Mukadimah si Mati, Asmaraloka dan Hasrat Peradaban

Shekure menyerahkan catatan ini kepada anaknya yang bernama Orhan. Shekure, Orhan, dan Shevket, hidup di sekitar tahun 1591, atau di masa kesultanan Usmani yang dipimpin Sultan Murat III. Pada tahun 1998 novel berjudul Benim Adim Kirmizi (My Name is Red)  atau Namaku Merah terbit untuk pertama kalinya dan telah diterjemahkan ke lebih dari 30 bahasa. Orhan Pamuk, penulis peraih Nobel Sastra tahun 2006, menulis rentang kisah emporium Timur antara tahun 1990-92 dan 1994-98, total waktu yang dikerahkannya kira-kira 6 tahun untuk novel ini.

Setiap tokoh, dari mulai Anjing dan Pohon, sekeping Uang Emas bahkan yang seabstrak Kematian, diberi porsi oleh Pamuk untuk bertutur. Ketimbang menjelaskan latar peristiwa dan deskripsi keadaan dengan cara yang pasif dan berjarak, Pamuk menggunakan objek-objek dan fenomena, membubuhinya dengan suara, kemudian membebaskannya bercerita. Dari objek-objek itulah, para karakter utama seperti Shekure dan Hitam, yang kisahnya paling menyedot perasaan itu, terlepas dari beban narasi yang bertele-tele tentang suatu keadaan yang lampau sebagai latar kehidupan mereka.

Pembabakan karakter ini juga yang dilakukan Faulkner dalam As I Lay Dying. Guna menampilkan kontradiksi laku eksternal, badaniah yang quasi-spontan itu, dengan tegangan internal jiwa dan pikiran para tokoh yang kerap berkecamuk. Dari sudut pandang kontradiksi ini, dapat dilihat bahwa super-ego bekerja dengan cara meneror subjek. Terutama Shekure yang secara pasif (ia tak pernah membuat suatu peristiwa, kecuali pernikahannya sendiri), yang menjadi episentrum emosi, intrik, dan konflik.

Keputusan Shekure senantiasa dihantui perasaan bersalah, meski alasannya beroleh tepat secara moral. Parameter moral yang acap ia jadikan sandaran dan sandungan pun di satu sisi mampu mengambil tempat sebagai bayangan dari hasrat.  Misteri kematian Elok Effendi dan ayahanda Shekure, serta perjuangan Shekure menaklukan hasrat-hasratnya, terpapar sepanjang narasi dan saling berkelindan dengan sejarah suatu tumbuh dan matinya peradaban. Seperti yang diungkapkan Freud, hasrat terbagi dua: Thanatos dan Eros. Yang satu secara subtil mendambakan kematian, sedangkan Eros mewujud sebagai semangat hidup.

Keberadaan kedua unsur itu tidak dapat secara langsung disadari, atau bahkan diberi nama. Shekure berjuang melepaskan diri dari bayang-bayang suaminya yang sudah selama dua tahun tak kunjung kembali dari medan perang. Di samping itu, ia pun mencoba lari dan menghindar dari jeratan Hasan, kakak suaminya, yang berusaha menampung sang adik ipar di rumah. Hasan lambat-laun menjadikan Shekure sebagai objek pelampiasan hasratnya.

Apakah Shekure merindukan kembalinya sang suami dari medan perang? Apakah Shekure mengkhianati rumah-tangganya yang telah memberinya Shevket dan Orhan? Jawabannya hampir negatif. Hasan merupakan suatu tindak displacement (pemindahan) dari yang semula Shekure arahkan pada sosok suaminya, sebagai perasaan benci. Kebencian itu termanifestasikan pada Hasan yang berlaku sebagai obstakel hasrat. Tapi yang Shekure benci sesungguhnya bukan Hasan yang menyedihkan itu, melainkan suaminya sendiri yang tak kunjung kembali.

Kebencian lahir dari harga diri yang terluka, dan harga diri Shekure adalah pilihannya akan sang suami. Ia membenci (secara tak sadar) suatu kenyataan bahwa hanya lewat suaminyalah Shekure bisa tampak dan eksis secara sosial. Pilihan yang justru disadarinya belakangan sebagai keterpaksaan, dan menyingkirkan Hitam yang sempat menghasrati dirinya serta, yang utama adalah, Shekure sendiri menikmati posisinya sebagai yang-dihasrati oleh Hitam. Shekure memahami dirinya lewat hasrat Hitam.

Proses tersebut similar dengan polah subjek yang hanya akan terbit akibat hasrat the other. Dalam Lacan tahapan ini disebut sebagai Imaginary Order, atau kegagalan identitas sejak awal mula. Ketika entitas yang subjek duga dapat menopang ranah Simbolik mulai rontok (kehilangan sang suami), subjek seketika masuk ke dunia neurotik, terlepas namun berusaha terinstal kembali ke dalamnya. Tak ayal jika di bagian akhir novel ini, Shekure menamakan adegan percintaannya dengan Hitam sebagai “membubuhkan obat ke atas luka-luka” (hal. 737).

Luka ini pula yang sepanjang waktu Shekure coba sembuhkan, tepatnya, mencoba bebas darinya. Percobaan ini mewujud pada mimpi (hal. 254), tentang kematian suami Shekure di medan perang, yang ia yakini sebagai sebuah pertanda bahwa suaminya memang benar-benar telah mati di suatu tempat. Dalam pembacaan psikoanalisa Freudian, mimpi merupakan kondensasi dari suatu hasrat. Kematian yang terjadi pada suami Shekure di alam mimpi merupakan sebuah simbol, yakni hasratnya harus terbebaskan.

Logika simbol mimpi di atas tersusun dengan sederhana seperti demikian: mati = terbebas dari kehidupan; kehidupan Shekure saat itu berada di bawah norma-norma sosial dan religius yang ketat; suami, ayah dari Shevket dan Orhan, adalah figur otoritas. Otoritas harus mati agar apa yang direpresinya terbebaskan. Akhirnya, mimpi itu bermakna bahwa hasrat Shekure akan dialokasikan kepada Hitam. Namun, tidak dengan caranya yang mulus. Terdapat pertarungan, bahkan pertumpahan darah, serta sedikit-banyak muslihat.

Menariknya lagi, Pamuk membuat segala tokoh tampil telanjang dengan rangkaian hasrat-hasratnya. Meski mereka menyandang gelar empu, seperti tuan Osman, atau ksatria seperti Hitam, karakter-karakter tersebut acap kali dekat dengan unsur erotik. Bahkan bagi para empat empu muda pesanan Sultan: Kupu-kupu, Zaitun, Bangau, Elok Effendi. Erotisme bagi mereka merupakan ekstase yang sama yang dihasilkan dari suatu karya seni, serta kerja keras dan hukuman yang mereka dapati di bengkel-bengkel seniman. Kenikmatan yang rupanya hanya berbagi sejengkal jarak dengan rasa sakit itu hadir lewat sentuhan, tatapan, dan terkadang siksaan dari para empu.

Tak ayal karya para karikaturis, ilustrator, dan iluminator di zaman tersebut tak sedikit merupakan hasil dari sublimasi dan displacement hasrat yang terkekang. Baik oleh super-ego internal subjek, maupun kontestasi moral masyarakat pada zamannya. Seperti misal yang dialami Hitam di hal. 93 saat tengah memandang lukisan, “Aku menatap lukisan yang hikmat bertahun-tahun lalu dan menggambarkan Shirin dilanda cinta saat menatap pada gambar Husrev yang tergantung dari sebuah dahan.” Atau seperti apa yang ditemukan para empu di lemari milik Zaitun yang mengungkapkan siapa sebenarnya Zaitun.

Novel yang dimulai dengan narasi sesosok mayat ini mengingatkan saya pada parabel karya Borges serta ketakjubannya terhadap dongeng Seribu Satu Malam. Jika Seribu Satu Malam memendarkan cahaya dari Timur ke langit gelap Barat, maka novel Namaku Merah mewartakan ancaman budaya orang-orang Frank, para pelukis dari Venesia, terhadap warisan Islam –yang dibaca sebagai jiwa bangsa Timur di era kesultanan Usmani. Lenyapnya gaya otentik suatu lukisan dari bengkel seni tertentu, karena para pelukisnya mengadopsi (atau dalam novel disebut “melacurkan dirinya”) telaah perspektif a-la Barat, sama dengan runtuhnya iman Islam dunia Timur.

Meski Enishte, ayahanda Shekure, sempat berpendapat bahwa Timur dan Barat adalah kepunyaan Allah, kita tak bisa menampik bahwa wacana yang sifatnya orientalis vis-a-vis oksidentalis masih bergema hingga hari ini, selama kedua kubu (jika memang pernah ada yang namanya ‘kubu’) saling melancarkan perlawanan politik yang berakhir dengan kolonialisme sampai dengan neo-kolonialisme mutakhir. Dari sini lah, dari peta politik tersebut, kesultanan menitahkan para pelukis tersohor membuatkan kitab sebagai simbol kejayaan yang akan diwariskan bergenerasi, kendati yang dilukiskan para pelukis itu tak selalu benar.

Atau lebih tepatnya, para seniman itu diarahkan secara politis untuk menangkis pengaruh Barat. Usaha inilah yang membuat Namaku Merah adalah juga novel yang berdarah. Elok Effendi, salah satu empu pilihan sang sultan, mati dibunuh. Bahkan sang empu Enishte dibunuh karena mulai mengakomodir dan menerima pengaruh lukisan gaya Barat. Memang Kupu-kupu mengungkapkan satu hal: “Seorang seniman selayaknya tidak takluk pada kungkungan semacam ini… Ia selayaknya hanya melukis saja dengan cara ia melihatnya, bukan meributkan soal Timur dan Barat.” (hal. 722)

Tapi kita semua tahu pendapatnya itu terlalu terlambat. Seketika sang seniman terpapar pengaruh Barat, maka dengan ‘cara’ Barat lah ia akan berkarya, begitu pun sebaliknya. Bahkan, seketika para empu menerima order sang sultan pula lah, otentisitas serta kejujuran dalam berkaryanya pun dapat dikompromikan. Tak ada spontanitas, dan tak ada yang namanya “hanya melukis saja dengan cara ia melihatnya” seperti yang diungkapkan Kupu-kupu, yang justru similar dengan jargon “seni untuk seni”.

Konflik yang menyeruak dalam Namaku Merah, terutama kegiatan politik-yang-berkesenian, bukan hanya berlaku di zaman kesultanan Usmani saja. Sebagai catatan, hal tersebut pada kenyataannya berlanjut sampai sekarang, khususnya pada apa yang terjadi di gelaran Seni Bandung. Langkah yang sama yang dilakukan Sultan dan Walikota Bandung, adalah berusaha menciptakan sejarah yang megah, “Kitab Segala Pesta”, dan taman di atas nestapa korban perang dan korban penggusuran. Sejarah barangkali milik mereka yang menang. Tapi celakanya, sejarah kini sedang bergulir atas nama estetika dan kemegahan belaka.

Penulis:
Ilham Satrio, pekerja, tergabung di Metaruang

Share on:

Leave a Comment