“An eye that sees, another that feels”[1] merupakan penggalan puisi Paul Klee yang saya kutip ketika seorang kawan bertanya: “bagaimana kita dapat mengenali kadar estetika dalam sebuah karya seni?”. Seketika saya teringat pada tumpukan buku, dokumen elektronik, serta berbagai paparan kuliah (daring) terkait estetika mulai dari Plato, Kant hingga Schiller – yang lalu saya rekomendasikan padanya. Namun, karena ternyata ia membutuhkan jawaban singkat, maka kalimat Klee lah yang kemudian saya gunakan: estetika dapat dikenali jika satu mata [digunakan] untuk melihat, dan mata lainnya untuk merasa. Mendengar jawaban tadi, kawanku lantas mengubah arah pembicaraan, besar kemungkinan karena jawaban yang diajukan kurang memuaskan baginya. Namun bagi saya, penggalan kalimat Klee terus menggelitik pikiran bahkan setelah perbincangan usai – sehingga dengan didorong oleh rasa penasaran akut, saya mencoba menelusuri pijakan estetik sang pelukis yang dalam dunia lukis modern dijuluki “Newton of Color”.
Paul Klee (1879-1940) memiliki bakat seni yang melimpah: ia adalah seorang pelukis, musisi sekaligus penyair – namun dalam dunia seni lukis lah ia mengukuhkan namanya. Seperti pada Sinbad the Sailor, lukisan Klee memiliki karakter yang unik – para kritikus sendiri kerap menyandingkannya kedalam beberapa aliran antara lain kubisme, ekspresionisme dan surrealisme, namun karya-karya Klee tidak pernah sepenuhnya berpijak pada aliran-aliran tersebut. Menurut Klee: He has found style, when he cannot do otherwise – bahwa alasan seseorang mengadopsi sebuah gaya (atau aliran dalam lukisan), adalah karena ia tidak mampu melakukan hal lain. Sebagai realisasinya, lukisan Klee berkembang dan mengada diluar aliran tertentu. Dengan gaya individualistik nya, Klee mendapatkan posisi tinggi di kalangan pelukis di Jerman, namun dengan reputasi sebagai revolusioner seni. Gagasan-gagasannya berkembang ketika ia mengajar pada Bauhaus Dessau, sebuah akademi yang mengusung gerakan seni Bauhaus[2] (pada 1921-1931), juga dengan menginisiasi gerakan protes Der Blaue Reiter (The Blue Rider)[3] bersama Alfred Kubin dan Wassily Kandinsky. Setelah berhasil melakukan berbagai pameran di berbagai negara, Klee semakin dikenal dan mendapat predikat pelukis terbaik Jerman. Namun kondisi ini berbalik ketika Nazi berkuasa: lukisan Klee dimasukkan kedalam kategori “degenerate” dan sang pelukis terpaksa keluar dari Jerman. Ia lalu kembali ke Swiss, tempat kelahirannya dan meninggal disana. Saat meninggal, karya Klee mencapai lebih dari 9000 lukisan yang kemudian memberi pengaruh kuat bagi seni lukis modern.
Namun, terdapat hal selain pengaruh gaya lukis yang menjadikan Klee sebagai figur penting dalam dunia seni lukis modern, yaitu catatan-catatannya tentang teori lukisan dan bentuk yang ia publikasikan pada rentang 1922 hingga 1925. Catatan ini kemudian dikumpulkan dan dipublikasi ulang oleh penerbit Benno Schwab pada tahun 1956 dalam dua volume: Volume I berjudul “The Thinking Eye” berisikan gagasan pedagogi, teori produksi bentuk, serta bentuk lukisan. Dan Volume II berjudul “The Nature of Nature” yang merupakan rangkuman esai selama ia mengajar di Bauhaus Dessau. Dalam dunia seni lukis sendiri, tidak banyak pelukis yang mampu mengartikulasikan gagasannya dalam bentuk tulisan – oleh karenanya, Paul Klee’s Notebook menjadi semacam kitab suci untuk memahami seni lukis modern. Posisi ini hanya disamai oleh buku berjudul “A Treatise on Painting” yang ditulis oleh Leonardo da Vinci tentang teorisasi lukisannya yang menjadi pijakan pemahaman terhadap lukisan-lukisan renaisans. Melalui catatan-catatan inilah, pijakan estetika Paul Klee dapat kita kenali.
Menurut pandangan saya, lukisan Klee selalu berada pada dua titik ekstrem: primitif-modern, mimpi-realitas, natural-abstrak, metodis-liar. Dualitas ini hadir dari pandangannya tentang polaritas – bahwa setiap konsep tidak terpikirkan tanpa kehadiran oposisi. Dimulai dari satu titik, lalu bergerak menuju titik lainnya, adalah proses penciptaan kreatif bagi Klee. Dalam pergerakan tersebutlah tercipta gestalt (sebuah fungsi kehidupan) yang mencari bentuk – menurutnya, kebanyakan pelukis seringkali terperangkap pada bentuk, tanpa mengindahkan “proses penciptaan bentuk itu sendiri”. Namun, setiap proses penciptaan harus memiliki dasar dan arah – sehingga gestalt bagi Klee mengacu pada dualisme, rest to unrest, atau cosmic to chaos. Dan diantara dua titik tersebut (beginning – end): terletak kebebasan untuk mencipta. Klee kerap berseloroh, bahwa garis [dalam lukisannya] adalah titik yang sedang berjalan-jalan. Ia lalu memberi penjelasan: sebuah titik bergerak untuk membentuk struktur yang didasarkan pada narasi bentuk (figuration) dan berakhir dengan sebuah tampilan (appearance). Namun tampilan hanyalah sebagian dari yang esensial, karena esensi sesungguhnya terletak pada sintesis antara tampilan dan narasi bentuk[4].
Pada titik ini, lagi-lagi kita menemukan dualitas yang menjadi kesatuan. Gagasan lain tentang dualitas Klee terlihat dalam pilihan gambar yang cenderung primitif (layaknya gambar anak-anak) namun sekaligus merangkum narasi industri dimana gerakan Bauhaus berkembang (lihat lukisan berjudul the Blacksmith di bawah). Atau pada persilangan realitas dan mimpi (seperti dalam Sinbad the Sailor), dimana mimpi dalam lukisan Klee tetap terikat pada realitas – hal yang membedakan Klee dengan para pelukis simbolisme seperti Redon yang sepenuhnya tenggelam dalam dunia mimpi. Dualisme pun tertuang dalam catatan-catatannya yang berpijak pada dua sisi: metodis sekaligus liar. Klee kerap mengawali penjelasan melalui metode tertentu, untuk kemudian menghancurkannya. Menurutnya, “the worst state of affairs is when science begin to concern itself with art” – alhasil para pembaca Paul Klee’s Notebook yang mengharapkan sebuah metode ajeg akan kecewa karena tujuan sang pelukis tidak lain adalah untuk menghancurkan yang “ilmiah” itu sendiri. Di akhir penjelasannya tentang bentuk, ia berpendapat: we shall try to be exact but not one-sided. Pengetahuan membuat seni menjadi akurat, tapi yang lebih dibutuhkan adalah imajinasi.
Selain kekuatan narasi bentuk dan konsepsi dualitas – lukisan Klee berbicara banyak tentang warna. Pijakan pertamanya terhadap warna adalah dualisme natural-abstraksi. Klee adalah seorang naturalist yang menjunjung tinggi manifestasi mikrokosmos sebagai bagian terkecil dari alam – dan dari pengamatannya terhadap berbagai sel makhluk hiduplah, Klee mendapatkan gagasan tentang warna. Namun, Klee bukanlah pelukis natural, dan pandangannya tentang warna lebih berpijak pada sisi eksperimen. Akan tetapi sisi eksperimen warna tersebut memunculkan sebuah pertanyaan yang senantiasa mendesak untuk dijawab: jika warna dibebaskan dari perannya untuk menggambarkan alam, maka apa yang menjadi dasar atau pijakan struktur warna dalam lukisan?. Setiap pelukis menemukan jawabannya sendiri, seperti impressionist Perancis Cezanne, yang menemukan jawabannya pada eksposisi keseimbangan warna daripada sifat alamiah. Begitu juga Klee, yang menemukan jawaban pada cita-cita masa mudanya: musik – sehingga dalam lukisannya, ia kerap menggabungkan blok warna seperti ia menciptakan harmoni dalam komposisi musik.
Namun, penggunaan musik sebagai harmoni dasar lukisan sulit untuk dipaparkan secara sistematis dalam pengajarannya di Bauhaus Dessau. Oleh karena itu, Klee mengembangkan pemahaman warna yang merupakan penguraian lebih jauh dari lingkaran warna Goethe (yang meletakkan merah berlawanan dengan hijau, oranye berlawanan biru, dan kuning berlawanan violet). Klee lalu meletakkan panel warna putih – hitam secara horizontal pada lingkaran warna tersebut. Susunan tiga dimensi inilah yang memungkinkan Klee memperjelas hubungan antara hue (warna), chroma (colorfullness) dan tone (nada warna). Atas eksplorasinya inilah Klee dikukuhkan sebagai “Newton of Color”. Tapi ketika kita masih sibuk mengagumi warna dalam lukisannya, Klee mengungkapkan sesuatu yang khas: “Color possesed me, i don’t have to pursuit it” – sebuah pernyataan yang lagi-lagi menghancurkan bangun ilmiah atas presisi warna yang dibuatnya.
Melalui interpretasi berbagai lukisan dan uraian dalam catatannya, sedikitnya saya dapat menggambarkan pijakan artistik Klee yang membuat saya begitu penasaran. Ia dalam banyak hal adalah non-konformis, juga seseorang filsuf (dalam konteks figurasi) yang menekankan pencapaian gestalts (fungsi kehidupan) dengan cara yang unik: satu mata melihat, dan mata lainnya merasa. Gambaran lain (yang lebih tepat) tentang Klee diungkapkan oleh Antonin Artaud, dalam sajak berjudul “A Painter of the mind” – melalui baitnya Artaud berkata: I love some of his nightmares, his mental syntheses, conceived like works of architecture. And certain cosmic syntheses – where all the secret objectivity of things, has been rendered apparent. Namun, gambaran paling tepat tentang Klee tertuang dalam lukisan-lukisannya: dimana ia meletakkan berbagai gagasan, idealisme serta ideologi kebebasannya, dalam paduan warna yang memikat.
Keterangan:
[1] Penggalan puisi Paul Klee yang ditulis pada tahun 1914
[2] gerakan seni yang berkembang di Jerman pada 1919 hingga 1931 yang mengadopsi kembali fine-arts dalam berbagai bidang, salah satu diantaranya adalah seni dalam arsitektur
[3] Gerakan yang menentang The Neue Künstlervereinigung München atau “Munich New Artist’s Association” karena dipandang tidak memiliki manifesto yang kuat dalam memilih (juga menolak) karya seni yang ada.
[4] Figuration dapat diartikan sebagai narasi bentuk, atau transformasi alamiah sebuah bentuk menjadi pola atau struktur. Adapun terjemahan bahasa Inggris untuk kalimat Klee adalah: It set itself in motion, to form essential stucture grow based on figuration. The end is only part of the essential (the appereance), the true essential form is a synthesis of figuration and appereance.
Sumber:
Klee, Paul, 1956, Paul Klee Notebooks Volume I: The Thinking Eye, Schwabe & Co., Verlag, Basel
Klee, Paul, 1956, Paul Klee Notebooks Volume II: The Nature of Nature, Schwabe & Co., Verlag, Basel
Klee, Paul, 1962, Some Poems, Press Manor House, Suffolk
kontak via editor@antimateri.com