Escaping Sounds kali ini berkutat dengan kolaborasi dan eksplorasi sang epitome musik teksturial: Johnny Marr
“Only Morrissey won’t do, we need Marr!!”–ungkap seorang kawan ketika kami tengah membaca berita soal Morrissey yang akan menggelar tour di negeri tetangga dalam waktu dekat. Komentar tersebut merupakan imajinasi liar. Tentu saja, karena The Smiths, band dimana kedua musisi berkiprah, bubar dengan meninggalkan rasa pahit di lidah. Namun saya harus setuju, Morrissey tanpa Marr rasanya kurang lengkap; namun sebaliknya, Marr sendiri adalah musisi yang “self-sufficient”–ia adalah epitome gitar melodius era 1980an dengan signatur ‘sound’ tersendiri. Oleh karenanya, ketika “Only Morrissey won’t do”, “we’ll be doing just fine with only Marr”. Tapi dimanapun, selera musik adalah subjektif; sehingga tidak aneh jika komentar di atas berada pada sisi minoritas mengingat kiprah Morrissey paska The Smiths yang jauh lebih mentereng dari pada bandmates-nya, bukan cuma Marr. Hanya saja, bagi para pecandu melodi ritmis Marr seperti saya, tidak ada yang lebih menggugah daripada menggali karya sang musisi paska The Smiths, band yang menempatkan namanya di jajaran musisi legendaris Britania. Untungnya, kiprah Marr sebagai musisi session membuat karnyanya bertebaran dimana-mana; ia berada di samping Bryan Ferry dalam karya solo sang vokalis Roxy Music tersebut, juga berada di belakang album Naked karya Talking Heads, juga kolaborasinya dengan Pet Shop Boys, Jane Birkin hingga Beck, hanya segelintir dari ragam kolaborasi yang dilakukan oleh sang gitaris legendaris. Namun, walaupun bersinggungan dengan banyak genre, karya-karya Marr tetap memiliki kesan khas yang tidak berubah: senantiasa subtil, tapi sekaligus memberikan tekstur berlapis pada setiap gubahan yang ia hasilkan. Signatur musikalitas Marr semakin kuat pada beberapa band yang ia gawangi, mulai dari 7 Worlds Collide, Modest Mouse hingga The Cribs. Marr merilis debut solonya pada 2013 bertajuk The Messenger. Selanjutnya ia merilis Playland (2014), Call the Comet (2018) dan Fever Dreams Pts.1-4 (2022). Secara personal, project Marr bersama The Cribs memiliki tempat tersendiri–ia memberikan jukstaposisi unik antar dua era: melodi 80an dalam balutan indie pop Inggris era 2000an. Sedangkan untuk karya solo, album Playland memiliki kesan tersendiri: atmospheric sekaligus rithmic, dua kata yang ironis sebetulnya, mengingat Marr menggubah Playland hanya untuk mengusir “rasa bosan”. Namun terdapat satu hal yang membedakan karya Marr paska The Smith: bahwa emosi disajikan dalam karya-karya Marr hadir dalam bentuk teksturial musik, bukan lirik yang abusive. Signatur musikalitas inilah yang memberi penegasan (sekali lagi) bahwa: yes, we’ll be doing just fine with only Marr :p.
Sumber Gambar: Loud and Quite
kontak via editor@antimateri.com