Pada tahun 1945, uji coba bom atom pertama di dunia dilakukan di gurun tandus New Mexico. Hari itu menjadi salah satu momen terpenting dalam kehidupan Julius Robert Oppenheimer sebagaimana yang dijelaskan oleh sejarawan Kai Bird dan J. Sherwin dalam buku biografinya, American Prometheus (2005), yang berhasil menyabet Hadiah Pulitzer dan menjadi dasar untuk film biografi Oppenheimer karya Christoper Nolan.
Alasan yang melatar belakangi uji coba bom atom itu adalah kekhawatiran sebagian besar para ilmuwan terhadap kebrutalan Nazi Jerman, yang mulai mengembangkan senjata pemusnah massal berupa bom atom dalam Perang Dunia II. Melalui surat yang ditulis oleh Albert Einstein, seorang fisikawan masyhur kelahiran Jerman, Presiden Amerika Roosevelt didesak untuk melakukan penelitian berupa bom atom.
Usulan Einstein dan sejumlah ilmuwan itupun disetujui oleh Roosevelt dengan mendirikan Komite Uranium dan pada tahun 1942 dibentuk Proyek Manhattan. Oppenheimer, yang diperankan dengan sangat baik oleh Cillian Murphy, ditunjuk untuk menjadi pemimpin dalam Proyek Manhattan dengan merekrut beberapa ilmuwan lainnya.
Ledakan yang dihasilkan dari uji coba bom atom itu sangatlah besar. Kekuatannya setara dengan 21 kiloton TNT dan menciptakan gelombang kejut sejauh 165 km, suatu ledakan terbesar yang pernah ada. Hal itu tampak jelas di dalam film dengan durasi tiga jam ini; saat detik-detik ledakan bom atom terjadi suara gemuruh melanda gurun tandus New Mexico, awan jamur naik ke langit dengan sangat perkasa, kilatan cahaya dari percikan api ledakan bom atom membuat takjub setiap mata yang memandangnya.
Kemudian bom atom itu dijatuhkan di Hiroshima-Nagasaki oleh Amerika Serikat pada tahun yang sama. Menurut Stephen Kelly, dalam laporannya di Science Focus, bom yang dijatuhkan di Hiroshima berbobot 15 kiloton, setara dengan 15.000 TNT, yang hampir menghancurkan 63 persen bangunannya dan menewaskan sedikitnya 70.000 orang. Peristiwa dari pengeboman tersebut akhirnya menandai kekalahan Jepang dan berakhirnya Perang Dunia II. Beberapa hari setelahnya, Oppenheimer diagung-agungkan sebagai pahlawan dan akhirnya meraih gelar sebagai “Bapak Bom Atom”.
Dalam sebuah wawancara di The New York Times, Nolan mengungkapkan alasan dirinya memilih Oppenheimer sebagai sosok sentral dalam film terbarunya itu. Bagi Nolan, Oppenheimer adalah orang terpenting yang pernah hidup. Kisahnya adalah pusat dari cara kita hidup saat ini dan cara kita hidup selamanya. Ia pun menceritakan awal mula perjumpaannya dengan Oppenheimer. Setelah film Tenet selesai digarap, ia menerima sebuah hadiah buku yang berisikan pidato-pidato Oppenheimer di era 1950an dari aktor ternama Robert Pattinson.
Nolan membaca buku itu dan menemukan karakteristik yang unik dari Oppenheimer. Ia melihat pergulatan yang sengit dan keras di dalam diri Oppenheimer, suatu penyesalan panjang atas apa yang telah Oppenheimer lakukan lewat penciptaan bom atom dan senjata nuklir untuk pertama kalinya di dunia. Menurut Nolan, Oppenheimer telah memberi dunia kekuatan untuk menghancurkan dirinya sendiri. Tidak ada yang pernah melakukan itu sebelumnya.
Apa yang dikatakan Nolan, bagi saya, memang tepat adanya. Sejak bom atom ditemukan, dunia tak lagi sama. Manusia hidup dalam bayang-bayang ketakutan atas bom atom dan nuklir. Ketakutan itu semakin nyata melihat perang masih terjadi sampai hari ini seperti perang Rusia-Ukraina, ditambah ketegangan antara negara-negara besar seperti Cina-Amerika, Korea Utara-Jepang, yang semakin meningkatkan resiko dari ancaman bom atom atau perang nuklir.
Sehingga film Oppenheimer besutan Nolan ini menemukan relevansinya bagi kehidupan manusia di abad ke-21. Film ini menjadi alarm dari sisi negatif penerapan sains yang menghasilkan senjata pemusnah massal. Sains dan teknologi modern, yang merupakan warisan Pencerahan, yang pada awal kemunculannya menjanjikan kemajuan dan kebebasan manusia dari kebodohan nyatanya telah menyimpang dari tujuan luhurnya itu, dan justru menyeret manusia ke dalam bentuk-bentuk barbarisme yang tak terbayangkan sebelumnya.
Paradoks Pencerahan
Dalam buku Dialectic of Enlightenment (2002), Adorno dan Horkheimer menyoroti dengan sangat baik kencenderungan sains dan teknologi modern yang akhirnya menyimpang dari tujuan luhurnya itu. Alih-alih memperbaiki dunia, sains dan teknologi modern yang lahir dari akal budi malah meluluhlantakkan peradaban. Lebih jauh lagi, Adorno dan Horkheimer mengambil sikap kritis terhadap ide Pencerahan di Eropa yang mengalami kebuntuan.
Namun, sebelum menjelaskan lebih jauh kritik Adorno dan Horkheimer terhadap ide-ide pencerahan dan kaitannya dengan film Oppenheimer, ada baiknya kita memahami secara mendetail tentang istilah Pencerahan itu sendiri, atau bagaimana persisnya ide tentang Pencerahan itu.
Terminologi Pencerahan sendiri pertama kali diungkapkan oleh Kant melalui esainya yang berjudul Was It Aufklarung (dalam Foucault, 1984). Melalui slogan “Sapere Aude!”, Kant mengajak manusia untuk berani dan bebas menggunakan akalnya, tak lagi bergantung pada otoritas di luar dirinya seperti agama, tradisi, atau negara. Bagi Kant, apabila manusia masih belum yakin dengan kemampuan akalnya untuk menciptakan “kemajuan” dan “kebahagiaan” di dunia, maka manusia itu belumlah dewasa.
Adorno dan Horkheimer pun mengkritik gagasan Pencerahan (Aufklarung) yang berkisar pada diskursus “kemajuan” dengan akal menjadi instrumen utamanya. Mereka berargumen bahwa ide-ide Pencerahan telah perlahan menutup diri terhadap realitas luar dan makna yang terkandung di dalamnya. Pencerahan yang semula dipandang sebagai “kemajuan” dari cara pandang mitologis telah berubah menjadi mitos itu sendiri. Lalu mitos itu pula yang menghasilkan dominasi dan penindasan manusia yang satu terhadap manusia lainnya. Dalam hal ini, Adorno dan Horkheimer menunjukan dimensi paradoksal dari Pencerahan.
Manusia menghadirkan mitos dan membangun Pencerahan untuk menentukan makna dan relasinya di dunia. Mitos dan Pencerahan juga digunakan untuk meredam kontradiksi yang muncul dari setiap peristiwa partikular dengan menggunakan prinsip universal. Dalam arti ini, mitos bisa dianggap sebagai “pencerahan” karena menjadi sumber pengetahuan yang bertujuan untuk menjelaskan realitas yang sarat dengan kontradiksi, yang tak sepenuhnya dapat terpahami. Tapi, di satu sisi, mitos menjadikan manusia patuh terhadap setiap aturan yang tampil melalui kisah-kisah atau dongengnya itu.
Sementara pencerahan yang seharusnya “menyebarkan” akal untuk membebaskan umat manusia dari ketakutan, takhayul, dan seterusnya, pada akhirnya telah berbalik melawan dirinya sendiri. Akal rasional telah diinsturmentalisasi sedemikian rupa sehingga mengalami kemunduran menjadi tidak masuk akal atau irasionalitas. Akhirnya, Pencerahan pun memiliki kemiripan dengan mitos (dan berakhir menjadi mitos): di satu sisi ia hendak membebaskan manusia, di sisi lain ia menjadikan manusia patuh pada aturan dan rumus yang sedemikian ketat dan matematis. Rasionalitas pencerahan pun telah menjadi irasionalitas. Pada abad ke-20, manifestasi dari irasionalitas ini adalah lahirnya fasisme dan totalitarianisme, atau munculnya perang Dunia I dan II, senjata pemusnah massal, genosida, dan seterusnya.
Kekejian dan kengerian dari manifestasi irasionalitas tersebut bisa kita lihat secara tak langsung dalam film Oppenheimer besutan Nolan. Memang benar, sebagian besar dari film ini diletakan dalam sudut pandang Oppenheimer, menceritakan kehidupan pribadinya dengan sangat intim. Penonton akan dibawa ke masa-masa kehidupannya sejak ia menjadi mahasiswa di Eropa, pergulatan batinnya, kemudian saat ia menjabat sebagai profesor di California pada tahun 1930-an, dan pada saat ia memimpin Proyek Manhattan. Hampir seperti film Nolan lainnya (Memento, misalnya), alur cerita yang dihadirkan memang dibangun secara bertahap, meskipun dengan waktu dan kronologi yang retak.
***
Akan tetapi, hal yang perlu diingat dari film ini adalah Oppenheimer harus diletakkan dalam lanskap sejarah yang lebih luas: dalam kecamuk Perang Dunia II, dalam pertarungan ideologi-ideologi besar seperti fasisme, komunisme, nasionalisme, liberalisme, dan seterusnya. Selain itu, film ini pun mencoba menjelaskan tentang sains dan bom atom yang semua merupakan warisan dari Pencerahan.
Salah satu momen penting dalam film ini adalah adegan ketika bom atom pertama dunia itu berhasil diuji coba dan diledakan di Hiroshima-Nagasaki. Usai peristiwa pengeboman itu, Oppenheimer mengalami keterguncangan dan rasa penyesalan yang mendalam atas apa yang telah dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap penemuannya. Bahkan tak hanya Oppenheimer, banyak fisikawan lainnya, termasuk Albert Einstein, yang juga kecewa karena Amerika telah menjatuhkan bom tanpa peringatan terlebih dahulu pada musuh yang telah dikalahkan. Hal ini bisa dibaca sebagai manifestasi irasionalitas dari rasionalitas Pencerahan.
Lalu keterguncangan dan penyesalan itu diakui Oppenheimer saat dirinya bertemu dengan Presiden Amerika, Harry S Truman (diperankan oleh Gary Oldman), di kantor Gedung Putih. Kepada Truman, Oppenheimer pun berkata dengan penuh penyesalan bahwa kini tangannya telah berlumuran darah. Mendengar perkataan itu, Truman merasa bingung dan marah, kemudian Truman mengatakan dengan singkat bahwa semua ini adalah tanggung jawabnya sebagai presiden dan mengajukan pertanyaan kepada Oppenheimer: “Apakah menurutmu orang Jepang peduli siapa yang membuat bom? Tidak, mereka ingin tahu siapa yang menjatuhkannya.” Truman pun menyebut Oppenheimer sebagai “crybaby”.
Adegan ini mengejutkan dan sangat membangkitkan emosi. Bagaimana mungkin peristiwa tragis dari pengeboman tersebut yang telah menelan puluhan ribu warga sipil tak berdosa di Jepang, tak menimbulkan rasa bersalah dan penyesalan di dalam diri Truman. Sosok Truman akhirnya mengingatkan saya pada sosok Eichmann, seorang agen Nazi yang bertanggung jawab atas kamp konsentrasi orang-orang Yahudi.
Dalam laporannya Eichmann in Jerusalem (1963), Hannah Arendt menjelaskan bahwa peristiwa “dunia modern” mengandung kejahatan moral yang mengerikan. Arendt kemudian berusaha menganalisis kejahatan moral itu dan menemukan adanya “banalitas kejahatan” (banality of evil), yakni suatu situasi di mana kejahatan tidak lagi dirasa sebagai kejahatan, tetapi sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja, sesuatu yang wajar. Singkatnya, banalitas kejahatan adalah kejahatan yang dilakukan seseorang tanpa “niat jahat” atau merasa menjadi jahat, dan hal ini dapat dilakukan oleh oleh siapapun, bahkan oleh seseorang yang terlihat saleh, taat, dan patuh, seperti Eichmann atau Truman.
Selain itu, film ini pun menunjukan bahwa sains atau ilmu pengetahuan tidak sepenuhnya bebas nilai. Sains atau ilmu pengetahuan bisa mencapai objektivitas, dapat dihasilkan dari prose-proses yang objektif, tetapi ia tak bisa sepenuhnya netral. Ia mesti berpihak kepada masyarakat luas, atau secara eksplisit kepada kaum yang dilemahkan, bukan kepada kelas berkuasa, agar bisa mencapai kemaslahatan bersama secara luas atau mencapai tujuan-tujuan etis.
Dengan demikian, sains atau ilmu pengetahuan, sebagai warisan Pencerahan yang masih berharga, tak hanya menjelma sebagai “akal instrumental” semata untuk menciptakan kontrol dan dominasi di masyarakat. Tapi dapat digunakan pula untuk mencari kebenaran dan mencapai kemaslahatan bersama, tanpa mengesampingkan aspek-aspek kemanusiaan, seperti moralitas dan perasaan, sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Adorno dan Horkheimer.
Catatan Editor:
Artikel ini tidak sepenuhnya merefleksikan opini editor ataupun direksi antimateri. Penulis dapat dihubungi melalui dedisahara24@gmail.com
Sumber Gambar: Wikipedia commons
Sumber Bacaan dan Tontonan
Arendt, H. 1963. Eichmann in Jerusalem. New York: Viking Publisher
Bird, K. dan Sherwin, M. J. 2006. American Prometheus: The Triumph and Tragedy of J. Robert Oppenheimer. New York: Vintage Books
Foucault, M. 1984. What is Enlightenment? Dalam The Foucault Reader. P. Rabinow. New York: Pantheon Books
Horkheimer, M. dan Adorno. W. 2002. Dialectic of Enlightenment. California: Stanford University Press
Kelly, S. 2023. Oppenheimer: The Worryingly Real Fears Scientists Have about a Single Nuke Ripping Open Earth. BBC: Science Focus
Nolan, C. 2001. Memento. Entertainment One, Bontonfilm A.S., Pathé, Summit Entertainment, Newmarket Films, Kinowelt Hungary
Nolan, C. 2023. Oppenheimer. Universal Pictures
Overbye, D. 2023. Christopher Nolan and the Contradictions of J. Robert Oppenheimer. The New York Times
Terdapat beberapa poin perbedaan pandangan antara editor dan penulis, terutama mengacu pada paragraph akhir:
“Selain itu, film ini pun menunjukan bahwa sains atau ilmu pengetahuan tidak sepenuhnya bebas nilai. Sains atau ilmu pengetahuan bisa mencapai objektivitas, dapat dihasilkan dari prose-proses yang objektif, tetapi ia tak bisa sepenuhnya netral.”
Tim editor memiliki pandangan lain terkait persoalan ini, di antaranya:
(1) Konsensus, termasuk di ilmu alam, memang tidak pernah sepenuhnya mencapai objektifitas, namun harus dibedakan antara “sains itu sendiri” dengan “pengguna/penggunaan sains”
(2) Bom (dalam konteks sains) memang harus meledak, jika tidak meledak berarti sains gagal; sehingga diskusi, baik dalam film ataupun publik, mengacu pada perihal penggunaan bom tersebut, dalam arti masalah etis.
(3) Jika tidak ada pembedaan (antara sains dan penggunaan sains), dikhawatirkan akan muncul kecenderungan antipasti terhadap sains.
Penerbitan artikel ini merupakan upaya kami untuk menjaga pluralitas gagasan; yang niscaya memang harus ada dan tetap dijaga. Oleh karena, penyampaian pandangan editor bukanlah upaya untuk menjadi “gate keeper” atas gagasan tertentu; namun semata-mata ditujukan sebagai etika penerbitan untuk menghindari kesalahpahaman
Cheerss