adalah puisi anti-materi
memecah kata jadi aksara
yang berpijar di altar persembahan,
detik dibakar: porak-poranda!
Bait di atas diambil dari puisi saya yang merupakan translasi dari foto berjudul Kematian Waktu karya Adzwari Ridzki. Frase “antimateri” sendiri saya comot dengan paksa dari sebuah cerpen karya Romo Mangunwijaya – berjudul Rheinstein – keluar dari konteksnya begitu saja. Dan setelah insiden pencomotan itu, frase yang ternyata memiliki makna fisika (yang oleh awam dipahami sebagai dongeng tentang partikel/anti-partikel yang saling memusnahkan), dengan seenaknya menggantung di setiap pojokan: setiap menoleh, ia ada disitu. Dan karena takut kualat (walaupun saya rasa seorang sastrawan sekelas Romo Mangun tidak akan ngambek ketika frasenya dieksploitir secara seenaknya oleh pembaca yang tidak bertanggung jawab seperti saya), maka saya coba mengamalkannya sebanyak mungkin di berbagai kesempatan, termasuk sebagai penamaan blog ini, yang disetujui oleh dua rekan saya, Papap dan Sehu. Mudah-mudahan nama “antimateri” dapat mengakomodir kebutuhan eskapis kita semua, tanpa harus terbebani oleh tetek bengek ilmiah kaku yang malah menghilangkan keasyikan pendefinisian ulang berbagai tema di dalamnya. Bagi saya pribadi, antimateri adalah sebuah upaya mereduksi berbagai distorsi makna, untuk membuat segala hal menjadi sederhana. Tapi definisi ini bisa berubah kapanpun, sesuai mood dan kesempatan, hehe.
Salam antimateri
kontak via editor@antimateri.com
Bung Aliii, ternyata begitu toh! (dengan logat Jawa yang kental tentunya)
hehe iya begitulah neng sehu, mangga di antos tulisannya 🙂
Just you wait, ‘enry ‘iggins, just you wait!
sedang meresapi tulisan-tulisannya, teh.
hehe silahkan norma, dibakar lalu dimakan bersama juga boleh #halah 😀