Pada mulanya tak banyak yang saya ketahui tentang AS Dharta, dibandingkan dengan pengarang Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) lainnya seperti Agam Wispi dan Pramoedya Ananta Toer. Tentu, hal itu tidak terlepas dengan stigma buruk yang secara intensif diciptakan sepanjang sejarah pemerintahan Orde Baru dan sesudahnya, kepada para penulis Lekra dan eks-anggota PKI (Partai Komunis Indonesia). Sehingga sulit sekali—terutama bagi saya yang hanya hidup di sekitar kampus—untuk mendapatkan buku-buku karya sastra yang dihasilkan oleh para pengarang Lekra.
Saya pun mengenalnya setelah salah satu kawan saya di kampus, Ubaidilah Muchtar, meminjamkan buku antologi puisi AS Dharta yang berjudul Rangsang Detik, kumpulan sajak dari tahun 1949-1957 yang diterbitkan oleh Mata Pusaran, tahun 2007—yang sebenarnya pada sampul buku itu tertulis nama Klara Akustia, salah satu nama pena dari sekian banyak nama penannya. Saya membacanya dengan penuh antusias, hingga saya tertarik untuk mencari informasi lebih lanjut mengenai kehidupan sang pengarang.
Apa yang saya dapatkan dari beberapa catatan mengenai kehidupannya—khususnya dari tulisan-tulisan Budi Setiyono dalam buku antologi puisi Rangsang Detik dan di halaman blognya—telah membuat saya kagum pada sosoknya. Ia merupakan salah satu pengarang yang konsisten memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan sepertihalnya para pengarang Lekra lainnya. Karena itulah, ia banyak terlibat dalam aktivisme politik, khususnya pada masa kolonial. Ia pernah menjadi wartawan Harian Boeroeh di Yogya dan menjadi pemimpin serikat buruh seperti Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Ia juga dikenal sebagai orang penting yang mendirikan Lekra bersama M.S. Azhar dan Njoto pada tahun 17 Agustus 1950, yang selalu dianggap sebagai bagian dari PKI, yang pada kenyataannya keliru.
Waktu itu AS Dharta ditunjuk untuk menjabat sebagai sekjen (sekertaris jenderal) sekaligus redaktur Zaman Baru, penerbitan resmi Lekra. Pada tahun 1955, PKI menawarinya untuk mencalonkan diri sebagai anggota Konstituante lewat calon-tak-berpartai.1 A.S. Dharta menerima tawaran tersebut, meski dengan sedikit ragu. Sebab ia tahu hanya dengan menempuh jalan itulah cita-citanya yang luhur untuk memperjuangkan rakyat tertindas menjadi mungkin. Meskipun pada beberapa tahun berikutnya, ia dikeluarkan dari Lekra akibat hubungannya dengan seorang perempuan yang telah memiliki suami. Ia menyebutnya sebagai “kemesuman borjuis”.
Pada tahun 1958 jabatannya sebagai sekjen dicabut dan digantikan oleh Djoebar Ajoeb. Sekaligus keanggotaannya di Konstituante, hingga ia menyesali perbuatannya itu. Setelah peristiwa pencabutannya sebagai sekjen Lekra, ia pulang ke kampung halamnnya. Di sana selain ia masih tetap menulis sajak, AS Dharta juga mengajarkan bahasa Inggris pada masyarakat sekitar. Pada tahun 1962, bersama Hendra Gunawan, AS Dharta mendirikan Universitas Kesenian Rakyat di Bandung. Waktu itu Presiden Soekarno juga datang dalam acara peresmiannya dan mengatakan bahwa ini universitas pertama di Indonesia dalam bidang humaniora.2 Hanya saja universitas yang didirikannya bersama Hendra, tak dapat bertahan lama. Hal itu terjadi akibat meletusnya peristiwa Gestapu 1965 yang diprakarsai oleh Jendral Soeharto hingga memakan puluhan juta korban manusia dalam sejarah Indonesia—yang kebanyakannya adalah orang-orang yang diduga anggota PKI. AS Dharta ditangkap dan dipenjarakan di Kebonwaru, Bandung, oleh pemerintahan Orde Baru tanpa pernah diadili dan tak jelas apa salahnya.
Selepas dari penjara, pada tahun 1978, ia kembali ke tempat masa kecilnya dan hidup bersama keluarga tercintanya dalam rumah yang sangat sederhana di daerah Cibeber, Cianjur Jawa Barat. Sebagai seorang penulis yang cukup produktif, AS Dharta hidup dalam pengasingan. Hampir selama 42 tahun masa hidupnya, setelah meletusnya peristiwa Gestapu 1965, ia diasingkan sepertihalnya para pengarang Lekra lainnya. Hanya beberapa kawannya saja yang secara rutin datang mejenguknya—salah satunya penulis Budi Setiyono—sekaligus untuk berdiskusi mengenai sastra, budaya Sunda, dan politik. Setelah itu ia kembali dalam kesendirian yang panjang, menghabiskan sisa-sisa hidupnya dengan membaca, menulis, bekerja, dan juga melakukan kegiatan pengajian dengan masyarakat sekitar.
Pada masa-masa sulit seperti itu, ia tak pernah berhenti bekerja untuk kemanusiaan juga untuk kebudayaan Sunda yang sangat ia cintai. Ia adalah seorang penyair yang juga menulis sajak-sajak sunda. Menurut salah satu sastrawaan Sunda Rachamatullah Ading Affandie (disingkat R.A.F), mengatakan bahwa “Dharta lah yang pertama kali mendeklamasikan sajak bebas Sunda, juga dalam perkembangan bahasa dan sastra Sunda setelah perang, Dharta tergolong yang mencintai bahasa dan sastra Sunda”.3 Sayangnya, tak banyak yang mengetahui hal ini, khususnya para akademisi sastra Sunda dan pendekar kebudayaan kita. Bahkan menurut R.A.F, AS Dharta sejajar dengan Achdiat Kartamihardja, Utuy Tatang Sontani, Rusman Sutiasumarga, Rustandi, hingga Ajip Rosidi, yang sampai saat ini masih dijadikan patron dalam sastra Sunda.
Budi Setioyono juga mengatakan bahwa AS Dharta sempat menulis Kamus Bahasa Sunda-Indonesia untuk menyambut permintaan kedua tokoh Sunda, yaitu Atje Bastaman dan Moh. Kurdi alias Syarief Amin. Sebelum akhirnya Dharta wafat pada tanggal 7 Februari 2007. Hingga pekerjaannya itu terhenti dan masih menyisakan enam abjad terakhir yang harus diselesaikan. Kelak keluargannya sangat berharap ada yang berkenan meneruskannya dan menerbitkannya.
Selain menulis sajak, AS Dharta juga menulis novel, esai, kritik sastra, dan catatan perjalanan. Walaupun novelnya yang berjudul Keringat keburu dimusnahkan oleh pemerintahan Jepang. Esainya yang berjudul “Angkatan ’45 Sudah Mampus” dengan menggunakan nama penanya yang lain yaitu Jogaswara, dimuat di majalah Spektra 1949, semakin melambungkan namanya sebagai seorang sastrawan, disebabkan esai itu sempat menggemparkan dunia kesusastraan pada masanya.4 AS Dharta memang memiliki nama pena yang cukup banyak—seperti yang telah disebutkan di paragaf awal. Entah kenapa Dharta menggunakan nama pena yang berbeda-beda.
Namun seperti yang telah dikatakan oleh sastrawan Asep Sambodja bahwa di antara ketiga nama samaran itu (Klara Akustia, Jogaswara, dan AS Dharta), sama-sama menonjol dalam khazanah sastra Indonesia ketimbang nama aslinya. AS Dharta pun dikenal sebagai sosok yang tegas dan tak kenal kompromi, terutama kepada lawan politiknya. Kritiknya yang mendalam dan tajam, yang juga terkadang sangat ekspresif, selalu membuat lawan politiknya naik pitam. Hingga pada tahun 1959-1965 terjadi polemik kebudayaan yang sudah tidak asing lagi di telinga kita, yaitu polemik antara sastrawan dan seniman Lekra dengan Manikebu (Manifes Kebudayaan).
Kemudian dengan nama Klara Akustia, ia menulis esai panjang yang berjudul “Kepada Seniman Universal” yang ditujukan untuk HB. Jassin, dimuat di majalah Lekra, nomor khusus menyambut Kongres Kebudayaan Indonesia 1951. Bagi Dharta yang percaya pada “realisme sosialis” mengatakan bahwa “kesusastraan tidak bisa terlepas dari kondisi sejarah dan masyarakatnya, juga bahwa seorang sastrawan tak mungkin dan tak bisa berdiri netral.”5
AS Dharta sangat mengecam HB. Jassin yang menawarkan konsep “humanisme universal” yang cenderung narsistik dan apolitis. Sikapnya yang berpihak pada rakyat tertindas ini, bahkan ia wujudkan dalam keseluruhan karyanya. Sajak yang berujudul “Antara Bumi dan Langit”adalah sebuah sajak yang ditujukan untuk HB Jassin.
Selain jiwanya yang revolusioner, hingga ia sangat disenangi oleh teman-temannya dan dinilai sebagai orang yang tak tergantikan, AS Dharta juga termasuk orang yang romantis. Menurut Ajip Rosidi dalam Mengenang Hidup Orang Lain, nama penanya Klara Akustia adalah nama panggilan kesayangan untuk istri Dharta, Klara, yang sebenarnya bernama Aini. Namun istri tercintanya itu dibawa lari orang Belanda. Maka untuk membuktikan bahwa Dharta tetap setia kepada istrinya, ia gunakan nama Klara Akus(e)tia.6 Mungkin pendapat yang dikemukakan Ajip itu ada benarnya, meski nampak kurang meyakinkan.
Keromantisan AS Dharta tak hanya terlihat dalam penggunaan nama penanya saja yang sangat beragam, tapi nampak juga dalam sajak-sajaknya seperti “Candradimuka”, “Rukmanda”, dll. Hanya saja yang harus dipahami di sini, mungkin pemahaman romantik yang bukan pseudo-romantik, tetapi romantisme yang revolusioner. Karena pada akhirnya, segala bentuk romantisme adalah bagian dari realitas dan realitas di satu sisi merupakan efek dari kerja. Sehingga, seperti yang telah diungkapkan oleh Budi Setiyono, bahwa semasa hidupnya AS Dharta selalu berseru “kerja dan kerja untuk masyarakat”, demi hari esok yang lebih baik dari hari ini.
_____________________
1Dari tulisan Budi Setiyono, sebuah prolog dalam buku “Rangsang Detik “, hal 16. Penerbit Mata Pusaran, 2007.
2Dari tulisan Budi Setiyono, sebuah prolog dalam buku “Rangsang Detik”, hal 17. Penerbit Mata Pusaran, 2007.
3Sumber tulisan Budi Setiyono yang berjudul “Selamat Jalan Sastrawan Sunda”, diakses pada 7 Maret 2016.
4Asep Sambodja dalam bukunya “Asep Sambodja Menulis Tentang Sastra Indonesia dan Pengarang-Pengarang Lekra”. Bandung, Ultimus: 2011.
5Majalah Horison No. 9 tahun 1982, dengan artikel yang berjudul “Realisme Sosial dan Humanisme Universal: Sastra Indonesia 1959-1965” oleh Abdul Hadi W.M., hal 245.
6Sumber Seri Buku Tempo, “Lekra Dan Geger 1965”, hal 22-23. Jakarta, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2014.
Catatan Editor:
Artikel ini tidak sepenuhnya merefleksikan opini editor ataupun direksi antimateri. Penulis dapat dihubungi melalui dedisahara24@gmail.com
Artikel ini telah dimuat sebelumnya dengan judul “Membaca A.S. Dharta: Sosok Revolusioner yang Romantis pada Buruan.co, dimuat kembali pada antimateri atas permintaan penulis