Skandalkonzert: Huru-hara di Panggung Musik Klasik

Kerusuhan dalam skena musik bukan hal yang asing. Beberapa pertunjukkan musik dari band rock kenamaan seperti The Doors (New Heaven Arena, 1967), Led Zeppelin (Tampa Stadium, 1977), Public Image, Ltd. (The Ritz, 1981), hingga festival Woodstock 99, adalah bukti bahwa musik bisa berkelindan dengan amuk massa. Lalu bagaimana dengan panggung musik klasik? Genre ini–yang lebih mengacu pada kronologi waktu saja ketimbang struktur–kerap disandingkan dengan kalangan atas sejalan dengan perkembangan konsep patron dan concert hall di yang memang diperuntukkan untuk kalangan bangsawan. Alhasil, sulit membayangkan pada borjuis perlente berpakaian tuksedo dan gaun mewah, melakukan moshing berbahaya yang berujung adu jotos layaknya anak muda millennial di kancah Woodstock 99.

Dalam perkembangan selanjutnya, kelas sosial tidak lagi menjadi patokan utama bagi para penikmat musik klasik, namun harga tiket yang aduhai tetap menjadikan musik jenis ini sebagai konsumsi elit. Harga tiket jugalah yang menjadi muasal ‘kerusuhan panggung musik pertama’ pada tahun 1763 di Royal Opera House, London, kala Thomas Arne menampilkan komposisinya yang berjudul Artaxerxes. Di tengah penampilan, segerombolan orang memprotes pengapusan diskon tiket setengah harga untuk pertunjukan (The Gentleman’s Magazine, 1763). Namun, di antara jajaran ‘huru-hara musik klasik’ yang pernah terekam sejarah, terdapat satu yang menarik perhatian, yaitu pertunjukkan yang digelar pada 31 Maret 1913 oleh Vienna Concert Society dengan menampilkan komposer-komposer kenamaan Wina, antara lain Arnold Schoenberg, Alexander von Zemlinsky, Anton Webern, Albarn Berg, dan Gustav Mahler. Yang menjadikan konser ini terkenal adalah insiden kerusuhan yang terjadi ketika konser berlangsung–panggung musik klasik yang seharusnya ‘terpandang dan prestisius’ berubah menjadi arena adu jotos. Sebabnya adalah musik yang dihadirkan para pembaharu Wina (Schoenberg dkk) dianggap “dekaden” alias rendahan, murahan, hina dina, dan entah cemooh apalagi yang muncul saat itu demi mewakili rasa kecewa para pendengar. Atas pandangan buruk tersebut, publik musik lantas menyebutnya sebagai ‘Skandalkonzert’.

Sebelum lebih jauh membahas tentang konser rusuh tersebut, ada baiknya mengulas sedikit tentang Arnold Schoenberg, sosok kontroversioal dibalik konser yang juga kontroversial. Ia dikenal sebagai komposer sekaligus penteori musik yang malang melintang di lingkaran Wina dan menggagas aliran pembaharu yang dikenal dengan sebutan Second Viennese School. Istilah ‘second’ disematkan untuk membedakan dengan lingkaran komposer Wina sebelumnya yang digawangi oleh Mozart, Beethoven, dan Haydn. Jika Viennese School generasi pertama (abad 18) dikenal dengan gaya baroque dan romantik yang sarat dengan kesan kemegahan, maka Second Viennese School (awal abad 20) merupakan kebalikannya–atonal dan ekspresionis, menentang segala bentuk harmoni konvensional. Sehingga, tidak aneh jika strukturnya dirasa ‘asing’ pada jamannya; karena dimanapun dan kapanpun, pembaharu adalah sebutan lain untuk kontroversi. Di bawah arahan Schoenberg, terdapat beberapa nama pembaharu lainnya, yaitu Anton Webern, Albarn Berg, Heinrich Jalowetz, Erwin Stein, Egon Wellesz, dan Ernst Krenek. Gebrakan musik yang dilakukan Second Viennese School memiliki pengaruh luas dan menjadi akar musik modern juga eksperimentalisme yang berkembang pesat pada abad 20.

Terkait konser penuh skandal yang menjadi bahasan utama artikel ini, Calico (2017) menyebutkan bahwa pada saat konser digagas (awal tahun 1913), Schoenberg telah memiliki reputasinya sendiri, yang dapat dibilang tidak sepenuhnya positif. Salah satunya adalah penolakan Schoenberg pada apresiasi publik atas karya-karya lamanya, melalui ungkapan, “kuno dan tidak lagi sesuai gaya”. Penolakan tersebut–tentu saja–memunculkan kontroversi. Yang tidak disangka-sangka adalah bahwa musik terbaru sang komposer, merupakan sesuatu yang sama sekali jauh dari bayangan publik kala itu.

Concert Program of March 31, 1913

Keterkejutan adalah kata yang terlampau halus untuk mewakili respon para pendengar. Pada konser tersebut, lima komposisi [akan] ditampilkan, antara lain: Sechs Stücke für Orchester (Anton Webern), Orchesterlieder nach Gedichten von Maeterlinck, opus 13 (Alexander von Zemlinsky), Kammersymphonie No. 1, Op. 9 (Arnold Schoenberg), Orchesterlieder nach Ansichtskartentexten von Peter Altenberg, Op. 4 Nos. 2 and 3 (Alban Berg), dan Kindertotenlieder (Gustav Mahler) (Trembeth, 2021). Dari awal, kata cemooh telah dilontarkan, puncaknya adalah ketika Berg mulai memainkan karyanya. Pendengar semakin resah, dan keresahan berujung dengan pelemparan kursi, dan ‘apapun yang bisa dilempar’ (Calico, 2017). Konser berubah menjadi kerusuhan massal ketika insiden pelemparan dibarengi dengan adu jotos. Sebuah wawancara dalam tabloid Die Zeit (dalam Calico, 2017, hal. 31; Trembeth, 2021) dengan detil menggambarkan kejadian pada konser sebagai berikut:

Polisi yang bertugas tidak dapat memulihkan ketertiban, dan Buschbeck (host sekaligus organiser) naik ke panggung untuk mencoba menenangkan kerumunan sebelum pertunjukan Kindertotenlieder karya Mahler dimulai, meminta penonton untuk mendengarkan bagian akhir atau meninggalkan aula. Seseorang (bernama Dr. Albert) lantas melompat memukul wajah sang organiser. Keributan pun semakin menjadi-jadi. Pemimpin konser lalu mengumumkan bahwa orkestra tidak dapat memainkan Mahler dalam kondisi seperti itu, para musisi berusaha meninggalkan panggung dan tidak lama, penonton pun bubar.

Calico (2017) juga menambahkan bahwa untuk pertama kalinya konser mengakibatkan pertengkaran fisik dan tuntutan hukum. Tuntutan publik tidak hanya ditujukan kepada Schoenberg, tapi juga pada murid-muridnya dan komposer lain yang ikut terlibat. Tuntutan yang dilayangkan publik adalah gugatan atas polusi suara, dan juga gugatan atas musik yang telah menyebabkan tekanan psikologis. Dalam salah satu keterangan pelaku pemukulan, sang pemukul berujar bahwa ‘musik Berg-lah yang membuatnya ingin memukul orang’. Tuntutan atas musik atonal Schoenberg dkk. mendapat dukungan dari gerakan anti-noise yang berkembang di Berlin pada kisaran 1909 dan menyebar ke Wina. Gerakan ini digagas oleh Theodor Lessing yang menentang polusi suara yang diakibatkan oleh modernism, serta ragam gagasan yang mempromosikannya, termasuk musik ekspresionisme dan eksperimentalisme (Baron, 1982). Sebagai respons dari tuntutan publik, Schoenberg dan beberapa pihak yang telibat dalam konser tidak tinggal diam. Mereka mengajukan dua tuntutan kepada para penonton konser, yaitu: (1) menganggu jalannya konser dengan kegaduhan; dan (2) merusak properti.

Pada perkembangannya, walaupun Skandalkonzert memunculkan kontroversi dan kegaduhan publik, tidak ada satupun tuduhan keduabelah pihak yang mendapatkan putusan hukum. Schoenberg dan Second Viennese School tetap memiliki ruang di lingkaran Musik Wina, khususnya dalam bentuk pedagogis, yaitu menyediakan forum tempat para siswa dan komposer agar dapat mendengarkan musik baru–tanpa gangguan dari penonton. Komunitas ini lalu dikenal dengan sebutan The Society for Private Musical Performances dengan prinsip-prinsip dasar sebagai berikut: konser harus dilindungi dari pengaruh publik yang merusak; pertunjukan hanya terbuka untuk anggota; semua bentuk persetujuan, ketidaksetujuan, dan ucapan terima kasih dilarang; dan repertoar yang akan dimainkan tidak perlu diiklankan sebelumnya. Bentuk komunitas yang dikembangkan oleh Schoenberg paska Skandalkonzert memang memiliki lingkup pengaruh yang lebih terbatas. Namun, satu hal yang tidak dapat disangkal: bahwa konser Schoenberg, Webern, Zemlinsky, Berg, dan Mahler–dengan segala kontroversinya–berperan penting bagi perkembangan musik abad 20 dan membuka jalan kepada para pembaharu (baca: pemberontak musik) selanjutnya; for better or worse :p.

 

 

Sumber Gambar: Wikipedia Commons, By Unknown author, Die Zeit, Public Domain

Sumber Bacaan:
Baron, L. 1982. Noise and Degeneration: Theodor Lessing’s Crusade for Quiet. The Journal of Contemporary History, 17 (1): 165–178.
Calico, J. 2017. Noise and Arnold Schoenberg’s 1913 Scandal Concert. Journal of Austrian Studies, 50 (3-4): 29-55.
Trembeth, J. 2021. The REAL Skandalkonzert!. Medium.
The Gentleman’s Magazine, February 1763, vol. XXXIII, p. 97 – via HathiTrust

Share on:

Leave a Comment