Cinta, mengapa kau bersembunyi dalam sekat-sekat yang tidak terdefinisi? Aku di sini siap memagarimu dengan tonggak pena dan tali kata. Kudengar makna akan muncul jika tali kata telah mengikatkan dirimu dengan penandamu. Begitu makna muncul, Cinta, maka kau tidak bisa mengelak dari keberadaan, setidaknya itu kata para bahasawan: abad dua puluh adalah abadnya para linguis, itu kata mereka. Maka kau akan kutangkap, Cinta, dalam jerat penandaan, “karena tidak ada yang diluar teks” kata mereka lagi. Dengan tali laso ini aku akan membuat relasi yang menghubungkan tiang pancang pena yang satu dengan yang lain. Jaring-jaring ini nanti akan menjadi garis-garis dan lengkung kurva yang mematokmu menjadi sebuah sketsa, sketsa gambarmu, Cinta. Sketsa yang membuatku mengenalimu serupa wajah yang selalu hadir dalam mimpiku. Tapi wajah itu selalu kabur, Cinta, mungkin karena sketsanya adalah sketsa impressionis ala Claude Monet yang keakuratannya tersamar oleh kesan awal. Kaukah itu yang memendar dari jaring sketsa yang kubuat?
Hari ini kau datang lagi. Bisa kurasakan kehadiranmu, takperlu kau mengejawantah secara diskursif, aku sudah gelisah, Cinta. Ya! Ada kegelisahan serupa yang ditularkan teks-teks Nietzsche, yang membawaku pada kenikmatan Dyonisius. Itukah maknamu Cinta? Sebuah kesenangan yang mengusir Appolo dari singgasananya, mendepak rasio ke genangan lumpur. Tapi aku takkan menyerah Cinta, akan kuguratkan satu-satu nikmat Dyonisius ini dalam kata, supaya tidak hilang ditelan masa. Katanya: aku menulis maka aku ada. Jadi akan kugores kuas(a) kata ini untuk mengarsipkan kesadaranku akan hadirmu dalam bilik sejarah, dalam penjara waktu.
Kupancangkan pena ini, supaya aku ada, karena aku perlu obyek lain untuk bermakna, Cinta. Supaya tercipta gambar yang utuh: karena titik tidak bisa menjadi titik jika tidak ada garis, jika tidak ada kurva. Maka aku tiada tanpamu Cinta, aku mati tanpamu. Kau membuatku hidup karena kamu adalah obyek yang memegang tali penandaan di ujung yang satunya. Ya, tali makna yang mengikat kita: Aku dan Cinta, tidakkah indah kedengarannya?
Baiklah, Cinta, akan kudedah satu-satu kotak kemungkinan yang menghubungkan aku dan dirimu seperti Picasso mendedah satu kubus demi kubus yang lain, membentuk wajah Ambroise Vollard.
Akan kubuat satu garis lurus (atau berkelok) yang menghubungkan kita. Atau barangkali aku buat saja sebuah prisma, selayak Cèzanne melihat detil wajah Victor Chocquet Assis dengan menggunakan garis-garis arkitektonik. Ya! Rasanya aku bisa mendefinisikanmu dalam bentuk dan perspektif prismatik.
Akan kubuat kau hadir Cinta, karena aku menghendakimu, menghasrati tubuhmu. Tiada yang lebih nikmat dari tubuh erotis yang meliuk memberiku cinta, memberiku sentuhan. Itukah kamu, Cinta? Sebuah sentuhan tubuh yang memercik api gelora dari kerja hormon progesteron dan testosteron? Maka biarkah kutatah onggok bara yang tercipta untuk mengukir tubuhmu, Cinta. Aku akan mengukir Cinta seperti Auguste Rodin menatah sentuhan cinta pada The Kiss.
Hmm…tapi bagaimana kalau kau bukan logam yang bisa ditatah? Bagaimana jika ternyata kamu cair, Cinta? Bisakah tali laso itu mengikat kau yang selalu ngacir? Mungkinkah membuat garis, mengumpulkan titik-titik yang dapat menangkap dirimu Cinta? Ahhh ke mana lagi kah kau akan pergi Cinta? Mengapa sekarang menjelma air? Kamukah itu? Air susu yang dihisap the child dari payudara Madonna? Dapat kulihat hadirmu di sana; dalam tatap anak pada ibunya, dan tatap ibu pada anaknya, kamu ada di sana, Cinta.
Arghh… secair apakah kamu, Cinta? Beritahulah aku, mengalir ke mana kamu! … A-HA! Aku tahu di mana reservoirmu, tidakkah kamu tertampung dalam ketaksadaran, Cinta?
Ya! Kamu juga selalu hadir di dalam mimpi, dalam episode-episode surealis yang berusaha membebaskanku dari penjara taksadarku, seperti lukisan Salvador Dali tentang simbol-simbol yang dikeluarkan dari bui dan diatur seperti kolase taklogis, selayak ketaklogisan mimpi. Kamukah yang menjelma jadi mimpi? Kamukah enerji yang menggerakan mesin ego?
Kamukah yang menjelma jadi mimpi? Kamukah enerji yang menggerakan mesin ego? Kamukah yang mengisi malam-malam panjangku? seperti Michael Angelo mengisi perbincangan malam panjang perempuan-perempuan yang datang dan pergi “di restoran dan hotel murah” Waste Land?
Arrgh Cinta, mungkin aku harus berhenti di sini, semakin aku melukismu, semakin aku tidak mengenalmu. Semakin aku menelusurimu, semakin aku tersesat, seperti saat aku menelusuri garis-garis dalam lukisan No. 5 Jackson Pollock.
Sungguh teknik drip-nya Pollock itu tidak membawaku semakin mendekat padamu, Cinta. Padahal aku ingin bisa meraihmu, merasaimu, menegukmu hingga habis. Bolehkah aku? Juliet bilang bahwa cinta adalah dosa. Tapi aku tidak ingin berdosa, Cinta. Dosakah aku karena berusaha mencari Cinta di galeri seni?
Binghamton, Desember 2003
Saat ini tengah mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Unpad – sembari menikmati hidup, sastra dan lukisan di waktu luangnya.