Under African Skies: Ode (pilihan) untuk Mandela

Membaca berita kematian – terkhusus kematian Nelson Mandela – merupakan kilas balik sejarah setiap kalinya. Begitupun ketika pagi dimana berbagai media memberitakan tentang kematiannya, maka segala jejak, semangat, pemikiran dan daya hidupnya kembali bersinggungan dengan kehidupan kita – saya, anda dan dunia yang ditinggalkannya. Atas berita tersebut saya tidak dapat berkata-kata – yang biasanya mengambil bentuk sepenggal kalimat terima kasih di halaman media sosial – karena rasa-rasanya, penghormatan seperti itu untuk seorang Mandela, tidaklah cukup: Mandela adalah seorang pejuang kharismatik dengan pemikiran yang mengubah sudut pandang, bukan hanya bagi bangsa dan rasnya, tapi untuk seluruh umat manusia – ya, atas segala [pelajaran] yang telah ia berikan, ucapan “terima kasih” tidaklah cukup dirangkai dalam bentuk kata-kata.

Nelson Mandela berasal dari klan Madiba – Madiba kemudian dijadikan sapaan hangat rakyat Afrika Selatan untuk Mandela. Saya sendiri – tentu saja – tidak memiliki darah Afrika, namun dapat merasakan sebuah penghargaan yang manis datang dari penggunaan nama tersebut, sebentuk keakraban dan kedekatan yang jauh dari reka-reka – dengan ini rakyat Afrika Selatan telah membuat dunia iri, atau setidaknya Indonesia, yang rindu akan kehadiran sosok sepertinya. Mandela adalah nama lain dari perlawanan, namun seperti halnya Ghandi, ia bersikukuh pada perjuangan anti-kekerasan. Mungkin karena penjara yang mengekangnya selama 27 tahun, maka ia bisa menahan emosi yang sulit dibendung – satu hal yang tidak dimiliki rekan-rekan seperjuangannya yang seringkali berujung maut – dan menuangkannya dalam bentuk kritik yang lebih mematikan, yaitu tulisan (diantaranya buku berjudul Long Walk to Freedom: The Autobiography of Nelson Mandela dan Conversations with Myself).

Kini, setelah Mandela pergi, lantas dunia bertanya: siapa lagi yang dapat menyanyikan lagu sublim perdamaian?.

Musik dan Mandela

Menulis tentang Mandela adalah tantangan tersendiri, dan dilandasi keragu-raguan akan kapasitas diri dalam melakukan interpretasi menyeluruh atas pemikiran-pemikirannya, maka saya menulis [tentang Mandela] dari sudut dengan ruang interpretasi yang paling luas: musik. Mandela sendiri adalah figur yang tidak asing dalam dunia musik – bukan sebagai pelaku, namun sebagai inspirasi dan nafas bagi berbagai bentuk musik aktivism politik anti-apartheid. Protes akan kekerasan yang dialami Mandela melintasi berbagai genre musik dan benua. Afrika – yang disuarakan diantaranya oleh Hugh Masakela, Youssou N’Dourd, dan Miriam Makeba –  tidak sendiri dalam menyuarakan anti-apartheid dan menuntut kebebasan Mandela, mereka didukung oleh musisi lintas benua, diantaranya U2 (lagunya yang berjudul Ordinary Love dijadikan lagu tema Film yang mengangkat kehidupan Mandela), Peter Gabriel, The Specials, Santana, Tracy Chapman, Gill-Scott Heron, hingga 2pac yang berpuisi dengan judul “Just a Breath of Freedom”. Melihat jajaran nama-nama tersebut, maka bukanlah suatu kebetulan jika dikatakan bahwa musik adalah pintu bagi tersebarnya gagasan-gagasan anti-apartheid, khususnya pemikiran Mandela, ke seluruh dunia.

Hampir seluruh lagu, musik dan puisi dari para musisi diatas sarat akan makna politik. Mandela bersandingan dengan Steve Biko dalam hal titik tolak perjuangan anti-apartheid dan kekuatan aktivisme politik dalam lagu-lagu protes. Biko yang meninggal pada tahun 1977 merupakan pemimpin gerakan radikal anti-apartheid pertama yang dikenal publik dunia melalui musik dan lagu-lagu protes – perjuangannya yang berujung kematian memberinya tempat sebagai martir –, sedangkan Mandela mendobrak melalui persistensinya, membuat banyak pihak berpikir ulang atas ketidakberdayaan Afrika. Namun, satu hal harus diakui – setidaknya oleh para penikmat musik – bahwa lagu-lagu protes Afrika bukanlah hidangan utama dalam menu industri musik dunia, gaungnya terasa jauh jika dibandingkan dengan [lagu-lagu] protes terhadap Vietnam dan perang Korea, sebuah demam sejarah yang bersinggungan langsung dengan masyarakat AS – dan kita yang berada dibelakang (arus sejarah) harus mengalami demam yang sama.

Di Bawah Langit Afrika

Joseph’s face was black as night
The pale yellow moon shone in his eyes

Lirik diatas merupakan penggalan dari lagu berjudul Under African Skies yang ditulis oleh Paul Simon pada tahun 1985. Lagu yang termuat dalam album Graceland tersebut tidak secara langsung ditujukan untuk Mandela, namun jika saya diperkenankan untuk memilih sebuah ode (selamat jalan), maka lagu inilah yang akan saya pilih.

His path was marked
By the stars in the southern hemisphere
And he walked his days
Under African skies

Lagu ini – beserta album Graceland secara keseluruhan – memiliki jejak tersendiri dalam sejarah anti-apartheid Afrika. Simon yang jenius – dan agak nekat – pergi ke Afrika Selatan untuk berkolaborasi bersama para musisi disana pada saat dunia melakukan boikot terhadap negara tersebut, termasuk dalam industri musik. Simon tentu saja memiliki argumen tersendiri – yaitu menyuarakan Afrika melalui kolaborasinya –, namun hal itu tidak menghentikan berbagai protes atas tindakannya. Protes tersebut datang dari berbagai gerakan anti-apartheid yang menyebutnya pengkhianat karena melanggar solidaritas dunia, berbagai slogan penolakan album lalu disuarakan dan boikot penjualan album dilancarkan – dalam hal ini sebuah ironi muncul: sebuah gerakan melawan apartheid (ala Simon) harus bertentangan dengan gerakan anti-apartheid (ala solidaritas dunia), sedangkan rejim apartheid sendiri tetap tegak berdiri di bawah langit Afrika.

Namun dibalik segala hiruk pikuk kontroversi Graceland, Under African skies memiliki kekuatan tersendiri. Lagu ini secara harfiah dapat dikatakan sebagai lagu protes tanpa kekerasan – sebuah  gambaran tentang bagaimana sejarah Afrika terukir dalam mata seseorang, lalu menjadi ritme abadi yang mengakar [dalam perjuangannya]. Sebuah ode sederhana yang ditulis Simon untuk langit Afrika – yang tidak akan mungkin lahir apabila ia tidak nekat masuk ke negara dengan tembok rasisme tersebut. Lagu ini memiliki ketulusan seorang pejuang yang  merasakan cinta kasih di nadinya, seperti Mandela – karena ia tidak pernah kita bayangkan sebagai pejuang haus darah – karena itulah, maka lagu ini merupakan ode yang saya pilih untuk mengenang Mandela pada hari kepergiannya.

This is the story of how we begin to remember
This is the powerful pulsing of love in the vein
After the dream of falling and calling your name out
These are the roots of rhythm
And the roots of rhythm remain.

Share on:

Leave a Comment