Kesunyian ganjil dalam Lukisan ruang Vilhelm Hammershoi telah menjadi obsesi bagi saya sejak pertama kali mengenalnya melalui sebuah film dokumenter tentang Denmark (Once Upon a Time in Denmark) yang diproduksi oleh BBC pada tahun 2016. Andrew Graham-Dixon, Sang Narator, menyebutnya sebagai representasi identitas nasional: Denmark, negara dengan mimpi yang terkoyak. Penggambaran tersebut tentu bukan hal yang dibuat-buat – karena Hammershoi, bersama pilar identitas Denmark lainnya, yaitu Hans Christian Andersen – berhasil menangkap kegetiran perjalanan sejarah sebuah negara. Namun ternyata, lukisan Hammershoi mampu berbisik melampaui pemaknaan identitas dan menjadi relik bagi para pemuja kesunyian. Saya adalah satu diantaranya yang terpukau pada ritme sublim tarian debu dalam lukisan Hammershoi. Keterpukauan membawa saya menyelami lebih dalam jajaran lukisan abu-abu Hammershoi yang nyaris tanpa kata. Beberapa kritikus di jamannya (pada peralihan abad 19 ke 20) menyebut lukisan Hammershoi “tidak memuaskan”. Alhasil, Hammershoi mengalami penolakan serentak dari berbagai gelari eksibisi di Copenhagen. Hal ini adalah wajar, mengingat era tersebut riuh dengan ekspesionisme juga kegemparan atas pernyataan Nietzsche bahwa “Tuhan telah mati”, sedang Hammershoi adalah negasi keduanya. Waktulah yang kemudian memberikan tempat pada lukisan Hammershoi. Esay Sigmund Freud berjudul Uncanny yang dipublikasikan pada tahun 1919 berhasil merangkum sebuah kegelisahan yang awalnya tidak mempunyai nama. Sebuah kegelisahan misterius yang membuat seorang tidak nyaman ketika berada di antara manekin, atau kegelisahan di pagi hari ketika mimpi indah berakhir dan realita tidak menawarkan apa-apa. Beberapa pembaca seni kemudian menyandingkan konsep Uncanny ini dengan lukisan Hammershoi yang dingin dan misterius. Intensitas lukisan ruang yang melampaui kehidupan kerap memunculkan kegelisahan – dan Hammershoi dengan jeli mempermainkan sisi ini: bahwa ternyata, kegelisahan tidak hanya dapat disandingkan dengan teriakan parau dalam lukisan Edvar Munch, tapi juga dapat disampaikan secara berbisik. Pemahaman ruang yang radikal menghantarkan pembacaan lain dalam memahami Hammershoi, yaitu melalui konseptualisasi fragmentasi kehidupan ala Soren Kierkegaard dalam bukunya berjudul Either/Or yang mengurai secara tajam tentang pilihan seseorang antara kehidupan estetik dan etikal. Bridget Alsdorf dalam Jurnal Critical Inquiry (Vol. 42, No. 2 tahun 2016) memaparkan sebuah kemungkinan (karena ia sendiri tidak memiliki bukti valid) bahwa lukisan Hammershoi banyak dipengauhi oleh pemikiran Kierkegaard. Pandangan ini hanya diperkuat atas fakta bahwa sang pelukis memiliki koleksi lengkap buku-buku Kierkegaard, sehingga bukanlah sebuah kebetulan bila lukisan Ida (istri Hammershoi) dimaksudkan untuk mengungkap bangun interior pemikiran seseorang yang juga dikaji Kierkegaard dalam Either/Or. Ruang interior adalah pijakan penting sekaligus simbol yang memberikan jalan bagi pandangan estetik, karena menurut Kierkegaard estetika hanya dapat disentuh ketika seluruh eksterior telah terlampaui. Sehingga Alsdorf berpendapat bahwa lukisan Hammershoi merupakan metafora bagi subjektifitas individual dan bukan ditujukan pada pemahaman moral atau etikal. Ya, memang. Saya pun sedikit banyak setuju dengan pandangan Alsdorf, karena kekosongan dalam lukisan Hammershoi sangatlah jauh dari makna ketenangan spiritual Zen dalam lukisan Sesshu Toyo atau Hasegawa Tohaku yang juga berbicara dalam bahasa kekosongan. Analisis lukisan ruang interior Kierkegaard menghadapkan saya pada satu nama lain yang membuat saya membelalak: Rainer Maria Rilke. Ia ternyata begitu terpukau akan lukisan Hammershoi dan memutuskan untuk membuat tulisan tentangnya (karena selain penyair, Rilke juga dikenal atas ulasannya tentang lukisan, patung dan karya seni lainnya). Tapi ulasan Rilke tinggal cerita, karena sang penyair memutuskan untuk berhenti ditengah jalan. Ia menemukan bahwa lukisan Hammershoi terlalu sulit untuk diungkapkan melalui kata-kata. Yang tersisa hanya penggalan ungkapan kekaguman Rilke – bahwa “kekosongan dapat begitu membakar” – adalah upaya terakhir yang dilakukannya untuk menggambarkan intensitas lukisan Hammershoi. Rasanya tidak ada yang mampu menandingi gambaran Rilke diatas. Untuk itu mari kita sudahi uraian sekenanya ini dan membiarkan cahaya bermain-main bersama bayangan – sebuah kontemplasi khas Hammershoi yang sewarna dengan ungkapan terkenal Kierkegaard: I have only one friend, and that is echo.
kontak via editor@antimateri.com