Pesta adalah salah satu tema dalam seni yang terlampau sayang untuk dilewatkan. Dan rasanya, tidak ada tema yang lebih tepat untuk dijadikan artikel penutup bagi tahun 2023–tahun yang relatif biasa-biasa saja (jika kita melupakan perang, genosida, penolakkan pengungsi, dan ragam peristiwa t*hi kuc*ng lainnya). Untuk sekedar melepas penat dari jejalan realita, manusia menciptakan pesta: sebuah mekanisme eskapis yang dimulai sejak tuangan anggur pertama hingga titik penghabisan. Namun, tidak seperti persediaan anggur yang terbatas, kita tidak pernah kehabisan alasan untuk berpesta. Untuk hal satu ini, Bacchus–sang dewa mabuk–adalah ahlinya. Namanya bahkan lekat dengan istilah Bhaccanalia, sebuah gaya hidup liar yang ditemukan era Romawi Klasik (kisaran 18 BC). Walaupun dengan ragam versi, tidak dipungkiri Bhaccanalia adalah prototipe pesta yang berkembang kemudian: mulai dari pesta aristrokrat abad pertengahan, pesta rakyat jelata dengan musik gegap gempita, hingga ragam pesta era modern (yang jika dibandingkan dengan Bhaccanalia, tentu jauh lebih ‘jinak dan beradab’). Bacchus sendiri merupakan adopsi, atau lebih tepatnya pengkultusan warga Romawi atas mitos Yunani Klasik, Dionysus–dewa bagi para pemabuk dan pendobrak tatanan sosial. Adapun artikel kali ini tidak akan berpanjang-panjang dengan narasi pengantar, karena tidak ada cara yang mampu melukiskan keliaran Bacchus lebih dari karya maestro lukis kenamaan: Leonardo Da Vinci, Titian, Caravaggio, Diego Velázquez, William-Adolphe Bouguereau, dan Elaine de Kooning. Singkat kata, let’s start the party and pour the wine!.
Bacchus, karya Leonardo Da Vinci (circa 1510–1515) merupakan plot-twist dari interpretasi Leonardo atas Saint John the Baptist. Lukisan yang awalnya merupakan interpretasi atas sang martir, diubah menjadi sang dewa mabuk dengan menambahkan simbolisasi anggur dan jubah dengan motif leopard.
The Bacchanal of the Andrians karya Titian (circa 1523–1526) memberi gambaran tentang keliaran festival Bacchanalia dengan setting Pulau Andros. Bacchus dan para pengikutnya dilukis berulang oleh Titian dan menjadi tema utama dalam lukisan-lukisan mitos yang digarap oleh sang Maestro.
Bacchuss karya Caravaggio (1969) adalah salah satu interpretasi yang paling terkenal. Gambaran Caravaggio atas sosok Bacchuss–dengan kulit pucat dan maya sayu–menjadi prototype moden atas penggambaran sang dewa mabuk.
The Triumph of Bacchus atau Los Borrachos merupakan karya Diego Velázquez (circa 1628-1629). Lukisan ini menjadi salah satu interpretasi Bacchuss terkenal atas simbolisasi penyematan ‘mahkota’ pada para pemabuk.
The Youth of Bacchus karya William-Adolphe Bouguereau (1884) merupakan salah satu karya neoklasik Perancis yang mengangkat mitologi dengan sentuhan realism. Di tangan Bouguereau, Bacshuss kecil bahkan telah menjadi ‘party animal’ bahkan sejak usia dini.
Bacchus #3 adalah lukisan karya Elaine de Kooning (circa 1978). Melalui ekspresi abstrak, de Kooning berhasil menampilkan Bacchuss yang mabuk namun sekaligus sublim. Lukisan ini menjadi penutup bukan tanpa alasan, karena jujur saja, mabuk dalam kualitas tertinggi akan berujung sublimasi transenden, laiknya Bacchuss dalam torehan kanvas de Kooning. Cheers!
Gambar Muka: Bacchanalia, Pablo Picasso 1959
Sumber Gambar: Wikipedia commons
Sumber Bacaan:
National Museum of Women in Arts, Bacchus #3: Elaine de Kooning
Virtual Wine Museum, Dionysus/Bacchus, God of Wine in Greek and Roman Mythology
Walsh, P. G. (1996). Making a Drama out of a Crisis: Livy on the Bacchanalia. Greece & Rome. 43 (2): 188–203.
kontak via editor@antimateri.com