhan folk-rock mentah ala Neil Young dalam CSN. Namun pada akhirnya ia setuju setelah Stills menjelaskan bahwa CSN adalah band dengan konsep cair, yang menjadikan band dapat tetap berjalan walaupun ada pengurangan dalam personilnya – atau penambahan, dan album kedua CSN yang dirilis tahun 1970 menggunakan nama: Crosby, Stills, Nash & Young (CSNY). Hal lain yang nampaknya membuat Neil tertarik untuk bergabung adalah konsep pengerjaan materi CSNY yang cenderung individual, dimana sebuah lagu yang ditulis oleh salah satu personilnya kemudian dilengkapi – seringkali secara terpisah – oleh personil lainnya. Namun, walaupun dengan konsep yang begitu “cair”, Neil tetap merasa tidak kerasan dan ia secara temporer “membebaskan diri” dari CSNY setelah dirilisnya Deja Vu – salah satu album folk-rock legendaris yang mengukuhkan standar tinggi bagi genre ini.

Sisi ini, Neil sang Penyendiri, tidak hanya tercermin dalam karya musiknya, tapi juga dalam penampilan livenya, sehingga tidak meleset apabila dikatakan bahwa penampilan terbaik ia hadirkan ketika ia tampil seorang diri, salah satunya penampilan live yang terekam BBC tahun 1971 – frase “yang terekam kamera” perlu ditekankan karena ternyata pada beberapa penampilan live bersama CSNY ia menolak untuk direkam. Dalam rekaman BBC tersebut (Neil Young – In Concert, 1971), dengan bolak-bolak antara gitar dan piano, Neil berhasil menampilkan seluruh idiosinkratiknya: musisi folk gelisah dengan musik dan kesendirian sebagai sanctuarinya.

Neil Young: The Stranger

He wanted to play folk music in a rock band” – Stephen Stills

Terdapat perbedaan cukup mencolok antara Neil dan rekan musisinya, Stephen Stills, yang walaupun keduanya telah bekerjasama berulang kali – dalam Buffalo Springfield, CSNY, dan The Stills-Young Band – namun pandangan Stills tidak pernah berubah terhadap rekannyanya tersebut: bahwa Neil sulit untuk diajak kompromi. Hal ini ternyata tidak hanya dirasakan oleh musisi yang pernah bekerjasama dengannya saja, tapi juga oleh media dan kritikus musik yang menganggap bahwa musiknya selalu asing – bayangkan saja, ia melakukan distorsi kasar pada bangun folknya, bahkan jauh sebelum era grunge, dan bernyanyi dalam nada murung ketika setiap orang berbicara tentang optimisme cinta dalam warna-warni mencolok langit oranye.

Namun bagi Neil, nampak bahwa keterasingan adalah sesuatu yang ia ragkul dengan hangat – dan kita melihatnya mengasingkan diri justru ketika karyanya diterima secara luas oleh publik. Pengasingan diri ini terjadi tidak lama setelah ia bergabung dengan supergrup CSNY dan merilis dua album solo, After the Gold Rush (1970) dan Harvest (1972), yang langsung melejitkan namanya. Atas kesuksesannya ini, terlebih atas hits Heart of Gold, Neil merasakan kebosanan yang memuncak hingga ia, seorang diri, mengasingkan diri di “selokan” – dan lahirlah apa yang kemudian dikenal dunia dengan “the ditch trilogy”. The ditch trilogy sendiri terdiri dari tiga album “gelap” Neil Young [secara komersial] yaitu: Time Fades Away (1973), On the Beach (1974) dan Tonight’s the Night (1975). Pada Time Fades Away, yang merupakan rekaman dari beberapa pertunjukkan livenya, Neil langsung menghentak sejak lagu pembuka sehingga hilang sudah harapan harmonisasi folk ala Harvest yang diharapkan publik darinya. Bahkan album Tonight’s the Night sempat dilarang untuk beredar karena diprediksi akan lebih jeblok dari Time Fades Away, namun Neil berhasil membujuk perusahaan rekaman untuk merilisnya setahun setelah On the Beach (1974) keluar– dan memang terbukti ketika akhirnya berhasil dirilis tahun 1975, album setengah mabuk ini merupakan improvisasi Neil yang paling terpuruk secara komersial.

Tapi bagi apresiator yang tidak memiliki ketergantungan terhadap pelabelan media, dengan jujur dapat berkata bahwa tidak ada yang salah dengan ketiga album yang [oleh media] dibiarkan teronggok di selokan. Time Fades Away menyajikan beberapa balada yang memiliki kekuatan harmonisasi seperti dalam Journey to the Past dan Love in Mind. Juga dalam On the Beach, dimana Neil berhasil melakukan improvisasi blues melalui Revolution Blues yang nyaris tanpa cela dan tenggelam dalam folk yang lebih kelam melalui See the Sky About to Rain. Bahkan pada puncak pengasingannya, album Tonight’s the Night adalah campuran menarik antara blues dan folk yang berhasil menjauhkan Neil dari “keringanan ilusif” album Harvest – membuktikan bahwa konsep yang ia suguhkan dalam Harvest bukanlah satu-satunya pendekatan folk yang dapat ia sajikan.

Melalui pembacaan diatas, dapat dikatakan bahwa the ditch trilogy merupakan sebuah pemberontakan estetik seorang Neil Young atas ekspetasi publik akan dirinya – sebuah bentuk pengasingan diri yang telah ia lakukan berulang kali sepanjang perjalanan karir musiknya, karena bagi Neil Young: keterasingan merupakan bagian mutlak yang harus ada dalam atmosfer kreatifnya.

Neil Young: The Arranger

Namun, orang asing penyendiri ini terkadang mampir sejenak dalam sebuah perayaan atau bergabung dalam sebuah aksi protes – sehingga muncullah diantaranya anthem patah hati “Only Love Can Break Your Heart”, balada tentang mimpi sebuah generasi “Helpless”, atau salah satu lagu protest paling terkenal yang ditulis lalu dibawakan Neil bersama dengan CSNY, “Ohio”, serta sindiran rasism yang ia lantunkan dalam “Southern Man”. Jajaran hitsnya ini membuktikan bahwa seeksentrik apapun Neil Young, industri musik tidak pernah sepenuhnya mampu memalingkan muka darinya – karena dalam keeksentrikkannya, Neil berhasil menempatkan secara seimbang lirik personal dan improvisasi musik, yang secara aneh dapat menyentuh sisi emosional pendengarya.

Selain lirik personal dan improvisasi melalui berbagai pendekatan musikalitas, terdapat satu hal lain yang menjadi karakter khas dalam penciptaan karya-karyanya, yaitu spontanitas yang berasal dari respon Neil terhadap kondisi di sekitarnya – atau lebih luas: perubahan musik disekitarnya. Terdapat beberapa lagu dan album yang muncul dari spontanitas Neil – diantaranya tiga lagu dengan solo gitar legendaris dalam album Everybody Knows This is Nowhere, yaitu Cinnamon Girl, Drown By the River dan Cowgirl In the Sand yang ditulis secara magis ketika ia terbaring sakit dalam waktu dua jam, atau lagu The Needle and The Demage Done yang menumpahkan trauma Neil atas kematian gitaris The Crazy Horse, Danny Whitten, sedangkan album Rust Never Sleep (1979) merupakan reaksinya terhadap kemunculan punk dan Sleeps with Angels (1994) adalah album yang ia tulis sebagai bentuk simpatinya atas kematian tragis Kurt Cobain. Dengan spontanitasnya tersebut, semakin lengkaplah idiosinkratik Neil sebagai sosok yang sulit diprediksi oleh publik.

Terlepas dari upaya pembacaan publik dan media, Neil Young memiliki pandangan tersendiri – bahwa ia senantiasa menganggap dirinya “B student of Bob Dylan”. Pandangan ini dilandasi atas kesadaran bahwa Dylan telah meletakkan fondasi folk yang tidak seorangpun mampu mengubahnya. Terlebih menurut Neil, segala bentuk improvisasi telah dilakukan oleh Dylan, termasuk amplifikasi gitar elektrik, jauh sebelum musisi folk lain melakukannya pada akhir 1960an. Atas kondisi ini Neil tidak mau ambil pusing, ia memang tidak berniat menyaingi pendahulunya tersebut, sehingga apa yang kemudian muncul dari seorang Neil Young adalah konsep folk-rock dengan kualitas utuh: sederhana, tanpa improvisasi berlebihan, tapi memiliki ketajaman yang mampu memukau pendengar sehingga menjadikannya sebagai salah satu figur folk terkemuka.

Namun Neil Young adalah sosok dengan visinya tersendiri – dan melalui deretan karyanya, publik semakin tersadar bahwa yang tengah mereka hadapi bukan sekedar “murid Dylan dengan nilai standar”, tapi seorang pemberontak dengan berkah dewa Pan – dewa alam raya sekaligus pemilik kunci bagi ruang emosi terdalam – yang dengan berkah sang dewa, ia mampu memanen kesedihan rembulan dan menuangkannya dalam rangkaian lagu yang tak ada habisnya: karena sejak pertama Neil mengambil gitar, entah berapa ratus lagu telah ia ciptakan. Oleh karena persistensinya tersebut, kita tahu persis bahwa Neil Young memiliki kapasitas untuk menghindari ramalan yang ia tulis sendiri: Better to burnt out, than to fade away – sehingga ia tidak pernah terbakar apalagi pudar. Tapi bagaimanapun, Neil adalah seseorang dengan gambaran “there’s more to the picture, than meets the eye” – dan kita tidak pernah tahu apa yang terjadi antara satu fase kesedihan dengan kesedihannya yang lain – karena dalam karya awalnya (The Loner, 1968), sosok asing penyendiri ini pernah berujar: He died – but it did not show!.

Sumber Gambar: openculture

Share on:

1 thought on “The Loner, The Stranger, The Arranger”

Leave a Comment