Dalam memetakan alam bawah sadar manusia, Carl Jung membedakan dua pola dasar: animus dan anima. Animus adalah sifat maskulin dalam sisi bawah sadar wanita, sedangkan anima merupakan sifat feminim dalam sisi bawah sadar seorang pria. Jung menganggap keduanya memberikan andil dalam pembentukan keseimbangan personal seorang individu (keseimbangan yang terbentuk karena kebijaksanaan tertinggi merupakan gabungan atas sifat maskulin dan feminim dalam diri seseorang). Namun kesadaran akan animus dan anima memiliki sisi lain – Jung mengungkapkannya dalam buku berjudul Men and his Symbols (1978), – “they can bring life-giving development and creativeness to the personality, but also can violate soul”. Melalui sudut pandang Jung tentang anima inilah Derek Jarman membangun interpretasinya atas seorang pelukis kenamaan Italia yang terlahir di akhir abad 16: Michelangelo Merisi de Caravaggio. Dalam filmnya yang berjudul Caravaggio (1986), Jarman menampilkan sosok lain dari sang pelukis yang dikenal kasar, – ia digambarkan “penuh keragu-raguan puitis yang tidak terbatas”. Poin ini berbeda dari pandangan Giovanni Baglione, penulis biografi Caravaggio yang menggambarkannya sebagai sosok berdarah panas, kasar, tidak terpelajar, (dan bahkan tidak bisa melukis!). Baru saya ketahui kemudian bahwa Giovanni Baglione adalah kompetitor Caravaggio dalam dunia lukis di awal era Baroq Italia, kenyataan inilah yang membangkitkan keraguan bagi setiap penikmat lukisan Caravaggio: karena jangan-jangan biografi tersebut adalah bentuk balas dendam Baglione untuk kekalahannya dalam mendapatkan posisi “pelukis paling terkenal di Roma” – gelar yang pada akhirnya melekat pada nama besar Caravaggio. Berbeda jauh dari gambaran Baglione, dalam perspektif Jarman sisi kasar Caravaggio adalah konsekuensi atas kehadiran anima yang memberikannya kepekaan untuk mengenali kegelapan hingga titik yang paling ekstrem. Kegelapan yang dalam lukisan baroque Caravaggio, hampir menyerupai religiusitas.
The dark is invading, “esse in anima”…to be a violate soul (Caravaggio)
Pandangan lain atas Caravaggio diungkap oleh Gian Pietro Bellori, seorang kritikus terkemuka di abad 17 yang menggambarkan Caravaggio sebagai “classical-idealist”. Dalam bukunya yang berjudul Vite de’Pittori, Scultori et Architetti Moderni yang terbit pada tahun 1672, Bellori mengungkapkan peran penting Caravaggio sebagai salah satu pelopor gerakan Baroq – sebuah gerakan artistik, yang kemunculannya di Italia diusung oleh Gereja sebagai bentuk counter–reformation melalui seni (lukisan, arsitektur, dan musik). Dengan dana yang dikucurkan oleh Gereja, para pelukis, arsitek dan musisi berbondong-bondong untuk menghasilkan produk seni yang mampu membangkitkan kembali emosi relijius masyarakat saat itu. Memasuki awal abad 17 (tahun dimana era Baroq mulai mengemuka), lukisan religius Caravaggio berada di garis depan dengan Cardinal Francesco Maria del Monte dan Alof de Wignacourt sebagai patronnya – sehingga terlahir lah sejumlah lukisan altarnya yang terkenal: The Inspiration of St Matthew, The Seven Works of Mercy, Crucifixion of Saint Peter, The Conversion of Saint Paul, hingga salah satu yang lukisan altar paling kontroversial The Beheading of Saint John yang berada di Katedral Saint John, Malta. Bellori menyebut Caravaggio sebagai pelukis yang membangkitkan kembali Kristianitas di jalanan kota Roma – ungkapan ini didasarkan pada gaya lukisan religius Caravaggio yang khas, karena walaupun menggambarkan tokoh biblikal, ia tidak pernah melepaskan gagasan religinya dari kerangka kehidupan (salah satunya ditunjukkan dalam The Calling of Saint Matthew, dimana alegori pemanggilan Saint Matthew disandingkan dengan kehidupan keseharian para petugas pajak di kota Roma, atau dalam penggambaran Mary Magdalen in Ecstasy yang ia pereteli sakralitasnya – sebuah sudut pandang yang jarang digunakan untuk menggambarkan tokoh biblikal). Walaupun kebanyakan dari lukisan biblikal Caravaggio dibiayai dan disetujui oleh Cardinal del Monte (dan Gereja lain yang memajang lukisannya baik di Naple ataupun di Malta), namun tidak sedikit yang mencemooh gaya teater jalanannya dan menuduhnya anti-christ (terutama di kalangan pelukis saingannya). Atas tuduhan tersebut Caravaggio tidak memberikan jawaban, mungkin karena memang tidak ada kesempatan, karena pada tahun 1606, ia melarikan diri dari Roma atas insiden pembunuhan yang dilakukannya.
Insiden pembunuhan yang dilakukan Caravaggio atas Ranuccio Tomassoni menyeretnya pada dakwaan hukuman mati, namun ia berhasil melarikan diri dan mendapatkan perlindungan di Naple, kota yang berada diluar yurisdiksi Roma. Tapi ternyata, statusnya sebagai buronan malah semakin melejitkan namanya. Lukisannya semakin dicari, dan tidak ada satupun lukisan altarnya yang diturunkan – sehingga Caravaggio adalah satu-satunya buronan yang memiliki koleksi lukisan religiusitas mentereng di gereja-gereja besar di Roma. Kontradiksi ini lantas memunculkan perdebatan tentang paradoks moral Caravaggio, karena mustahil seseorang yang mampu menghayati Kristus dapat melakukan tindakan keji seperti pembunuhan (dan sodomi, yang dituduhkan kemudian). Namun lagi-lagi suara miring yang diarahkan pada sang pelukis harus tunduk pada kekuatan estetika lukisannya, dan istilah “judge the art not the artist” berlaku sebagai konvensi publik atas lukisan baroque Caravaggio. Tapi nampak ada yang janggal dalam kesepakatan publik tersebut: karena bagaimanapun, seni, terlebih seni lukis tingkat tinggi sekelas lukisan Caravaggio, tidak mungkin hadir dalam ruang kosong – dalam arti, seni bukan dihasilkan oleh tangan, tapi oleh jiwa. Gambaran ini menghantarkan kembali pada interpretasi Jarman tentang Caravaggio: ia bukanlah seorang begundal jalanan yang kebetulan memiliki bakat melukis sebagaimana diasumsikan warga Roma kala itu, tapi merupakan seorang pelukis, yang dalam proses penciptaan karyanya bersinggungan dengan sisi gelap manusia – esse in anima, adalah tulisan yang ia sembunyikan dibalik lukisan Martyrdom of Saint Matthew – sebuah persinggungan, yang menurut Jung “can cause petrification and physical death”. Seorang pelukis jalanan mungkin saja mampu melukis prosesi penurunan Kristus dari salib dengan baik, namun dibutuhkan seorang maestro untuk menjadikannya sublim sebagaimana ia gambarkan dalam lukisan The Entombment of Christ.
Pemilihan gaya, ditambah dengan penataan kontras antara cahaya dan kegelapan pekat, membuat lukisan Caravaggio tidak seperti lukisan Baroq pada umumnya. Walaupun saat ini Caravaggio dikenal sebagai salah satu pilar Baroq Italia, namun ia memiliki pandangan sinis tentang gaya Baroq yang dianggapnya terlampau berlebihan dan murahan. Pandangan ini ia realisasikan dalam sebuah lelucon “terselubung” di Chapel Cerasi di Roma – pada Chapel tersebut terpampang lukisan Assumption of the Virgin Mary karya Annibale Carracci yang lengkap dengan segala kemegahan Baroqnya, namun disebelah kanannya terpampang lukisan Conversion of Saint Paul karya Caravaggio (yang bila kita sandingkan, maka keledai yang ditunggangi Santa Paul, tepat membelakangi lukisan Carracci – dengan kata lain, Caravaggio membokongi gaya Baroq, secara harfiah). Pembeda lain antara lukisan baroque Caravaggio dengan pelukis lainnya seperti Peter Paul Rubens, Diego Velázquez, hingga Pietro da Cortona, adalah dalam pengambilan sudut pandang. Jika seni Baroq pada umumnya berbicara tentang kemegahan religi, maka Caravaggio lebih berbicara tentang religiusitas dari sudut pengorbanan. The Seven Works of Mercy dinyatakan sebagai puncak dari alegori pengorbanan relijius bagi Caravaggio yang dilukisnya pada tahun 1607, tiga tahun sebelum kematiannya – namun tanpa disangka-sangka terdapat kejutan lain dalam narasi pengorbanan Caravaggio yang ditampilkan melalui David with the Head of Goliath.
Lukisan ini merupakan salah satu lukisan baroque Caravaggio terakhir sebelum kematiannya di sebuah desa kecil di Porto Ercole (rekaman kematian menyatakan bahwa ia dibunuh dengan menggunakan racun). David with the Head of Goliath adalah sebuah potret diri, karena terlihat dengan jelas wajah sang pelukis dalam refleksi agoni Goliath. Lukisan ini diinterpretasikan sebagai simbol atas penyerahan diri dan penebusan dosa Caravaggio kepada penguasa Roma (dan memang di saat terakhirnya ia berencana kembali ke Roma, namun meninggal di tengah perjalanan). Mungkin karena itulah lukisan-lukisan yang dihasilkannya selama masa pelarian selalu bertema pengorbanan – sebagai metafora untuk penebusan dosa. Gambaran ini sungguh tidak cocok dengan tudingan Baglione yang menyatakan bahwa lukisan Caravaggio adalah pemenuhan kebutuhan material semata. Immanuel Kant dalam Critique of Pure Reason menyatakan bahwa puncak estetik adalah ketika jiwa mampu bersentuhan dengan klaim universal – dan penebusan dosa adalah satu diantaranya.
kontak via editor@antimateri.com