Seniman Perancis Jean Cocteau berpuisi dengan banyak cara: melalui lukisan, sketsa, novel, naskah drama, film, musik, desain fashion, dan tentu melalui bait yang terangkum dalam antologi puisinya. Atas keluasan rentang karyanya, Cocteau memberi pengaruh kuat pada (setidaknya) empat genre aliran seni yang berkembang yaitu seni modern, avant-garde, new-wave dan surrealisme. Persinggungannya dengan seni modern terletak pada pendekatan mulitidisipliner yang menekankan kekuatan kreatifitas. Pembebasan diri dari aturan dan genre yang diusung oleh Cocteau beririsan dengan bentuk abstraksi yang menjadi ciri utama seni modern (bersebrangan dengan pola narasi yang menjadi kekuatan utama dalam seni tradisional). Irisan inilah yang menjadikan Cocteau masuk dalam lingkar seni modern, bersandingan dengan Picasso dan Getrude Stein. Adapun pengaruh Cocteau pada genre avant-garde dapat ditilik dari ugkapan dua pionir musik konkrit, Pierre Schaeffer dan Pierre Henry, yang menemukan akar konsep musik mereka ketika menganalisis soundscape film-film Cocteau, juga dari gagasan Cocteau tentang musik dalam essay yang berjudul “Sound Civilisation”[1]. Keduanya menggambarkan bahwa dalam film-film Cocteau, musik yang dimainkan adalah “conscious exercise in self-reflection”[2] – Schaeffer bahkan menyebutkan bahwa suara pesawat jatuh dalam Le Sang d’un poète, adalah musik paling berkesan yang pernah ia dengar.
Pengusung pengaruh Cocteau lainnya datang dari genre New Wave Perancis. Diantaranya terdapat sutradara Jean-Luc Godard, Jacques Rivette, Eric Rohmer, dan François Truffaut – yang menyatakan bahwa film karya Cocteau merupakan penggerak awal sinema anti-mainstream yang membawa angin segar pada perfilman Perancis. Godard bahkan membuat film penghormatan bagi Cocteau berjudul Charlotte et son Jules. Sedangkan bagi aliran terakhir, ceritanya agak lain, karena walaupun karyanya disandingkan dengan surrealisme, Cocteau menolak setengah mati disebut sebagai seorang surrealist – penolakan ini bermula ketika filmnya, Le Sang d’un poète, disebut André Breton[3] sebagai versi gagal dari karya surrealisme Luis Bunuel berjudul Un Chien Andalou. Breton jugalah yang menyebut Cocteau sebagai artist yang terlalu dibesar-besarkan. Genderang permusuhan artistik mulai ditabuh Breton melalui pernyataan ini. Namun, alih-alih berkeberatan, Cocteau malah setuju dengan pernyataan musuhnya, karena ia pun merasa bahwa nama besar telah menenggelamkan karyanya. Pada titik inilah The Frivolous Prince (sebutan publik Paris untuk Cocteau) berpaling pada opium[4] – opium lalu menjadi salah satu dari cinta sejatinya, selain kematian dan puisi.
Ketika pertama kali membaca karya Cocteau dari sebuah aplikasi online yang menampilkan puisi dari berbagai penyair setiap harinya, tidak ada kesan bahwa penyair ini lekat dengan kematian. Puisinya kala itu berjudul Preamble (A Rough Draft For An Ars Poetica) – memunculkan impresi bahwa Cocteau adalah versi Perancis dari Oscar Wilde, sosok elegan tapi kental dengan sinisme khas aristrokrat yang didorong oleh rasa bosan dan kegilaan. Namun pandangan ini berubah seketika setelah menyaksikan tiga film yang disutradarai (juga sebagian dimainkan) oleh sang penyair. Ketiga film tersebut dikenal sebagai The Orphic Trilogy – terdiri dari Le Sang d’un poète (1930), Orphée (1950), dan Le Testament d’Orphée (1960). Ketiganya dinyatakan sebagai karya puncak dari film garapan Cocteau, dan dalam ketiganya pula, kematian memainkan peranan sentral. Le Sang d’un poète lebih menyerupai antologi puisi yang dalam setiap segmennya kematian datang dalam bentuk yang ganjil: mulai dari penembakan seorang Meksiko yang diputar ulang (sehingga entah berapa ribu kali ia telah mengalami kematian), penghancuran patung (mengingatkan pada film artistik lain berjudul “Statues also Dies” karya Chris Marker, Alain Resnais, Ghislain Cloquet), juga kematian seorang anak yang tidak dipedulikan siapapun.
Oleh publik film ini dikaitkan dengan genre surrealisme[5] yang tengah mengemuka saat itu. Cocteau sendiri menyatakan bahwa surrealisme adalah seni yang hampir mustahil – kecuali terdapat seseorang yang mampu menciptakan sesuatu sembari tertidur, maka itu lain soal, ungkapnya. Menurut Cocteau, Le Sang d’un poète bukanlah rangkaian mimpi, tapi sebuah “kontemplasi yang dilakukan oleh jiwa yang kekanak-kanakan”[6]. Cocteau menolak untuk memberikan interpretasi lebih jauh tentang Le Sang d’un poète, walaupun kemudian banyak yang menyatakan bahwa film ini merupakan sebuah autobiografi yang menceriterakan trauma masa kecil ketika ia membunuh seseorang dengan bola salju (penyesalan memuncak dianalogikan atas adegan patung yang menembak kepalanya di akhir film). Dan ketika didesak untuk memberikan pernyataan tentang filmnya, Cocteau hanya menjawab: “[it was] a realistic documentary about unreal events”.
Sikap acuh tak acuh yang sama ia tampilkan pada film kedua dari trilogi ini, Orpheus. Kisah ini diangkat dari tragedi Yunani ketika Orpheus menempuh jalan berbahaya di dunia kematian untuk menghidupkan kembali istrinya, Eurydice. Namun Orpheus dalam versi Cocteau tidak hadir sebagai pahlawan epic dengan latar tragedi Yunani, tapi menjelma sebagai penyair ternama di Paris (lagi-lagi indikasi autobiografi muncul dalam seting ini). Skenerio tragedi ala Cocteau berawal ketika pada suatu pagi Orpheus melihat kematian merenggut Cegeste, penyair muda saingannya, dan ia pun dibawa oleh sang Kematian sebagai saksi. Plot pun berkembang, Orpheus yang seharusnya melarikan diri dari kematian, malah jatuh cinta padanya dan mencari jalan untuk kembali menemui sang Kematian. Oleh kritikus, perubahan plot ini dianalogikan sebagai sentuhan seni modern pada mitologi Yunani, karena alih-alih berbicara tentang gagasan ideal tentang pengorbanan – Cocteau menampilkan kisah cinta yang realistis, dengan ketidakpastian di setiap belokan jalan[7]. Namun ia tidak ambil pusing atas tanggapan publik dan pandangan kritikus. Untuk menghindari pertanyaan tidak perlu, Cocteau menyatakan: “Interpret as You Wish” – sebuah doktrin yang akhirnya melekat pada setiap karyanya.
Terlepas dari berbagai pandangan tentang film ini, Orpheus adalah sebuah pengakuan seorang penyair akan obsesinya pada kematian yang berlanjut pada film ketiga dalam the Orphic Trilogy – Le Testament d’Orphée. Disini Cocteau (sebagai dirinya sendiri), tengah melakukan pencarian atas muse – sang dewa inspirasi. Ia bertanya pada seorang Profesor tentang bagaimana mencari inspirasi (sebuah humor segar hadir disini: ketika ia menemui sang profesor selalu dalam rentang kehidupan yang salah, ketika masih kanak-kanak, masih bayi dan sudah renta). Namun bukan sang profesorlah yang memberinya petunjuk, tapi Cegeste, mendiang rivalnya yang kembali dari kematian. Berbagai runtutan kejadian “tidak nyata” dalam film ini mengingatkan kembali pada Le Sang d’un poète. Dan baru diakhir trilogi inilah, sang penyair, menemukan sumber inspirasi yang tidak lain adalah Kematian itu sendiri. Melalui ketiga film ini, Cocteau menggambarkan kematian tidak dalam konteks negatif, tapi sebagai inspirasi, “sebuah romantisme pahit yang mengharuskan seorang penyair berpura-pura mati untuk menemuinya”[8].
Tidak dipungkiri bahwa gubahan naskah Cocteau merupakan kekuatan utama the Orphic Trilogy selain kreatifitas eksperimen dan musik yang ditampilkan. Cocteau menyebutnya poésie cinématographique, yaitu sebuat film yang hanya diperuntukkan sebagai sarana ekspresi penyair dalam menuangkan gagasannya. Jack Kerouac dan Allen Ginsberg menampilkan bentuk serupa melalui film Pull My Daisy (1959) dan entah berapa ratus penyair lagi yang menggunakan film sebagai wujud puisinya (sedangkan bentuk generik genre ini hadir dalam wabah yang dikenal dengan istilah “docudrama”). Namun dalam belantara film, the Orphic Trilogy tetaplah prolifik – Cocteau butuh tiga puluh tahun untuk menyelesaikan trilogi ini, dan dapat dibayangkan selama itu pulalah obsesinya tentang kematian tidak kunjung usai. Ketika Le Testament d’Orphée selesai digarap, Cocteau kembali ditanya tentang apa yang ia harapkan dari publik akan filmnya. Kali ini ia tidak mengelak sebagaimana biasanya. Mungkin karena telah puas dengan pencariannya, kini ia menjawab dengan sumringah, bahwa respon yang ia harapkan hanyalah “a black silence almost as violent as laughter”.
Keterangan dan Sumber
[1] Essay ini dibuat semasa Cocteau membentuk grup musik Avant-garde “Group of Six Musician” termasuk didalamnya komposer Francis Poulenc dan Arthur Honegger. Anehnya walaupun Cocteau adalah pemimpin bagi grup musik ini, ia sama sekali tidak memainkan alat musik.
[2] Anderson, L. (2015). “Musique concrète, French New Wave cinema, and Jean Cocteau’s Le Testament d’Orphée (1960)” dalam Twentieth-Century Music. 12 (2). 197-224
[3] Fotografer sekaligus prominen surrealisme Perancis di awal abad 20.
[4] walau asal mula adiksi opium masih diperdebatkan, ada yang menyebutkan bahwa Cocteau mulai menggunakan opium paska kematian penyair Raymond Radiguet
[5] Neil Coombs dalam Studying Surrealist and Fantasy Cinema, menyatakan bahwa Seni Surrealist dibagi dalam dua tipe: 1. Automatism atau ‘stream of consciousness’; 2. Representasi Hyperrealitas dari mimpi.
[6] Wu, Pei-lin. (2016). “Dying to Be Immortal: Jean Cocteau’s Orphic Trilogy” dalam Concentric: Literary and Cultural Studies. 42.(1)
[7] Wu, Pei-lin, ibid.
[8] Morris, Gary. (2001). “A Black Silence Almost as Violent as Laughter: Jean Cocteau’s Orphic Trilogy” dalam Bright Light Film Journal.
kontak via editor@antimateri.com