Tulisan ini pada dasarnya merupakan sebuah resistensi – atau lebih tepatnya eskapisme – dari kungkungan kegilaan yang semakin menjadi-jadi menjelang ujung “pesta demokrasi” di negeri ini. Sebuah kegilaan yang mempersepsikan bahwa tanpa bertindak, maka negeri ini akan kiamat. Namun gegap gempita ini nampaknya tidak berdampak pada suatu desa yang terletak di lembah antah berantah dalam sebuah cerita pendek gubahan berjudul Rintrik karya Danarto – di desa tersebut ada hal yang lebih penting dan mendesak dibanding persepsi politik: yaitu mengubur mayat-mayat bayi yang bergelimpangan, dibuang orang tua tak bertanggung jawab.
Pada desa tersebutlah saya akan meminta suaka – setidaknya hingga gegap gempita politik ini usai. Eskapisme ini sama sekali bukan bentuk ketidakpedulian pada arah nasib bangsa, tapi justru dalam upaya mencari jawab atas pertanyaan yang menggantung pekat di langit negeri: mengapa harus ada keraguan dalam setiap pilihan? apakah memang benar, dalam dunia yang tidak sempurna ini, kita dikutuk untuk memilih yang paling baik diantara yang buruk – dan lalu kita harus berdamai dengan fakta bahwa yang kita pilih adalah juga buruk?. Dengan berbekal pertanyaan tadi dan tekad bulat sebulat bulan purnama, langkah kaki kubawa menapaki kata demi kata yang ditulis Danarto menuju relung paling dalam dari diri setiap manusia – mikrokosmos. Aura mistis tergambar di sepanjang perjalanan. Danarto membawa kita memasuki sebuah lembah [yang dulunya] indah tiada banding sehingga membuat manusia lupa daratan – mereka datang berpasang-pasangan pada hari senja dan pergi ketika mentari terbit di ufuk timur, lalu suatu hari mereka kembali dengan bungkusan di tangan: mayat bayi merah tak berdosa mati dibungkus rasa bersalah orang tuanya. Dan lembah itu kini sunyi – tinggal Rintrik seorang diri, menggali dan mengubur bayi-bayi.
Kabar lantas menyebar, bahwa ada seorang perempuan tua, buta dan hitam legam, menggali kuburan bayi di lembah tak berpenghuni. Masyarakat desa sekitar lantas berduyun-duyun menghampiri – takut, tapi penasaran setengah mati. Pada awalnya ngeri, namun setelah sekian waktu memperhatikannya menimang mayat bayi, menguburnya hati-hati, dan berdoa tanpa henti, Rintrik yang menakutkan menjelma menjadi sosok agung. Dengan keagungannya, pada pertengahan cerita kita bisa melihat dan merasakan, bahwa Rintrik – walaupun ditulis oleh Danarto – memiliki kehendaknya sendiri: melesak masuk kedalam relung sanubari setiap orang dan menjadi cermin bagi setiap pertanyaan canggung yang menggantung di ulu hati (seperti pertanyaanku di awal tadi – sebuah pertanyaan konyol yang nyata-nyata jawabannya telah ada di benak sendiri, tapi terlalu menakutkan untuk dihadapi hingga memerlukan Rintrik yang tak kenal takut, untuk menjawabannya).
Karena kekaguman terhadap sosok perempuan ini, masyarakat desa sekitar membawa berbagai sandang juga pangan untuk memenuhi kebutuhan sang guru spiritual. Tapi mentah-mentah Rintrik menolaknya. “Aku adalah batu dan udaralah makananku”, ujar Rintrik yang membuat orang-orang semakin kagum kepadanya. Dan walaupun menolak memberikan berkah dengan bersikukuh bahwa setiap orang harus berdoa untuk dirinya sendiri, orang yang datang tidak surut setiap harinya. Dari pengamatanku, Rintrik tidak pernah mengarahkan jawaban, ia menyuruh setiap orang bertanya pada dirinya sendiri – sebuah penggalan kalimat filsuf pencerahan, Immanuel Kant, muncul di kepala: bahwa ujung terakhir pembuatan keputusan [politik] adalah diri sendiri, oleh karena itu bertanggungjawablah pada tindakanmu.
Pernyataan tersebut tidak dinyatakan langsung oleh Rintrik dalam cerita, tapi gagasan Danarto tentang politik mikrokosmos yang diuangkapkan melalui mulut Rintrik memiliki garis yang sama, bahwa setiap tindakan berujung pada konsekuensinya tersendiri. Adapun keberadaan Rintrik di lembah tersebut tidak pernah secara gamblang diuraikan oleh Danarto, namun mekanisme kosmos dijelaskannya dengan tegas: bahwa setiap mikrokosmos memiliki tempatnya masing-masing dalam kosmos yang makro, dan hanya melalui pemenuhan fungsinya, maka seseorang telah bertanggung jawab pada keputusan [politik]nya sendiri.
Rintrik adalah bukti nyata akan adanya kehidupan diatas politik prosedural negara – ia hanya diperintah oleh kosmosnya yang bertindak tidak lain untuk memenuhi fungsinya dalam makrokosmos. Dan kita pun tahu, perjalanan setiap individu menuju mikrokosmos memiliki cara yang berbeda – Bima menemui Dewa Ruci, Joan of Arc melalui mimpi, sedangkan Rintrik melalui denting-denting piano. Piano ini semakin memperkuat imaji sureal Danarto dalam menggambarkan perjalanan mikrokosmos Rintrik: piano seputih kapuk yang dimainkan oleh sosok hitam legam di sebuah lembah sunyi tanpa penghuni kecuali bayi-bayi mati. Namun denting pianolah yang menjadi penunjuk arah bagi para penduduk desa untuk masuk ke dalam dunia Rintrik: dentingnya senantiasa magis, sehingga mampu menangkap setiap pertanyaan yang menggantung di udara dan menjawabnya melalui endapan pengetahuan (bawah) sadar yang disuarakan lewat nada demi nada.
Lalu tiba-tiba jari-jari itu menggantung kaku diatas tuts ketika seorang pemuda bertanya padanya tentang pilihan akan benar dan salah. Terhenyak pada pertanyaan yang memiliki kemiripan dengan pertanyaanku, dengan berdebar kutunggu jawaban dari sosok di depan piano, lalu ia pun menjawab: “kau terlalu menganggap dirimu bertanggung jawab atas benar atau salah”, lalu ia memainkan kembali tuts pianonya. Jawaban Rintrik menusuk bagai anak panah, dengan kalimat singkatnya, Rintrik mengungkap selubung ambisi manusia untuk selalu bertindak benar, padahal kebenaran berada di luar dirinya, diatur oleh kekuatan yang lebih besar dari gagasan kebenaran versi kita sendiri. Karena tidak mampu menguasai kebenaranlah maka manusia menjadi ragu – dan akhirnya ia harus tunduk pada egonya yang menuntut untuk bertidak benar (walaupun secara sadar kita tahu, bahwa kebenaran yang kita pilih tidak sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan).
Namun kesubliman jawaban Rintrik terganggu ketika muncul pemburu bersenjata api dengan peluru berupa tata dan aturan sosial. Ia masuk kedalam cerita dan lantas menunjuk Rintrik sebagai racun masyarakat. Entah bagaimana ia bisa mengetahui keberadaan Rintrik di lembah sunyi ini, tapi dari percakapan diantara keduanya jelas bahwa mereka telah kenal – dan bermusuhan – sejak lama. Pemburu yang ternyata memiliki otoritas memberantas apatis atheis tersebut, lalu menyeret Rintrik keluar dari gubugnya. Masyarakat yang melihat kejadian tersebut berteriak ketakutan, meminta sang guru di bebaskan.
Atas protes masyarakat, Pemburu tersebut sama sekali tidak bergeming. Ia malah tambah berapi-api menunjukkan kesalahan dalam gagasan-gagasan Rintrik yang ia sebut anti sosial. Atas tuduhan ini Rintrik lalu berkata: “Aku datang ke lembah ini untuk mengubur bayi tanpa meminta imbalan sepeserpun, apakah itu anti sosial? Atas pengajaran spiritual untuk memperkuat keyakinan masyarakat, apakah itu anti sosial? Aku menjada kata-kataku, lidahku tidak melakukan kejahatan, apakah itu anti sosial? Setiap kataku berucap Allah, Allah, Allah, apakah aku atheis?.” Melihat kuatnya logika Rintrik yang semakin sulit dipatahkan, sang pemburu tidak punya pilihan lain selain dengan cepat mengakhiri perdebatan tersebut, dan Rintrikpun dihadapkan pada pasukan penembak. Pada kematian yang menyongsongnya, Rintrik hanya tersenyum – ketika ditanya tentang permintaan terakhirnya, Rintrik berkata “ingin melihat wajah Tuhan”, dan peluru pun menghujam tubuh hitamnya. Setelahnya, lalu Sunyi – tidak ada yang tersisa kecuali senyum Rintrik yang mengembang di wajah matinya.
Di titik inilah – melalui kesatuan bangun cerita –, kita harus mengakui kehebatan Danarto, sekaligus Rintrik dalam memetakan politik mikrokosmos, yaitu sebuah gagasan politik yang bersandar pada fungsi seorang individu di masyarakat. Pada akhirnya, Rintrik menjadi cermin atas keraguan [pilihan politik] yang mendera, sehingga muncullah sebuah simpulan: bahwa keputusan [politik] yang bertanggung jawab bukanlah memilih yang benar – karena kebenaran berada diluar jangkauan kita – tapi bertindak sesuai kapasitas dengan menyadari fungsi kita di alam semesta. Malalui pandangan tersebut manusia adalah mahluk berpolitik sekaligus apolitik – dalam arti ia dapat bertindak di atas bangun politik prosedural. Dan Rintrik merupakan sebuah monumen politik mikrokosmos yang selamanya akan berbenturan dengan ide prosedural negara – yang berdiri di atas ilusi “kebenaran” – sehingga kematian Rintrik akan terus berulang selama sejarah masih digerakkan oleh ego dan ambisi manusia untuk menaklukkan kebenaran yang sama sekali bukan miliknya.
(Bandung, 25 Mei 2014)
kontak via editor@antimateri.com
betul sekali. politik itu urusan personal, dan biarkan hukum semesta bekerja. danarto memang mantab!
personal dan (seharusnya) sublim. Terima kasih sudah mampir pa Mahbub…
mungkin zombie atau clone nya, wkwkkwk