Percaya atau tidak, buku bersampul oranye dengan gambar keris, gunungan dan jelaga dupa ini adalah sebuah buku “travel”. Dalam kamus umum, buku travel merupakan buku dengan berbagai cerita asik tentang negeri jauh – lazimnya dibubuhi berbagai potret sebagai bukti bahwa perjalanan yang dilakukan valid, bukan perjalanan imajiner. Membaca buku travel selalu menarik, walau terkadang sulit menemukan seorang traveler yang merangkap sekaligus penulis ulung. Namun sukurlah kita memiliki seorang Mohamad Sobary, antropolog handal yang juga seorang kolumnis piawai Indonesia yang memiliki hobi jalan-jalan ke tempat-tempat antah berantah – berdasarkan pada kombinasi inilah akhirnya muncul sebuah buku perjalanan yang bukan hanya memiliki narasi [budaya] yang baik, tapi juga lain dari biasanya.
Mitos Pewayangan
Buku Mitos dan Para Petapa tidak membawa pembacanya berkelana jauh, hanya muter-muter pulau Jawa, dan sedikit ke Thailand, itupun masih dengan tujuan yang sama, perburuan mitos pewayangan dan tempat petapaan. Dalam segi bahasa buku ini sangat ringan, bahkan diselengi lakon pewayangan sesuai dengan tempat yang dikunjungi. Ada sekitar enam belas cerita, namun akan saya rangkumkan bagian yang saya anggap paling istimewa.
Jika berbicara soal pewayangan, maka ada dua lakon mainstream yang dikenal secara umum, yaitu Mahabratha dan Ramayana. Dan tempat mana lagi selain Prambanan yang menjadi dokumentasi kemegahan salah satu ceritanya – Ramayana. Candi yang terletak tujuh belas KM dari Yogya (ke arah Solo) ini menurut penuturan turun temurun adalah ibu kota Kerajaan Medang Kumulan. Walaupun reliefnya menggambarkan rangkaian Ramayana, namun penduduk setempat tidak pernah mendengar apakah Sri Rama sendiri pernah menginjakkan kaki disana – alih-alih kita akan diceritai tentang Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang, dengan kisah cinta yang tidak kalah rumit.
Perjalanan selanjutnya adalah Grojogan Sewu, sebuah air terjun yang terletak tidak jauh dari Terminal Tawangmangu yang menurut mitos adalah tempat bertapanya kakak dari Sri Kresna, Baladewa Sang Raja Mandura. Konon disini pernah ada pertumpahan darah, yaitu ketika Baladewa membunuh keponakannya sendiri, Sencaka, karena telah membohonginya bahwa perang Baratayudha belum dimulai, sebuah akal licik Kresna agar Baladewa tidak terjun ke medan perang. Tempat lain yang terkait dengan mitos pewayangan adalah Pringgondani. Jika terkesan familiar dengan tempat tersebut adalah karena Pringgondani merupakan kerajaan yang dikuasai oleh Gatotkaca. Dan menurut Sobary, tempat tersebut [secara mitos benar-benar] ada, masih disekitar wilayah Tawangmangu.
Selanjutnya Sobary membawa kita ke Candi Sukuh, sebuah candi kecil kurang tersohor di wilayah lereng bagian barat Gunung Lawu, Solo. Candi ini tidak megah seperti halnya Prambanan, namun relief yang ada di Candi Sukuh memberikan pengaruh sangat luas pada kehidupan masyarakat Jawa. Pada relief tersebut digambarkan Sadewa, saudara termuda dari Pandawa, diikat di sebatang pohon randu kepuh. Di hadapannya berdiri Batari Durga dengan sebilah pedang di tanggannya. Keterangan terhadap gambar tersebut adalah bahwa untuk membebaskan kutukan Betari Durga maka anak terakhir Pandawa tersebut harus dikurbankan. Rangkaian relief ini berakhir bahagia, ketika Sadewa berhasil membebaskan Durga tanpa harus mengorbankan nyawanya. Adapun pembacaan masyarakat terhadap relief inilah yang kemudian memunculkan mitos, bahwa upacara ruwat wajib dilakukan terhadap anak lelaki bungsu dari lima bersaudara, atau anak lelaki tunggal untuk mengusir Durga yang akan selalu membayanginya. Mitos wayang berakhir disini, namun perjalanan terus berlanjut mencari tempat para petapa.
Tempat Para Petapa (Baca: Wisata Gua dan lain sebagainya)
“Waktu masih agak kecil, saya sering bertanya-tanya, mengapa orang Jawa itu kok senang sekali dengan gua-gua, senang membakar kemenyan, dan mengapa orang Jawa itu, dari nenek moyang sampai generasi saya saat ini masih getol bertapa? Ketika hal itu saya tanyakan pada kakek, jawabannya melingkar-lingkar, hanya semata-mata merasa gengsi kalau soal dari cucu tidak bisa dijawab.”
Mungkin, berbekal pertanyaan tak terjawab itulah kemudian Sobary menelusuri berbagai tempat petapaan di wilayah Jawa. Dan menurutnya, asalkan ada Gua, pasti ada cerita aneh-aneh seputarannya. Salah satunya cerita tentang Ibu Langgeng, petapa yang mendiami Gua Tapan yang terletak tujuh kilometer dari Parang Tritis. Cerita Ibu Langgeng ini lucu walau agak sedikit tragis. Ibu Langgeng, atas pamornya sebagai seorang petapa mendapat kewibawaan dari masyarakat sekitar. Kewibawaan dalam masyarakat Jawa linear dengan kewaskitaan, sehingga diantara kesibukannya bertapa, Ibu Langgeng sering didatangi tamu untuk sekedar mencari berkah atau mencari jawab atas permasalahan hidup. Pamornya semakin naik dan sebagai penghormatan, para tamu yang mendatanginya membawa upeti alakadarnya. Disinilah awal cerita tragis Bu Langgeng, karena dari hari ke hari hartanya semakin banyak, suatu hari Bu Langgeng ditemukan mati, dan hartanya digondol pencuri. Cerita Ibu Langgeng yang tidak Langgeng, demikian Sobary memberi judul perjalanannya ke Gua Tapan.
Gua lain yang sering menjadi tempat petapaan yang masih terletak di wilayah Yogyakarta adalah gua Langse di Parang Tritis, Gua Sunan Mas di bagian selatan Yogya masuk ke wilayah Pegunungan Seribu dan Gua Sermin yang terletak dekat patilasan Imogiri. Yang menarik dari ketiga Gua tersebut adalah Gua Sunan Mas yang menurut cerita merupakan persembunyian dari Sunan Mas ketika dikejar Belanda. Di Gua Sunan Mas inipun terdapat Banyu Panguripan (Air Kehidupan) yang mengairi desa Surocolo di dekatnya.
Selain gua-gua, Sobary menelusuri pula daerah-daerah petapaan lain misalnya Petilasan (Astana atau Kuburan) Raja Jawa, Sunan atau orang yang dianggap diberkahi, Telaga dan Air Terjun, lereng gunung serta jangan ketinggalan Hotel. Hotel ini bernama Samudera Beach yang terletak diwilayah Pelabuhan Ratu, yang konon sering disinggahi oleh Ratu Kidul. Dan nampaknya Sobary pun tak ingin ketinggalan berita tentang icon Pantai Selatan ini dan menyempatkan diri singgah disana.
Mitos dan Kekayaan Budaya
Mitos, seringkali dipandang sebelah mata dan semakin ditinggalkan oleh manusia Modern saat ini. Tidak heran ketika saat ini banyak yang merasa kehilangan identitas kebudayaan, sebuah akibat dari penyangkalan pola penalaran alamiah – yang mau tidak mau harus mengakui bahwa mitos ikut membangun pola pikir alamiah tersebut – dengan menggantinya dengan pola pikir industri. Ritual bertapa sendiri merupakan titik sentral dari kepercayaan Pantheisme Jawa yang telah mengakar jauh sebelum datangnya Agama Hindu, Budha maupun Islam di Indonesia, sehingga melupakannya adalah melupakan pula akar sejarah budaya bangsa. Dalam pengantar bukunya, Sobary mengemukakan tujuannya untuk menumbuhkan kembali kecintaan terhadap kekayaan mitos, maka perjalanan ini diselesaikannya. Sebuah upaya yang patut untuk diapresiasi dalam memetakan kembali dan melestarikan akar kekayaan budaya bangsa.
Keterangan:
Sobary, Mohamad, 1992, Mitos dan Para Petapa, Puspa Swara
Tulisan ini merupakan revisi dari artikel serupa yang telah dimuat di blog Perpustakaan Semesta
kontak via editor@antimateri.com