To not sleep twice in a same place, to not eat three times a day in a same spot, to not wash your face in the same river – Old Romani Proverb
Gypsy memiliki banyak misteri. Salah satunya baru terjawab belakangan terkait asal muasal etnis Romani (yang kita kenal sebagai Gypsy) yang ternyata berasal dari India utara, bukan dari Mesir sebagaimana pandangan umum sebelumnya. Namun kita kadung menyebut etnis nomaden ini sebagai Gypsy, mengacu pada kata Egyptian, sebuah perkiraan meleset hanya karena warna kulit yang lebih gelap dari warga Eropa kebanyakan. Selain Gypsy, sebutan lain yang melekat adalah Gytano sebutan bagi Gypsy di Spanyol, khususnya di Andalusia, dan Sinti yang mengacu pada akar kata Sindhi, etnis yang berasal dari Pakistan dan India Utara. Adapun terungkapnya asal muasal etnis Romani didasarkan pada penelusuran para ahli bahasa yang membuahkan konsensus bahwa bahasa yang digunakan kaum Gypsy memiliki akar dari bahasa Hindi. Dengan didukung bukti sejarah lain, diantaranya: bait dalam syair Shahnameh, The Book of Kings (antara tahun 977-1010) yang merangkum pengiriman 10.000 musisi dan penghibur dari India ke Persia, juga ditemukannya tawanan perang bangsa Romani dalam peperang antara Ottoman-Kekaisaran Romawi Timur (the Curse of Gypsy, 2000)–menghasilkan sebuah gambaran tentang jalur migrasi bangsa Romani dari India menuju Eropa.
Selanjutnya kita tahu, keberadaan Gypsy di Eropa berada pada sisi kelam sejarah. Kedatangannya di Eropa pada abad 13 bersamaan dengan merebaknya wabah hitam (black plague) menjadikan Gypsy (dan etnis perantauan lain, yaitu Yahudi) sebagai sasaran empuk bagi para penguasa yang kehabisan akal untuk mencari sebab dari wabah tersebut. Kala itu menyebar isu bahwa wabah disebabkan oleh dua hal: air sumur yang diracuni oleh Yahudi atau penyakit yang dibawa oleh kaum Gypsy. Alhasil keduanya menjadi bulan-bulanan, dan terulang kembali tujuh abad kemudian ketika asap hitam holocaust menutupi langit Eropa. Namun, berbeda dengan bangsa Yahudi yang memilih untuk kembali ke tanah asal, Gypsy memilih untuk terus berkelana. Kini Gypsy menjadi minoritas yang tersebar di berbagai negara di benua Eropa, Amerika, hingga Afrika. Uniknya terdapat dua pandangan utama yang melekat pada Gypsy, dimana yang satu sama lain bertolak belakang. Di satu sisi, terdapat stereotipe negatif yang melingkupi kaum Gypsy dengan tuduhan sebagai: penipu, pencuri, penjual anak, hingga peramal nasib gadungan. Pandangan ini merupakan residu sejarah kelam di masa lampau yang selalu menempatkan mereka pada posisi sebagai outsider dimanapun mereka berada–bahkan marginalisasi masih berlangsung hingga saat ini. Di sisi lain, berbagai kalangan sastrawan (mulai Charles Dickens di Inggris, Fererico Garcia Lorca di Spanyol, hingga Gabriel García Márquez di Kolombia), memandang Gypsy tidak lain epitome dari gerakan romantis–sebagai pengusung utama noble savage. Ketika masyarakat lain tenggelam dalam kubangan mesin paska revolusi industri, kaum Gypsy dengan bebasnya melenggang pergi bersama angin musim semi. Bahkan Nietszche menyandingkan kesenian Gypsy sebagai perwujudan gagasan seni Dionysus yang hidup di tengah masyarakat (bersebrangan dengan gagasan Appolonian yang terpampang di museum dan galeri elit). Sisi romantis inilah yang menjadikan kaum Gypsy sebagai inspirasi seni yang tidak ada habisnya. Selain novel dan puisi, inspirasi Gypsy juga mempengaruhi musik–yang secara tidak sadar telah memberi pengaruh besar pada perubahan arah musik modern.
The Gypsy Road: A Musical Migration from India to Spain(Aula Record, 1999)
Fungsi musik bagi Gypsy lebih dari hiburan semata. Musik adalah perekat ikatan sosial juga sebagai bentuk penuturan sejarah. Gypsy tidak memiliki tradisi sejarah tertulis, oleh karenanya kisah dan cerita masa lalu diwariskan secara turun temurun dalam bentuk lagu dan balada. Musikpun menjadi sarana pendidikan bagi anak-anak yang hampir dipastikan tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Melalui musik, anak-anak diperkenalkan pada tata krama hingga relasi sosial. Vitalnya fungsi musik bagi Gypsy menghasilkan gema pada tempat dimana mereka pernah singgah. Jejak musik tersebut terangkum dalam album semi dokumenter berjudul The Gypsy Road: A Musical Migration from India to Spain (Aula Record, 1999). Sebagai gambaran, migrasi musik Gypsy dapat ditelusuri melalui pengaruhnya pada musisi yang tersebar dari tempat asalnya, India, ke Timur Tengah hingga Eropa. Beberapa musisi yang mewakili arus migrasi tersebut antara lain: India (Musafir), Turki (Kemani Cemal), Itali (Acquaragia Drom), Perancis (Energypsy) dan Spanyol (Gerardo Nunez, Casta). Album ini juga merangkum musisi asal Bulgaria (Yuri Yunakov), Hungaria (Ando Drom, Kalyi Jag), Romania (Taraf de Haidouks), dan Rusia (Loyko, Kolpakov Trio), yang juga terpengaruh oleh jejak migrasi musikalitas Gypsy. Pengaruh lain yang lebih kentara dapat ditilik pada musik flamenco Spanyol dan musik gypsy Hungaria yang dikenal dengan sebutan Csárdás dan Verbunkos (Csárdás, khususnya, memberi pengaruh pada komposer Hungaria seperti Franz Liszt dan Johan Strauss). Namun, kejutan yang diberikan Gypsy tidak berhenti pada musikalitas, tapi juga pada pengaruh modal dan instrumen. Gitar yang kita kenal sekarang tidak lain berasal dari [string instument] India yang dibawa dan dimainkan musisi Gypsy sepanjang perjalanannya. Gypsy jugalah yang memperkenalkan modal dalam musik (yang diterjemahkan oleh Nikolsky sebagai non-functional (static) harmony), yang menjadi dasar bagi jazz hingga blues yang kita kenal saat ini. Melihat luasnya pengaruh musikalitas Gypsy, sebuah bait Lorca yang berbunyi: At the heart of all great art is an essential melancholy. Dan tentu saja, tidak ada yang lebih melankoli dari nyanyian seorang Gypsy tentang senandung akan rembulan–”atap rumah” mereka.
Vittorio Monti – Csárdás
La Rumba – Arabic Con Sabor – (Gypsy Flamenco)
Gypsy violin – Repülj Feczem Es Verbunkos
Sumber Bacaan:
The Curse on the Gypsies, 2000, History Channel, Part 1 dan Part 2
Kendrick, D. 2007. Historical Dictionary of the Gypsies (Romanies). Maryland: The Scarecrow Press, Inc.
Nikolsky, A. Taxonomy of Tonal Organization of Modal Music.
kontak via editor@antimateri.com
beberapa catatan:
1. dokumenter dari history channel harus diteliti lebih jauh sebagai sumber referensi, dikalangan kritikus, channel tersebut terkenal sering memanipulasi narasi dan data. reliabilitasnya angin-anginan tergantung programnya.. sebagai contoh dokumenter pseudo-sains ancient aliens.
2. mengenai black plague, penelitian yang terbaru menyimpulkan bahwa berasal dari hewan marmot, tersebar melalui kontak seperti tikus, tetapi kecepatan penyebaran mengindikasikan bahwa pergerakan manusia sebagai penyebab penyebaran utama, mungkin dari pergerakan prajurit perang suci, para pedagang lintas daerah, dll.. lupa link nya, kalo ada butuh tar dicariin.. ato cari sendiri..