Buruh, berada pada rantai paling bawah dari proporsi pemberitaan media, dan ketika [harus] diangkat, pesan yang ingin disampaikan hanya mengambang dipermukaan – sisanya adalah upaya untuk segera menyudahi sehingga dapat kembali menayangkan komedi dengan rating tinggi. Dari sinilah rasanya kita bisa memaklumi[1] jika buruh dan segala persoalannya tidak pernah masuk kedalam kancah perhatian, sehingga dalam sudut pandang (konstruksi sistem) masyarakat, buruh merupakan objek diluar diri – seperti pohon, gunung atau pemandangan lainnya, yang bisa diganti jika sudah bosan. Karena memang tidak pernah menjadi perhatian, maka kita – atau setidaknya saya, sebagai pengkonsumsi media dan teori kacangan – menjadi tidak ngeh ketika terjadi sebuah pemelintiran makna atas konsep buruh dan kelas pekerja: kelas pekerja (working class) saat ini dibekukan dalam definisi sempit untuk menggambarkan buruh (labor/blue-collar worker)[2] sehingga pekerja jenis lainnya – yang beroperasi di belakang meja – dapat terlepas dari segala konotasi yang melekat pada kata “kelas pekerja”. Padahal menurut Lennon – A working class hero is something to be.
As soon as you’re born they make you feel small
By giving you no time instead of it all
Till the pain is so big you feel nothing at all
A working class hero is something to be
Lirik tersebut adalah bagian dari lagu Working Class Hero, yang digubah Lennon pada tahun 1970 dalam Plastic Ono Band[3] – album pertama dari proyek solonya. Ia berulang kali mengakhiri baitnya dengan sebuah kalimat yang bagi sebagian orang boleh saja menggangu, bahwa kita semua adalah kelas pekerja – suka atau tidak suka. Melalui lirik tersebut Lennon menghentak kesadaran kita yang selalu mengganggap bahwa segala gelar akademis mentereng dan IQ pencakar langit dapat membuat kita terhindar dari label kelas “pekerja”. Sebuah penyangkalan yang dilakukan [dan ditanamkan] sejak dini atas apa yang dikatakan Hegel sebagai proses dialektika diri melalui “kerja”. Namun, dialektika tersebut terhenti karena logika sistem terlalu egois untuk memberi tempat bagi [kelas] yang lain – Lennon menggambarkannya dalam bait berikut:
They hurt you at home and they hit you at school
They hate you if you’re clever and they despise a fool
Till you’re so fucking crazy you can’t follow their rules
Kerja – yang dilakukan tentu saja oleh kelas pekerja – menjadi begitu rendahan dan tidak berpendidikan. Sejarah “kelas pekerja”sendiri menjadi begitu kelam ketika disandingkan dengan berbagai bentuk protes tak berujung. Berbagai peraturan tidak masuk akal – diantaranya mekanisme upah minimum dan jam kerja gila-gilaan – dibuat untuk memunculkan ketakutan atas terputusnya sumber penghidupan dan pada akhirnya mereka terjebak selama puluhan tahun dalam posisi yang sama. Kekangan ini memunculkan traumatik – yang lucunya malah memunculkan efek kecanduan – sehingga untuk menekan munculnya kegilaan massal ini ke permukaan, diberikannlah kesenangan artifisial berupa hiburan dalam dosis tinggi – Keep you doped with religion and sex and TV.
Kengerian atas [konstruksi] realita yang dihadapi seluruh kelas pekerja memunculkan istilah kelas menengah. Kelas menengah sendiri merupakan label yang dibuat untuk pekerja kerah putih, yang membedakan diri dengan buruh – lebih terpelajar, lebih melek teknologi, lebih intelek – yang disimbolkan dengan jas rapi berwarna abu-abu dan cara berpikir yang juga abu-abu – akibat terlalu banyak mengkonsumsi gagasan dan hiburan murahan sebagaimana dikemukakan Lennon. Dengan kata lain, kelas menengah adalah sekumpulan manusia berisi pekerja kantoran, staff-staff perusahaan dan juga jaringan kerja akademis yang menolak untuk disebut kelas pekerja hanya karena perbedaan fungsi kerja.
And you think you’re so clever and classless and free
But you’re still fucking peasants as far as I can see
Lennon, sang filsuf-musisi, dalam lagunya meneruskan pemikiran Hegel dan Marx. Working Class Hero adalah sebuah ajakan untuk menyadari diri dan posisinya dalam struktur masyarakat. Dalam liriknya, Ia menggambarkan bahwa “pahlawan kelas pekerja” adalah seseorang yang berani memulai kesadaran dan tidak terbuai dalam sistem kelas imajiner dengan kenyamanan yang memabukkan. Disini Lennon tidak penuh basa-basi dan mengemukakan idenya secara eksplisit – yang cenderung berbahaya bagi kapitalisme. Namun, kontroversi lagu tersebut ternyata bukan mengacu pada kritik tajam liriknya, tapi pada kata “fucking” yang digunakan Lennon sebagai alusi penekanan pada beberapa baitnya. Di beberapa negara penggunaan kata tersebut kemudian disensor atas alasan tidak senonoh. Atas kejadian ini kita bisa berandai-andai – mungkin sistem telah begitu kuat sehingga tidak merasa terganggu atas kritik dalam sebuah lagu, atau mungkin masyarakat (dalam hal ini industri musik), memang tidak pernah memberikan perhatian pada perkataan (/lirik) orang lain – dengan hanya menganggapnya sebagai sebuah objek di luar dirinya.
Keterangan:
[1] Kata “memaklumi” digunakan jika tidak berani menggunakan kata “menyadari”, karena “kesadaran” menuntut konsekuensi tindakan.
[2] Kutipan perbincangan seputar permasalahan buruh dengan Boy Nugroho
[3] John Lennon, 1970, Plastic Ono Band, Apple Records
kontak via editor@antimateri.com
cara pandang yang super
Aku bakal jadi fans baru tulisan kamu. Terus menulis yang membuat pikiran orang terbuka ya… Sukses!