Kehadiran jajaran lukisan mitos Picasso bukanlah sebuah kejutan besar dalam dunia seni lukis. Ia tidak asing dengan gagasan Yunani Kuno ataupun Romawi Klasik, dan entah berapa karyanya yang lahir dari interpretasi sang Pelukis atas aliran tersebut. Namun publik seni dibuat gempar ketika pada awal musim gugur 1930, Picasso memulai seri sketsa berdasarkan mitos metamorphosis karya Ovid. Ternyata musabab kegemparan tersebut berakar pada tiga hal, yaitu: (1) aliran klasik bukanlah aliran populer kala itu–bahkan para pengamat (politik) lukisan berpandangan bahwa kembalinya Picasso ke aliran klasik dan meninggalkan gaya abstrak formalism adalah sebuah bentuk kemunduran[1]; (2) bahwa sketsa Picasso akan diterbitkan sebagai ilustrasi dalam buku terjemahan Ovid yang diterbitkan Albert Skira, pemilik perusahaan publikasi terkemuka di Perancis[2]; dan (3) kehadiran Henri Matisse, musuh bebuyutan sekaligus kawan baik Picasso, sebagai sosok yang mendorong lahirnya seri sketsa tersebut. Tapi bukan Picasso namanya bila tanpa kejutan. Satu tahun kemudian ketika Les Metamorphoses (1931) diterbitkan, interpretasi Picasso akan Metamorphoses berhasil membungkam kritikus sekaligus memberi sentuhan “modernitas” pada jajaran mitos klasik Ovid. Alhasil, melalui sketsanya Picasso menghadirkan sebuah jembatan lintas temporal yang menghubungkan antara konsepsi mitos era klasik dengan konsep imaji masyarakat awal abad 20. Namun kejutan tidak berhenti disana: dobrakan ide tentang “metamorphosis” hadir melalui guratan garis yang memunculkan impresi akan fleksibilitas dan perubahan. Hal ini merupakan sebuah kebaruan, karena sebelumnya mitos selalu digambar sedetil dan sepadat mungkin untuk memunculkan efek dramatis–seperti pada interpretasi Peter Paul Rubens atas Metamorphosis Ovid (contohnya Mercury, Argus and Io atau Procris and Cephalus) atau pada karya Peruzzi yang berjudul Deucalion and Pyrrha. Metamorphosis Picasso adalah kebalikannya: sketsanya begitu cair, seakan-akan perubahan bentuk (metamorphosis) hadir dihadapan mata. Florman (2000) menggambarkan bahwa metamorphosis karya Picasso menolak untuk masuk kedalam logika (imajinasi) baku. Melalui ilusi garis dan gerak Picasso memasukkan gagasan bahwa visi dari “subjek yang memandang”, juga merupakan bagian penting dalam pembentukkan interpretasi–karena merekalah yang menentukan gerak dari lukisan, bukan pelukis. Namun kejutan bentuk bukanlah yang utama (karena permainan garis bukan hal baru bagi Picasso), tapi pada keberhasilan Picasso dalam menterjemahkan eksposisi kekerasan yang bertebaran dalam karya Ovid menjadi emosi yang mampu bersentuhan dengan masyarakat masa kini. Picassso tidak mereduksi atau menghilangkan kekerasan–kematian dan brutalitas tetap ada disana–namun alih-alih sebagai sebuah kutukan, kekerasan dalam sketsa Picasso hadir tanpa beban. Orpheus, Andromeda, dan tokoh lainnya, tidak dilukis dalam kerangka hierarki absolut para dewa yang mustahil dibantah, namun sebagai tokoh yang menceritakan kisahnya sendiri: jujur dan murni. Melalui seri sketsa Metamorphoses, Picasso membuat gemas para oposisi yang berpandangan bahwa membuat interpretasi lukisan karya sastra klasik adalah sebuah pelanggaran (Dermee dalam Florman, 2000). Tapi justru karena merupakan bentuk pelanggaran maka Picasso dengan sengaja bermain-main dengan retorika “waktu” dan “kemurnian”–hanya untuk membuat kesal orang-orang “di seberang ruangan”.
Lukisan Mitos Picasso: Les Metamorphoses
Ovid (Bagian 1): Pengasingan dari Roma
Syair Epik Metamorphosis (Ovid Bagian 2)
Sumber Gambar dan Bacaan:
Florman, L. 2000. Myth and Metamorphosis: Picasso’s Classical Prints of the 1930s. Massachusetts: Massachusetts Institute of Technology Press.
Ovid. 1931. Les Metamorphoses terj. Georges Lafaye. Lausanne: Albert Skira.
Keterangan:
[1] Atas pandangan para kritikus, Picasso menyatakan: “Repeatedly I am asked to explain how my painting evolved. To me there is no past or future in art. If a work cannot live always in the present it must not be considered.”
[2] Pandangan Paul Dermée (1918) tentang interpretasi lukisan atas karya sastra lumayan sinis, menurutnya: “Literary painting or picturesque literature are symptoms of decadence. . . . In the great classical epochs, the independence and autonomy of each art was carefully safeguarded. Neither overlapping nor penetration: purity!”. Florman (2000) menggambarkan bahwa pandangan Dermee menjadi kesepakatan umum pada awal abad 20an.
kontak via editor@antimateri.com