Ah! You did not anticipate such perfection! – Frenhofer (Balzac, Le Chef-d’œuvre inconnu)
Seorang seniman (rasanya, atau mungkin saja–tapi entahlah, saya sendiri bukan seorang seniman), sedikitnya pasti pernah merasa kesal ketika publik menyatakan: ah, kami telah mengerti esensi karya anda!. Atau setidaknya Frenhofer pasti kesal. Tokoh dalam cerita pendek Balzac ini kemudian menghancurkan lukisannya dan bunuh diri ketika seorang junior salah mengartikan esensi dari lukisan-lukisannya. Ia dengan sinis menyatakan bahwa ketika sebuah karya seni dipahami publik, maka esensi karya tersebut telah hilang (dalam kata-katanya: Where is art? Lost, vanished!). Plot mengganggu ini menjadi semacam pengingat akan kutukan abadi bagi seniman dimanapun yang terjebak dalam paradoks antara menjaga kemurnian (melalui pengasingan diri), atau kesalahpahaman (berada di sorotan lampu dan diperlakukan semena-mena). Mungkin itulah mengapa seni pertama dilukis dalam relung gua terdalam (tidak juga sih, ini mengada-ngada saja). Mungkin pula ini alasan bagi Monet untuk melakukan penghancuran ego dalam lukisannya (sungguh, ini juga pernyataan mengada-mengada). Atau penghancuran perspektif seperti yang dilakukan oleh Picasso dalam rangkaian litograph berjudul “Le Taureau”, (The Bull) yang dilukisanya pada kisaran desember 1945 hingga Januari 1946. Terkait karya Picasso satu ini, beragam analisis (mulai dari yang akademis hingga analisis (?) anarki seperti yang tengah anda baca ini) telah ditulis melalui beragam media. Beberapa menyatakan bahwa “The Bull” adalah alterego Picasso. Yang lain menyatakannya sebagai upaya Picasso untuk menggali sisi primitif dari seorang pelukis (dengan membandingkan lukisan Picasso dengan lukisan banteng primitif di gua-gua Altamira). Sedangkan analisis lain menjelaskan “The Bull” dalam kacamata Darwinian sebagai fase evolusi dalam seni modern. Terdapat pula sejarawan seni yang menggambarkan upaya Picasso untuk memereteli seni, untuk bersentuhan kembali dengan sisi “unartistic”, sebuah upaya yang perlu dilakukan ketika perkembangan seni yang ada malah membawa dampak sebaliknya (baca: degradasi). Ada juga yang menyebutnya sebagai eksposisi seksualitas dan maskulinitas. Tidak ketinggalan pembacaan dari sisi satir sosial yang memandang bahwa “The Bull” merupakan upaya Picasso untuk melakukan reformasi dari institusi (seni) dan seluruh aparatnya. Dari beragam pembacaan di atas, tergambar sebuah realita brutal seorang seniman: bahwa semakin genius seorang seniman, semakin rentan pula karyanya disalahpahami. Mungkin karena itulah Picasso memberikan sebuah keterangan terkait lukisan bantengnya: “A picture used to be a sum of additions. In my case a picture is a sum of destructions”. Dengan kata lain, terserah publik mau melakukan penghancuran (baca: interpretasi) seperti apa, toh esensi “The Bull” sudah dihancurkan terlebih dahulu oleh sang seniman.
kontak via editor@antimateri.com
Yes itulah esensi cukup dengan penghancuran perspektif