Dalam sebuah revolusi, terdapat dua hal yang luput dari liputan televisi. Pertama, revolusi itu sendiri. Kedua, sosok anjing yang menyalak di garis depan. Anjing yang dimaksud memiliki arti harfiah, Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikannya sebagai binatang menyusui yang biasa dipelihara untuk menjaga rumah, berburu, dan fungsi domestik lainnya. Domestifikasi tersebut, menurut Carl Jung menggambarkan agresivitas manusia dalam memproduksi “budak”, sebuah kebutuhan akan kuasa yang disalurkan melalui tali pengekang. Namun diluar hubungan emosional yang pelik antara anjing dan manusia, anjing tetaplah anjing, dan tentu saja tetap merupakan binatang yang tergolong kedalam Canis familiaris.
Sisi kebinatangan inilah yang menyelamatkan anjing dari represi psikologis (tuannya). Binatang, dalam hal ini anjing, tidak memberikan penilaian. Insting dan tindakan binatang adalah sebuah kesatuan, karena apa yang “dipilih” oleh binatang ditentukan oleh tarikan nalurinya, tidak ditentukan oleh sistem penilaian tentang apa yang tepat dan apa yang tidak tepat, atau apa yang baik atau tidak [1]. Insting – atau dikenal sebagai hasrat (Id) dalam konteks psikologis manusia – senantiasa murni dan menjadi penggerak dasar tindakan alamiah bagi anjing [dan juga manusia], yang dalam beberapa kasus tertentu insting tersebut bersebrangan dengan otoritas si pemegang tali.
Anjing-anjing Kerusuhan [2]
Tadi malam anjing-anjing lewat di depan rumah kami
suara riuh rendah terdengar dari jarak kasat mata
menyalak entah kenapa atau pada apa
membuat kami terjaga dan menunggu di beranda,
penasaran sekaligus mengharapkan tontonan.
Dari ujung jarak pandang ada sekitar sepuluh jumlahnya
namun pada hitungan lima, sepasang mata menusuk tajam
mematung, tidak beranjak kemana-mana
Kawanannya sudah jauh di depan, tapi satu tertinggal
kalau saja dia manusia mungkin dia akan berkata:
biar kami ambil alih dari sini jika kalian terlalu takut untuk bertindak
atas nama kepengecutan,
atau lebih tepatnya ketidakpedulian.
Lalu kami melihatnya menghilang ditelan selimut malam.
Aku terbangun pagi hari dengan berita di televisi,
ratusan anjing bergerombol di alun-alun ibu kota.
-Tentang Anjing dan Revolusi[3]-
Sebuah fakta menarik muncul dalam demonstrasi di Yunani pada tahun 2008. Demonstrasi yang dilatarbelakangi oleh krisis ekonomi tersebut memicu bentrokan antara massa dan pihak otoritas di berbagai tempat di Athena. Namun, pelaku demonstrasi tersebut tidak hanya warga Athena dari golongan Homo Sapiens (baca: manusia) saja, tetapi juga dari dari golongan lain, yaitu anjing. Para demonstran memanggilnya Kanellos, terlepas bahwa kemungkinan anjing tersebut adalah anjing yang berbeda di setiap kemunculannya.
Kanellos, bukanlah anjing yang mengikuti tuannya ke ajang demonstrasi. Ia merupakan salah satu dari anjing liar yang secara sengaja dipelihara oleh kota Athena untuk menarik turis (ditandai dengan kalung biru di lehernya). Setelah kemunculan Kanellos tahun 2008, terdapat dua penamaan lain bagi anjing kerusuhan yang tidak pernah absen sekalipun dalam aksi demonstrasi Athena yang merebak kembali pada tahun 2011 yaitu Thodoris dan Loukanikos – keduanya diperkirakan sebagai inkarnasi dari Kanellos yang telah pergi ke surga anjing pada tahun 2009. Dalam keliarannya yang tanpa Tuan, anjing-anjing kerusuhan tersebut tidak pernah kebingungan terhadap pihak mana yang ia bela. Pada sebuah demonstrasi, ketika pihak aparat yang diturunkan untuk membubarkan massa mengenakan pakaian sipil, anjing-anjing tersebut tetap menyalak kencang kearah mereka, fakta bahwa anjing dapat mengendus ketidakberesan dibawah permukaan kulit.
Anjing dan Representasi Murni Hasrat Masyarakat
Simpulan ini dikemukakan oleh Sigmund Freud. Freud dalam penelitiannya seringkali menggunakan anjing, baik untuk kepentingan pasien atau kepentingannya sendiri, sehingga tidaklah aneh ketika asumsi dasar psikologis manusia – Id, Ego, dan Superego – ia kaitkan dengan tingkah perilaku kebinatangan seekor anjing. Menurutnya, anjing dan anak kecil memiliki kesamaan, yaitu bertindak menurut kepada hasrat alamiahnya, atau dikenal dengan Id [4]. Hasrat ini merupakan impuls murni manusia sebelum dikekang oleh ego, sang pengamat realitas dan superego, sang pengawas moralitas. Logika ini kemudian digunakan dalam berbagai tulisan psikologi sosial untuk menggambarkan kedudukan anjing yang muncul pada kerusuhan dalam sebuah revolusi sosial. Pemihakkan yang dilakukan anjing bukanlah didasari oleh penilaian baik dan buruk sistem nilai, namun merupakan pemihakkan terhadap hasrat murni masyarakat yang harus berlawanan dengan ego dan superego yang dilakoni oleh otoritas pemerintah. Hasrat murni inilah yang diendus oleh insting kebinatangannya dan mendorongnya untuk menyalak di garis depan.
Sumber:
[1] Catatan Sutan Takdir Alisyahbana mengenai penelusuran Filsafat Nilai (Cetakan ulang tahun 1979)
[2] Perbincangan dengan seorang kawan, Radito Wicaksono, seorang pecinta anjing dan kerusuhan
[3] Tentang Anjing dan Revolusi, diterbitkan di Harian Pikiran Rakyat, November 2012
[4] Dufresne, Todd, 2010, Killing Freud: Kematian Psikoanalisis, Kanisius, Yogyakarta
kontak via editor@antimateri.com
Tulisannya teh Aliyuna kece2 yak hehehe
kalo orangnya gmn mad? gkgkgkg #kaburr
eh, ayo tambah lagi dosis tulisannya, ditunggu ya 🙂
Hahaha.. orangnya sudah tak diragukan lagi kekeceannya, pengen kopdar malah haha. Iya nih mau nambah, tp nnt hbs lebaran hahaha.