Oxymoron adalah sebuah kata populer yang jarang dipahami maknanya – kata ini seringkali dieksploitir ketika seseorang membutuhkan istilah canggih dengan harapan membuat orang lain terkagum-kagum. Tanpa harus memahami maknanya, seseorang dapat berucap “oxymoron” (atau oxymora/oxymorons dalam bentuk jamaknya) tanpa dimintai pertanggungjawaban – ia dianggap telah membaca bertumpuk-tumpuk buku filsafat, ideologi dan tata bahasa – alhasil, tidak ada yang berani bertanya, “apa maksud sampeyan dengan oxymoron?”. Keengganan bertanya setidaknya muncul dari dua landasan: karena akan memunculkan prasangka bahwa si penanya kurang intelek (yang begitu saja kok tidak paham!), atau karena kemalasan akut untuk berfilsafat, sehingga kata oxymoron, dibiarkan menjadi klise begitu saja – ada, namun kabur maknanya.
Kemalasan untuk memahami arti dari sebuah kata (baca: oxymoron) inilah yang menjadikan kita tidak hirau ketika gejalanya muncul nyata didepan mata. Koran, media massa, jejaring sosial bahkan obrolan warung kopi, mendadak dihinggapi fenomena oxymoron – namun karena kata oxymoron begitu asing[1], maka tidak disadari ketika obrolan mengarah pada bentuk oxymoron-itas. Adapun asal muasal oxymoron-itas yang terjadi belakangan adalah kemunculan kembali istilah benevolent dictatorship (diktator untuk kepentingan rakyat) dan benign authoritarian (otoriter jinak) – dua kata yang tidak disangka-sangka dapat muncul kembali dalam khasanah perpolitikan nusantara. Kedua kata ini pernah dikaitkan dengan trauma bangsa yang selama tiga puluh dua tahun dihimpit beban otoritarian – yang kini dihidupkan kembali: mungkin karena rindu dan nostalgia, yang didalamnya ada semacam kenangan getir-getir manis – sebuah kenangan yang lagi-lagi bersandingan dengan konsep oxymoron-itas.
Oxymoron sendiri berasal dari bahasa yunani yang maknanya terbentuk dari gabungan dua kata kontradiktif: Oxy artinya tajam (dengan makna konotatif “pintar”) yang digabungkan dengan kata moros yang artinya lambat atau bodoh. Melalui sandingan ini, kata oxymoron yang dengan sendirinya bermakna kontradiktif, kerap digunakan untuk membangun sebuah gambaran tentang hal yang juga mengacu pada kontradiksi – seperti frase “getir-getir manis” diatas, yang secara metafora memunculkan gambaran (dan juga efek psikologis) bahwa dalam kenangan getir dan pahit terkadang muncul rasa manis yang berujung rindu didalamnya. Oleh karena kekuatan paradoksnya, maka bentuk frase oxymoron banyak digunakan oleh para pujangga, pembuat lirik, dan perangkai kata lainnya untuk menggambarkan sesuatu yang bertolak belakang, atau bahkan mengungkap ironi, seperti frase “love sick” dalam judul lagu Bob Dylan atau “the sound of silence” dalam judul lagu Simon and Gerfunkel – sehingga dapat dikatakan, oxymoron sebagai seni merangkai kata adalah keindahan tersendiri jika berada ditangan orang yang tepat. Namun ketika digunakan sebagai bentuk pembenaran gagasan atau pemelintiran makna ideologis, maka urusan jadi lain.
Sayangnya, pada bentuk kedua inilah, oxymoron muncul dihadapan kita – melalui kemunculan kembali wacana benevolent dictatorship dan benign authoritarian, yang keduanya jelas-jelas jauh dari bagun puitis. Benevolent memiliki padanan arti “baik hati”, digunakan sebagai sandingan kata sifat dalam sebuah kediktatoran. Kediktatoran sendiri mengacu pada pola kepemimpinan dalam pemerintahan otoriter – dictatus adalah asal katanya, memiliki makna memerintah dengan kekuasaan mutlak. Dan ketika dua kata diatas – baik hati dan kediktatoran – digabungkan, persepsi yang diharapkan muncul adalah: sebuah pemerintahan yang mengatur segala, dengan kekuasaan mutlak yang dimilikinya, bertujuan tidak lain untuk kepentingan rakyat. Namun, ada sesuatu yang janggal dalam pernyataan tersebut, bahwa kata “mengatur” selalu berujung pada konsekuensi “hilangnya kebebasan” – sebuah gambaran oxymoron lantas mengemuka: bahwa sebaikhati apapun diktator, ia tetap adalah diktator. Salah satu upaya pembenaran atas keberadaan “diktator baik hati” dikemukakan oleh Joseph Goebbels dalam pidatonya berjudul Wesen und Gestalt des Nationalsozialismus (Formasi dan Bentuk Nasionalsosialisme) sebagai berikut[2]:
“One frequently hears the idea expressed: ‘National Socialism wishesh to establish a totalitarian state!’. This is a great mistake, for National Socialism does not strive for totality and dictatorship of state, but for the totality of idea: that is, complete prevalence of that way of looking at things for which we have been fighting during the last decade and which we have been brought to victory!.”
Dalam pidato tersebut, Goebbels disambut tepuk tangan meriah dari para kader partainya – sebuah tepuk tangan yang didasari oleh kecintaan buta atas totalitas ide: tidak ada yang lebih penting daripada kemenangan negara. Melalui retorikanya, rejim ini berhasil memunculkan gagasan bahwa untuk kebaikan negara dan rakyat, otoriter dan kediktatoran adalah jalan yang harus ditempuh, melalui sebuah kepemimpinan yang “baik hati”, melindungi seluruh anggota partai, kader – dan ras arya, dalam kasus Nazi – namun berlaku kejam bagi kelompok yang berseberangan dengan “totalitas ide” yang diusung oleh rejim yang berkuasa. Melalui kebijakan yang diusung Nazi, sejarah berhadapan dengan sebuah penyeragaman yang memakan banyak korban – sehingga pada rentang inilah, bentuk oxymoron paling gamblang dapat kita temukan: yaitu ketika konsep benevolent dictatorship digunakan sebagai pemelintiran makna kediktatoran bagi rejim otoriter Hitler.
Namun bentuk benevolent dictatorship tidak lantas hilang bahkan setelah melihat kekejaman Nazi. Sejarah ternyata berulang, baik dalam bentuk lelucon atau tragedi[3] – dan dalam kasus benevolent dictatorship, Bernard Shaw menyatakan bahwa manusia seringkali tidak belajar dari sejarah hingga tragedi tercatat lebih banyak daripada lelucon. Paska perang dunia II, beberapa rejim pemerintahan disandingkan dengan pola pemerintahan ini, diantaranya Joseph Broz Tito di Yugoslavia, Mustafa Kemal Ataturk di Turki dan Soeharto di Indonesia[4]. Ketiga rejim ini memiliki kesamaan: mereka populer di masyarakat karena dianggap dapat memenuhi kesejahteraan, namun brutal terhadap oposisi. Bentuk represi ini didukung oleh konsep lain yang juga muncul dalam gegap gempita politik saat ini, yaitu benign authoritarian, rejim otoriter jinak yang tidak melukai rakyat. Konsep ini lagi-lagi merupakan oxymoron dengan sendirinya karena berpijak pada dua hal yang bertolak belakang: bentuk pemerintahan otoriter, dimanapun, mengacu pada empat karakteristik, yaitu akses politik terbatas, kekangan terhadap pluralitas, legitimasi atas dasar represi, dan kekuasaan mutlak pemerintahan eksekutif[5] – yang kemudian disandingkan dengan sifat “jinak”, sebuah kata untuk menggambarkan “kekangan atas hasrat keliaran” yang suatu saat bisa muncul kembali.
Di Indonesia sendiri, sisa-sisa luka rejim diktator “baik hati” orde baru masih belum sepenuhnya terobati – kita ingat bagaimana bangsa ini masih juga dihantui mimpi buruk pada malam 30 September setiap tahunnya. Namun, entah datang darimana, tiba-tiba nostalgia akan manis-getir rejim otoriter masa lalu kembali mengemuka – sebuah pertanyaan retorik, tentu saja, karena sungguh jelas bagaimana hiruk pikuk oxymoron ini bermula. Penerimaan atas logika “bahwa Indonesia masih membutuhkan rejim otoriter jinak” merupakan sebuah kemunduran atas pemahamanan ke-Indonesia-an itu sendiri – multikulturalisme dan pluralisme yang telah susah payah dibangun dalam rentang enam belas tahun akan runtuh seketika. Juga penyangkalan kapasitas rakyat untuk berkehendak atas dirinya sendiri, karena rejim bentuk ini akan senantiasa mengatur “mana yang baik dan mana yang tidak” atas versinya sendiri. Di sisi lain kita akan selalu berhadapan dengan ketidakpastian, karena bagaimanapun benign authoritarian adalah sebuah pemerintahan bermuka dua, yang terang di satu sisi dan gelap di sisi lain – sebuah resiko yang harus dibayar dengan kemungkinan akan terulangnya sebuah tragedi kebangsaan. Dan apa yang tersisa dari kemunculan [kembali] rejim diktator baik hati hanyalah ungkapan Bernard Shaw tentang kegagalan memahami sejarah yang diterjemahkan dalam kamus bahasa anak muda gaul saat ini – bahwa balada diktator “unyu-unyu” akan terulang sebagai bentuk lelucon yang “ngeri-ngeri gemes”.
Keterangan:
[1] kata “asing” digunakan untuk menggambarkan apa saja yang berada diluar jangkauan nalar
[2] Goebbels, Joseph, “Wesen und Gestatlt des Nationalsozialism”, dalam Sargent, Lyman Tower, 1990, Contemporary Political Ideologies, Wadsworth, California, hal. 239
[3] Kutipan Karl Marx: “Sejarah berulang, yang pertama lelucon, yang kedua adalah tragedi”
[4] Russel, Shawn, 2012, “The Benevolent Dictatorship in Rwanda: Negative Government, or Positive Outcomes?” dalam The Applied Anthropoligies, Vol. 3, No. 1, hal. 20
[5] Handenius, Axel dan Jan Teorell, 2006, Authoritarian Regimes: Stability, Change, and Pathways to Democracy, Kellog Institute, hal. 7
kontak via editor@antimateri.com
ngeri-ngeri sedap kalau istilahnya opa batuapi, eh maksudnya batugana heuheuheuheu :p
sungguh menggelitik pikiran