Sejarah Seni Afganistan (III): Syair dan Identitas Kebangsaan

Afganistan lahir di tangan para penyair. Setidaknya terdapat dua nama besar yang lekat dengan pembentukan identitas kebangsaan Pashtun, yaitu Bayazid Ansari (atau dikenal pula sebagai Pir Roshan) dan Khushhal Khan. Ulasan kali ini akan mengangkat jejak kepenyairan dua sufi-penyair tersebut dan pengaruhnya pada ranah politik juga gerakan perlawanan atas kekuasaan Mughal. Bayazid Ansari (berkiprah pada abad 16) dikenal sebagai pemikir revolusioner yang menggerakkan perlawanan pada kekaisaran Mughal dan merupakan figur utama di balik gerakan Roshani (Roshani movement). Sedangkan Khushhal Khan (berkiprah satu abad setelah Bayazid) dikenal sebagai “Penyair Nasional” Afganistan yang bukan hanya berjasa sebagai pilar kesusastraan Pashtun tapi juga penyair yang membangun narasi kebangsaan.

Adalah Bayazid Ansari, lahir di Punjab (kini wilayah India) dari keluarga keturunan Pashtun yang memegang Islam secara ortodoks. Bayazid muda menekuni perdagangan, namun gejolak pemikiran menghantarkannya pada dunia sufi dan kepenyairan. Pandangan Bayazid cukup radikal pada saat itu: ia mempertanyakan kanon-kanon besar dalam ajaran Islam dan mengkritisi tatanan sosial. Tentu saja ide radikalnya tidak diterima begitu saja, ia pun lantas diasingkan oleh keluarganya dan dianggap sebagai bahaya laten oleh kekaisaran Mughal yang tengah menggaungkan kepercayaan sinkretik Din-i Ilahi[1] (Bosin, 2009). Bayazid lalu mengembara di perbukitan Afganistan dan kembali pada suku leluhurnya. Di sana Bayazid mulai mengajar di beberapa komunitas Pashtun sembari menyampaikan gagasannya secara lisan ataupun tulisan (Pelevin, 2017). Alhasil, Bayazid mendapatkan reputasi sebagai Pir (Pencerah), sedangkan pengikutnya dikenal dengan sebutan Roshaniyya (yang tercerahkan). Para Roshaniyya adalah kelompok sufi non-sektarian yang menjadi motor utama revolusi Roshani dan aktif menyebarkan gagasan-gagasan Bayazid.

Dalam tahun-tahun berikutnya, ajaran Bayazid bergema di seantero perbukitan Afganistan dan menjadi pemersatu bagi beberapa suku Pashtun (di antaranya Orakzai, Bangash, Afridi, Mohmand, dan Khalil). Ia lalu dikenal sebagai Pir Roshani, pemimpin spiritual dalam perjuangan Pashtun melawan kekaisaran Moghul. Dalam rentang beberapa dekade, Gerakan Roshani berhasil mengalahkan pasukan Mughal di perbatasan Afganistan dan menguasai Khyber Pass. Gerakan ini berakhir pada 1638 dengan terbunuhnya Karimdad, cucu dari Bayazid (Bosin, 2009). Namun, dibalik gegap gempita peperangan dan pandangan antagonisnya pada kekaisaran Mughal, Bayazid tidak pernah secara aktif mengambil bagian dalam politik dan senantiasa menjaga jarak dari konflik kekuasaan. Dalam upaya memahami perlawanan pasif Bayazid, Yaqubi (2010) memberikan pandangan bahwa popularitas Bayazid tidaklah didasarkan pada aksi politik, melainkan atas ajaran dan pandangan-pandangannya tentang agama dan struktur masyarakat yang diterima secara luas. Jarak [dari dunia politik] memberi ruang untuk mengembangkan kesusastraan; karyanya yang berjudul Khayr al-bayān adalah salah satu syair awal yang terekam dalam bahasa Pashtun ditulis dalam bentuk risalah (esai keagamaannya). Warisan lainnya yang tidak kalah berharga adalah alfabet Pashtun (digunakan hingga saat ini) yang merupakan buah pikir dari Bayazid–sang Guru Sufi.

Adapun Khushhal Khan adalah penyair sufi lainnya yang memiliki peran penting dalam pembentukan narasi identitas Pashtun–dan nasionalisme Afganistan kemudian. Lahir satu abad setelah Bayazid, Khushhal memulai perjuangannya dari sisi yang bersebrangan. Keluarganya adalah pembesar militer Mughal, terlepas dari fakta bahwa mereka adalah keluarga terpandang suku Khaṯak, sub-bagian dari etnis Pashtun. Pada usia 28, Khushhal telah diangkat menjadi Mansabdar[2], namun ia menolak untuk mengabdi pada Aurangzeb, kaisar penerus Shah Jehan yang menduduki kekuasaan dengan cara memenjarakan ayahnya dan memenggal dua saudaranya. Khushhal lalu berbalik arah dan memusuhi Mugahl. Tidak membutuhkan waktu lama baginya untuk bergabung dengan milisi Pashtun guna menggulingkan Aurangzeb dan membebaskan tanah Pashtun dari kekuasaan Mughal (Sykes, 1940). Bergabungnya Khushhal adalah keuntungan besar bagi milisi Pashtun, karena setelahnya, entah berapa peperangan berhasil mereka menangkan. Khushhal Khan dari Khaṯak menjadi ujung tombak perlawanan Pashtun di medan perang–namun ia memiliki reputasi lain, yaitu mata pena bagi dunia kepenyairan. Salah satu bait terkenalnya berbunyi sebagai berikut (Morgenstierne, 1960):

“No, I am not happy (khushhal[3]) with the effort of writing poetry,
But God has laid it like a yoke on my neck to sing.
And never am I pleased myself with expression or thought,
But suddenly it bursts forth in words, like showers in the rainy
season.
There is no worse labour for man than to write verse,
Would that God would free every honest man from such a plague!”

Adalah sebuah fakta dalam sejarah Afganistan: Bayazid Ansari meletakkan fondasi revolusioner melalui gagasan-gagasannya, sedangkan Khushhal Khan membangun narasi kebangsaan melalui syair-syairnya. Dari dokumen yang berhasil ditemukan, syair-syair gubahan Khushhal dapat dibagi kedalam tiga kategori utama yaitu perang, insiden, peristiwa kehidupan sehari-hari. Hal ini menjadikan syair yang ditulisnya bukan hanya mengandung nilai estetika tinggi, namun juga dokumen historis dan etnografis yang sangat detil. Adapun narasi kebangsaan yang menjadi penggerak visi perjuangan Pashtun merupakan ekstraksi dari syair-syair Khushhal. Salah satunya berbunyi (Morgenstierne, 1960):

“Until a chieftain has cut off many heads,
How will die plains and mountains of his land rest in peace?
Brother and son are slain in a chieftain’s cause,
And to all who remain his commands go out.
Beside the water of the sword, no other streams are there
Which cool the fevered blood of him who seeks for war.
The tree of a Chief’s domain well-watered
By the blood of his enemies bears fair fruit.
Either like a man loosen the turban bravely o’er thy forehead,
Or wear in its place a woman’s veil.
Ah God! for whom do I write? Who will heed me?
Yet so have I spoken verse by verse in this book.”

Pengamatan lebih lanjut tentang syair-syair Khushhal menghadirkan sebuah konklusi menarik: bahwa  ritme syair-syair Khushhal dibangun di atas tradisi Pashtun kuno yang diturunkan secara verbal dalam komunitas (Pelevin, 2017). Hal ini membedakannya dengan syair lain, seperti Arab dan Persia yang disiplin atau dengan ritme harmonis yang penuh perhitungan. Berbeda dengan keduanya, syair Pashtun adalah permainan ritme tegas, menghentak dan monoton (seperti karakter bahasanya), namun memiliki daya pikat tersendiri. Sebagaimana dalam syair Khussal, kekyatan narasi Pashtun tidak berpijak pada harmoni tapi pada makna kata. Ferozuddin (dalam Morgenstierne, 1960) mengungkapkan: “Worn out metaphors and clichés, old faded flowers have no place in Khushhal’s fresh and flowering garden. There one hears the wind blow sough in the green foliage of a living language, and one draws in the sweet fragrance of the sweetness-laden flowers of natural sentiment.” Dengan kata lain, syair Khussal (yang menjadi gaya khas Pashtun) adalah syair organik–bukan syair adiluhung dengan kemegahan mendekati kitab suci–tapi syair yang hidup bahasa keseharian (living language). Bentuk organik inilah yang kemudian menjadikan syair Khussal dekat masyarakat dan pada akhirnya menjelma menjadi narasi identitas kebangsaan. Bersandingan dengan kiprah Bayazid sebagai pilar kesusastraan, tidak ayal apabila kemudian Khussal dikenal sebagai “penyair nasional” Afganistan.

“The trees of my homeland are sandal and aloe,
Its dust is all musk and ambergris.
If to others Sarai is a heap of stones,
To me its every stone is the purest gold.” 

Uraian tentang posisi sentral kedua penyair sufi di atas merupakan penutup dalam rangkaian sejarah seni Afganistan. Tentu terdapat bentuk dan gagasan seni lain yang lahir di tanah Pashtun, dan tanpa mengurangi kompleksitasnya, tiga bentuk seni: lukisan dan musik (pada dua tulisan sebelumnya) juga syair, dipilih sebagai representasi semata.

 

Sumber Gambar: Wikimedia commons

Sumber Syair Khussal Khan:
Morgenstierne, G. 1960. Khushhal Khan—the national poet of the Afghans. Journal of The Royal Central Asian Society, Vol. 47, No. 1.

Sumber Bacaan:
Bosin, Y. 2009. International Encyclopaedia of Revolution and Protest, Immanuel Ness (ed.). Blackwell Publishing, hal. 2869
Pelevin, M. 2017. The Beginnings of Pashto Narrative Prose. Iran and the Caucasus, Vol. 21, hal. 132-149
Sykes, P. 1940. A History of Afghanistan. London: Macmillan.
Yaqubi, H. 2010. Conservative Sufism in the Pakhtun Borderland: Bayazid Ansari and Roushaniya Movement. Journal of South Asian and Middle Eastern Studies, Vol. 33, No. 4, hal. 61-86.

Keterangan:
[1] Din-i Ilahi atau Agama Tuhan merupakan sinkretisme Islam, Hinduisme India dan Zoroastrianisme Persia. Kepercayaan ini menjadi agama resmi Kekaisaran Mughal di bawah Akbar.
[2] Posisi militer yang merangkap peran administratif, diperkenalkan pada masa pemerintahan Kaisar Akbar.
[3] Khushhal berarti bahagia dalam bahasa Pashtun, sebuah ironi yang nampaknya sering dimainkan oleh sang pemilik nama dalam syair-syairnya

Share on:

Leave a Comment