Estetika Islam: Penyair Tanah Liat Abu Zayd al‑Kashani

Estetika dalam Islam memiliki rentang yang luas: mulai dari syair, mosaik, hingga arsitektur, dari kaligrafi, tilawah[1], hingga kisah pewayangan[2], dari musik, lukisan[3] hingga tembikar[4]. Ragam bentuk di atas hanya sebagian mengingat asimilasi dengan budaya lokal membuat wajah seni Islam semakin berwarna. Seni keramik islam sebagai salah satu bentuk estetika Islam, lahir dari proses persinggungan berbagai kebudayaan. Seni yang memiliki akar pada budaya Mesopotamia, Persia dan Mesir ini, kemudian bersentuhan budaya tembikar Bizantium dan porselen Cina (pada periode Abasiah dan selanjutnya melalui penaklukan Mongol atas dinasti Seljuk diawal abad 13) (Vainker, 1991). Terdapat dua penyebab utama pesatnya pembuatan tembikar pada kebudayaan Islam, khususnya di Persia. Pertama, larangan menggunakan alat makan dari emas dan perak[5], mendorong para elit di kalangan muslim untuk menggunakan keramik halus dari Mesir (yang telah berkembang sejak masa pra-Islam, sekitar abad 4 sebelum masehi). Kedua, paceklik berkepanjangan di Sungai Nil telah memaksa para pengrajinnya untuk menjual rahasia pembuatan keramik halus (luster) kepada pengrajin Persia sehingga memberikan sentuhan baru pada Keramik Persia yang telah berkembang sejak periode Neolitik[6]. Adapun puncak perkembangan seni tembikar Islam terjadi antara abad 8 hingga awal abad 13 yang ditandai dengan munculnya karakter khas Islami yaitu pola geometris dan tumbuhan. Perkembangannya diserta pula dengan penemuan penyempurnaan teknik slipware[7], yang menjadi dasar umum teknik pembuatan keramik yang dikenal saat ini. Pola pada tembikar Islam menjadi kompetitor utama bagi porselen Cina dan keramik Korea dalam peta perdagangan dunia saat itu. Namun, bahkan pada masa kejayaannya, seni tembikar mengalami nasib yang sama dengan karya kerajinan (craft) lainnya: yaitu hanya difungsikan sebagai peralatan rumah tangga atau dekorasi–dengan kata lain, dipinggirkan dari jajaran seni adiluhung. Hingga hadirlah seorang pengrajin asal Khasan yang dikenal dengan nama Abu Zayd. Melalui karya-karnyanya, ia melakukan revolusi gagasan dalam seni tembikar Persia. Tercatat bahwa Abu Zayd aktif berkarya antara tahun 1186 hingga 1219 Masehi. Melalui gagasan estetikanya, ia berhasil mengangkat status pengrajin tembikar dari “tukang” menjadi “seniman”. Abu Zayd tidak menyerah pada pola pakem Islam yang merajai pasaran. Ia menjadikan tembikar layaknya kanvas atau lembaran papirus: bisa berisi mitos klasik Persia, kisah atau nasihat alim ulama atau rangkaian syair dalam rima–oleh karenanya Abu Zayd dikenal pula dengan sebutan bi-khattihi (yang menulis dengan tangannya). Nama besarnya menjadikan Abu Zayd pengrajin utama[8] yang didaulat untuk membuat dekorasi makam Fatima di Qum (tertanggal 3 Rajab 602 atau 13 February 1206). Tapi sebagaimana seniman besar pada umumnya, karya dan gagasan Abu Zayd tidak lepas dari kontroversi. Penggunaan figur (manusia dan binatang) dalam karyanya memunculkan debat dikalangan konservatif. Tapi layaknya peribahasa: anjing menggonggong khafilah berlalu, nama Abu Zayd mampu bertahan melampaui para pengkritiknya dan menjadi satu-satunya seniman keramik islam Persia yang diakui sekaligus sebagai penyair dan pelukis. Sebagaimana dikemukakan Blair (2008), Abu Zayd: pottery, poet and painter in medieval Iran, mixing metaphors in visual, to evoke and provoke beauty in the minds of the beholders.

Contoh Keramik Islam Abu Zaydkeramik islam 1

dated A.H. 583/ A.D. 1187

Keramik Islam Abu Zayd
dated A.H. 583/ A.D. 1187
keramik islam 2
dated A.H. 583/ A.D. 1187
keramik islam 4
dated A.H. 582/ A.D. 1186
keramik islam 5
dated A.H. 582/ A.D. 1186
keramik islam 6
dated A.H. 582/ A.D. 1186

Sumber Bacaan
Vainker, S.J. 1991. Chinese Pottery and Porcelain. British Museum Press.

Mirrazavi, F. 2010. Art of Pottery in Iran.   
Blair, S. 2008. A Brief Biography of Abu Zayd dalam Frontiers Of Islamic Art and Architecture. Leiden: IDC Publishers.

Gambar: Koleksi Metropolitan Museum of Art, USA

Keterangan:
[1] Seni membaca Qur’an.

[2] Kisah pewayangan hindu mengalami reinterpretasi sejalan dengan masuknya Islam di Jawa, contohnya Kalimasada (kalimat syahadat) yang menjadi jimat Puntadewa, atau suluk Dewaruci yang kental dengan warna sufisme.
[3] Islam secara tegas melarang idolatrisme pada benda hidup, sehingga seni geometris menjadi salah satu patokan utama dalam seni lukis Islam.
[4] Temibikar mengacu pada beragam karya dari tanah liat, baik yang difungsikan sebagai peralatan ataupun dekorasi.
[5] Tercantum dalam “The Book Pertaining to Clothes and Decoration” (Kitab Al-Libas wal-Zinah), Sahih Muslim
[6]  Dikenal dengan sebutan “Kamarband Neolithic pottery” dalam Mirrazavi (2010)
[7] Metode ini disempurnakan pada Dinasti Samanid (819-999 AD), merupakan teknik penggunaan slip (cairan campuran tanah liat padat dan cair)
[8] Bekerjasama dengan pengrajin lain, Moḥammad Abī Ṭāher (Encyclopiedia Iranica)

Share on:

2 thoughts on “Estetika Islam: Penyair Tanah Liat Abu Zayd al‑Kashani”

Leave a Comment