Inggris pada tahun 1969 adalah tahun dengan tingkat kebisingan yang memuncak – dimulai dengan Derry Riots yang menjadi awal konflik berdarah dengan Irlandia Utara, protes perang tak berujung yang bertepuk sebelah tangan, perayaan misi luar angkasa, hingga perseteruan antar personil The Beatles – merupakan beberapa kejadian yang menarik perhatian publik Inggris melebihi apapun. Di tahun penuh ketidakpastian inilah, seorang pemuda berusia 21 tahun mengeluarkan debut album berjudul “Five Leaves Left” – sebuah album dengan konsep yang keluar dari konteks jaman, menjadikan Nick Drake, sang musisi, menjadi anomali dan terkucil di penghujung era hippies yang penuh gegap gempita. Lirik dibawah merupakan penggalan dari lagu Nick Drake berjudul Three Hours (Five Leaves Left, 1969).
Three hours from sundown
Jeremy flies
Hoping to keep
The sun from his eyes
East from the city
And down to the cave
In search of a master
In search of a slave
Three hours from London
Jacomo’s free
Taking his woes
Down to the sea
In search of a lifetime
To tell when he’s home
In search of a story
That’s never been known
Diawali dengan denting gitar khas – yang mendapat pengaruh kuat dari Bert Jansch – Drake seakan-akan meminta “waktu jeda” bagi siapapun untuk mendengar apa yang akan ia nyanyikan – tentang matahari yang [akan] tenggelam atau sebuah ceritera yang tidak pernah terungkap. Dan seperti pada Three Hours, lagu-lagu lainnya dalam Five Leaves Left yang dirilis pada 1 September 1969, sama sekali tidak berbicara tentang pergolakan dan gejala sosial di sekelilingnya – Drake nampak tidak hirau pada perang ataupun politik. Ia layaknya kristal es yang tidak tersentuh waktu: dingin dan jernih – membekukan waktu dalam dirinya dan juga dalam karya-karyanya.
Atmosfer “dingin” – pada akhirnya – adalah apa yang diingat publik dari sosok misterius ini. Drake tidak meninggalkan sepenggalpun wawancara baik tentang dirinya ataupun tentang musiknya. Sebuah upaya – yang mendekati putus asa – dilakukan oleh Tim Clement, seorang sutradara dokumenter dengan membuat film berjudul “A Stranger Among Us” (1998), hanya membuat kita semakin yakin bahwa Drake tidak berniat meninggalkan apapun kecuali musiknya – dan beberapa helai foto diri dengan imaji “doomed romantic” yang tergambar jelas di wajahnya. Menurut sumber yang sangat terbatas, setidaknya Drake merasa sangat dekat dengan tiga hal: saudara perempuannya, Gabriela Drake – bahkan mereka sempat merekam lagu-lagu cover yang terkumpul dalam album Familiy Trees (yang juga melibatkan Molly Drake, sang ibu, dirilis tahun 2007), Joe Boyd – produser sekaligus mentor Drake selama karir musiknya, dan LSD – yang seringkali dikaitkan dengan lirik-lirik abstraknya.
Look through time and find your rhyme
Tell us what you find
We will wait
At your gate
Hoping like the blind
(Way To Blue, Five Leaves Left, 1969)
Suasana agak berbeda kita temukan pada album kedua Drake – jika pada album pertama kita disuguhi folk intim tanpa embel-embel pop sama sekali didalamnya, maka album kedua muncul dengan kesenduan anarki hasil dari persentuhannya dengan musik Jazz. Album yang berjudul Bryter Layter (1970) merupakan salah satu album dengan aransemen terbaik yang pernah ada – namun pada masanya, album ini hanya mendapatkan komentar – dan bukan pujian – sebagai “awkward mix of folk and cocktail Jazz”. Tidak aneh, karena pasar saat itu menginginkan lagu-lagu sing a long yang menghibur – sedangkan musik Drake berpijak pada kesatuan sublim antara melodi dan ritme, membuatnya jauh dari gambaran “menghibur” bagi publik kebanyakan (-untuk memahami konteks penjelasan ini disarankan untuk mendengarkan dan menikmati album Bryter Layter secara menyeluruh).
Selain dari konsep dan komposisi aransemennya, kehebatan lain album Bryter Layter terletak pada musisi yang terlibat di dalamnya – yang tidak lain adalah dedengkot Velvet Underground, John Cale. Cale memberi kontribusi pada dua lagu dalam album ini, yaitu Nothern Sky dan Fly – di dalamnya kita menemukan permainan piano Cale yang memberi dasar sempurna bagi gitar sederhana Drake, sebuah kolaborasi yang “membuat sesak” – bagi siapa saja yang memiliki sensitifitas apresiasi musik. Keterlibatan Cale seharusnya menjadi sinyal bahwa Drake bukanlah musisi sembarang, namun lagi-lagi industri musik memandangnya sebelah mata, sehingga album keduanya tidak jauh berbeda dengan album pertama – minim perhatian dan distribusi yang buruk. Ini membuat Drake semakin tenggelam dalam kekecewaan, tapi puncak kekecewaannya terjadi ketika mentornya, Joe Boyd, menjual perusahaan rekamannya dan pindah ke Los Angeles, AS. Dengan ini Drake semakin menutup diri dan tenggelam bersama kawan abadinya: LSD, marijuana dan berbagai bentuk anti-depresan.
Tapi satu hal yang tidak disangka-sangka dilakukan Drake pada akhir 1971, ketika suatu sore ia mendatangi John Wood – penata musik pada dua album terdahulunya – untuk membantunya dalam produksi album yang ia gambarkan sebagai “final release”. Maka Pink Moon pun direkam Drake dalam kondisi setengah sadar namun menghasilkan musik yang begitu jernih. Dalam album ini ia kembali pada idealismenya – folk sederhana yang menekankan pada permainan melodi dan kelirihan suara. Alhasil dalam album yang singkat – karena durasi setiap lagunya tidak lebih dari dua menit – kita menemukan kualitas terbaik Nick Drake: dingin, sederhana, dalam, dan misterius. Dalam Pink Moon, Drake sama sekali tidak mempedulikan apakah pasar menerimanya atau tidak – satu hal yang ia coba tembus pada dua album sebelumnya, – ia hanya fokus pada musiknya dan menikmati proses produksi: sebuah kondisi yang pada akhirnya kita pahami, bahwa Pink Moon (1972) adalah nafas penghabisan bagi seorang Nick Drake. Dan dua tahun setelah album ini dirilis, Nick Drake meninggal dengan cara yang juga misterius – walau menurut saudarinya, Gabriela, tanda-tanda kearah kematiannya terlihat sangat jelas.
Fruit tree, fruit tree
No-one knows you but the rain and the air
Don’t you worry
They’ll stand and stare when you’re gone
(Fruit Tree, Five Leaves Left, 1969)
Lirik diatas adalah alunan singkat tentang perjalanan karir Nick Drake – ia adalah orang asing pada jamannya, namun sejalan dengan waktu [dan perubahan selera pasar], musiknya semakin dikenal dan dihormati sebagai salah satu masterpiece folk. Selain itu terdapat hal lain yang menarik dari sosok Nick Drake: yaitu jika saja ia muncul pada akhir 70an (era awal post-punk), ia akan menjadi hits. Gabungan misteri dan kegelapannya adalah mode utama saat itu – oleh karena itulah, Drake menjadi acuan bagi para musisi [kegelapan] seperti Robert Simth atau David Sylvian, yang membutuhkan “misteri” sebagai persona di panggung. Namun satu hal yang tetap membedakan Drake dengan para pengikutnya: bahwa sisi gelap Drake bukanlah sesuatu yang dibuat-buat, tapi berasal dari pengabaian mutlak seorang individu pada lingkungan sosialnya. Sebuah gambaran tentang orang asing yang memilih untuk mempertahankan visi musik idealnya – walau harus menelan kekecewaan berkali-kali – dan menghadapi kenyataan bahwa apresiasi musik adalah sesuatu hal yang sulit untuk didapat dari masyarakat yang selalu sibuk dengan politik dan perayaan-perayaan simbolis – hingga “jeda kesunyian” sebagai kualitas utama dari musik Drake, mendekati mustahil untuk dipahami.
kontak via editor@antimateri.com
Membaca sekilas seperti sebuah potongan kisah novel. Kenapa tidak dinovelkan saja sekalian bu Ali? 🙂
hai pak indra…jangan novel atuh, puisi aja boleh ya hehehe #nawar
ulasannya keren, mbak 🙂 nggak mau nulis tentang jeff buckley juga? setipe kynya mereka itu.
Halo…untuk jeff buckley pernah diulas sepintas dalam https://antimateri.com/collage-underwater/, walo bukan tentang buckley nya sih, lebih tepatnya: buckley yang mati tenggelam..
ayodong mba, dibahas tentang jeff buckley 😀