Mungkin generasi muda sekarang tidak banyak yang mengenal siapa itu Achdiat Karta Mihardja (6 Maret 1911-8 Juli 2010). Aki, saya memanggilnya, adalah salah seorang sastrawan Indonesia era revolusi yang melahirkan karya sastra penting Indonesia yang diantaranya, ialah novel Atheis (1949). Tulisan ini bukan catatan narasi dari seorang yang paham betul tentang sastra, tapi dari salah seorang ‘cucu’ Aki yang sempat terpisah oleh jarak ruang dan waktu hingga pertemuan pertama (1996) dan terakhir (2007-2010) dengan almarhum di Canbera, Australia.
Pada tahun 1996 Bapak mengirim saya, dua kakak saya, beserta Ibu ke Australia untuk mengunjungi Aki dan Nini kami yang tinggal di Canberra. Sejenak (hanya) saya yang kebingungan karena tidak mengetahui bahwa selama ini kami punya Aki dan Nini yang tinggal di Australia. Sedangkan Ibu dan kedua kakak saya saat itu, sudah lama mengetahui keberadaan mereka dan tampak tidak sabar untuk bertemu Aki dan Nini disana.
Sebelum berangkat, Bapak saya bercerita bagaimana Aki Achdiat adalah ‘Aki’ kami semua. Dan ini ternyata bermula dari pertemuan Bapak saya dengan Aki Achdiat di Canberra, Australia pada tahun 1970an ketika ia mendapatkan beasiswa dari Colombo Plan untuk belajar di Australian National University (ANU).
Pertama kali datang ke Australia, Bapak saya dijemput oleh Aki Achdiat dan isterinya (Suprapti Noor, atau kami memanggilnya ‘Nini Ati’) di bandara Internasional Sydney. Sejak awal kuliah, hampir setiap minggu Bapak dan Aki bermain tennis bersama di lapangan tennis yang berlokasi di belakang perpustakan Menzies, di kampus ANU.
Selain karena olah raga tennis, kedekatan mereka juga dibentuk oleh kesamaan tanah kelahiran dimana keduanya adalah orang asgar (asli garut), dan pencinta sastra. Bapak saya yang sejak mudanya aktif dalam komunitas seni dan sastra Ikatan Kuntum Mekar di Bandung, mengenal betul karya monumental Aki yang berjudul Atheis.
Novel Atheis, Achdiat Karta Mihardja
Novel Atheis bercerita tentang kegundahan spiritual seorang pemuda bernama Hasan yang hidup pada masa perang ‘isme’ (Islam dan Komunisme) di Perang Dingin, yang kemudian mengkritisi dogma-dogma agama yang dianggap mengekang kebebasan berpikir. Karya novel ini kemudian ditafsirkan atau bahkan menurut Aki, ‘disalahartikan’ oleh banyak pembacanya sebagai cerminan dari keyakinan Aki sendiri. Kesalahan ini juga sempat dilakukan oleh Bapak saya sendiri.
“Kebanyakan orang salah paham dengan tulisan Aki…” tegasnya ketika saya bersilaturahmi ke rumah Aki yang berlokasi di Millen St., Hughes, Canberra pada tahun 2007. “Aki itu bukan Atheis, Aki percaya dengan adanya Tuhan”, tegasnya. Dengan rawut wajahnya yang sudah tua, keriput, dan kondisi tubuh yang rapuh, lalu Aki dengan nada tegas dan bersemangat berkata lagi, kali ini sambil mengangkat jari telunjuknya ke langit:
Siapa yang menciptakan langit dan bumi? siapa yang menciptakan alam semesta ini? itu tidak mungkin tidak ada yang menciptakannya. Segala sesuatu yang ada di alam semesta, pasti ada yang menciptakannya!
Aki kemudian menyebutkan 5 butir Pancasila dengan menekankan butir pertama, ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. “Sejak awal mula berdirinya Republik Indonesia, para pendiri negeri ini semua sadar pentingnya hidup berketuhanan…kawan Aki, (Presiden) Sukarno tahu betul kalo Aki bukan Ateis.” Keyakinan Aki ini kemudian dituangkan dalam tulisan Aki yang terakhir, yaitu Manifesto Khalifatullah yang diterbitkan pada tahun 2005.
Saya bukan seorang yang tahu betul tentang sastra, namun ketika saya, kedua kakak saya, dan Ibu saya berkunjung ke rumah Aki tahun 1996, Aki memperkenalkan dua karya tulisnya kepada saya. Yang pertama adalah Bentrokan dalam Asrama (1952), dan Si Kabayan, Manusia Lucu (1996). Baru-baru ini saya sadar bahwa saat itu Aki ingin memperkenalkan saya pada tulisan-tulisan yang ‘lebih ringan’ untuk dibaca oleh saya yang saat itu masih berumur 15 tahun.
Hingga sekarang, saya masih ingat kenangan indah bersama Aki dan Nini, saat itu kami menikmati pesta barbeque dibelakang halaman rumahnya. Michael, salah satu cucu Aki yang saat itu tinggal bersama Aki dan Nini, ikut meramaikan suasana tersebut. Sebelum menikmati daging barbeque yang dimasak oleh Nini, saya selalu masuk ke kamar Michael menonton ia bermain PC game, Duke Nukem 3D. Game yang kemudian mempengaruhi saya untuk ikut tergila-gila bermain PC game.
Saat itu juga, pertama kali saya sadar bahwa Jamie Adityawarman (Musisi, dan ex-VJ MTV) yang sering muncul di layar ANteve dalam program MTV, juga cucunya Aki Achdiat. Jamie tidak hadir pada saat pesta Barbeque, saya hanya melihat fotonya, berambut gondrong sambil memegang gitar Fender Stratocaster putih, terpampang di ruang keluarga. “Jamie senang sekali bermain musik, dia kini sering muncul di tipi (TV)” kata Aki ketika saya memperhatikan foto Jamie.
Satu dekade kemudian (2007), saya kembali lagi ke Canberra untuk menempuh program bridging untuk program master di Australian National University. Sejak kembali, saya bertemu Aki dan Nini lagi pertama kali di kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), pada saat perayaan hari kemerdekaan Indonesia. Terakhir saya bertemu dengan Aki pada tahun 1996, Aki dan Nini masih terlihat segar dan sehat (Nini, yang saat itu berumur 86 tahun, bahkan masih menyetir mobil dengan kecepatan 80-100 km/jam ketika mengantar kami jalan-jalan!). Kali ini saya melihat Aki dan Nini sudah semakin tua, kurus, keriput, dan penuh uban. Aki dan Nini yang duduk di pojok ruang pesta, duduk bersebelahan layaknya orang yang masih pacaran. Aki sekarang sudah pegang tongkat penyangga untuk membantunya berjalan.
Ketika saya datangi Aki dan Nini, saya ingatkan kembali mereka siapa saya. “Oooh.. ini Indra, putranya Pak Djadja?” Sambil kaget kegirangan dia tidak percaya. “Ayo, main ke rumah Aki dan Nini kapan-kapan kalo lagi tidak sibuk… nanti main ya?” kata Aki. Sekitar 2 minggu kemudian saya main ke rumah Aki dan Nini dan kembali bersua.
Saat itu tidak ada siapa-siapa di rumahnya, kecuali hanya Aki dan Nini. Aki bercerita bagaimana saat itu tidak banyak lagi yang datang mengunjungi rumah Aki dan Nini. Aki kemudian bercerita bagaimana saat itu Aki sedang menulis Autobiografi tentang dirinya. Dengan kondisi kesehatan tubuh dan penglihatan yang sudah menurun, Aki perlu bantuan untuk menuliskan autobiografinya. Sayangnya, hingga beliau wafat, proyek penulisan autobiografinya tidak pernah selesai.
Saya pernah menawarkan diri untuk menjadi asistennya dalam menyelesaikan autobiografinya, tapi Aki bilang sudah ada orang yang dibiayai pihak kedutaan untuk menjalankan tugas tersebut. Belakangan diketahui, bahwa ada masalah dimana proyek autobiografi tersebut tidak lagi dapat bantuan dana dari pihak kedutaan.
Pada kesempatan lain, saya mengunjungi Aki dan Nini dengan kawan saya orang Australia yang sedang mengambil studi bahasa Indonesia di ANU. Mengetahui latar belakang kawan saya, Aki kemudian bercerita bagaimana ia berperan dalam mendirikan pusat kajian tentang Indonesia (Indonesian Studies) pertama di ANU. Pendirian pusat kajian ini merupakan salah satu projek yang ditawarkan oleh seorang profesor disana untuk membangun kesalingpengertian secara sosial dan budaya antara Australia dengan Indonesia. Proyek ini adalah alasan utama kenapa Aki dan Nini kemudian pindah meninggalkan Indonesia, dan menetap Australia. Aki mendapat undangan dari profesor ini pada tahun 1964. “Awalnya, Aki menolak undangan tersebut. Tapi Nini terus ngedorong Aki untuk menerimanya” kata Nini saat itu. “Iya, nih. Gara-gara Nini. Kalo bukan karena Nini mah, Aki gak akan berangkat ke Australia”, seru Aki sambil tertawa mesra dengan Nini.
Ketika awal mendirikan pusat kajian Indonesia, Aki banyak bekerjasama dengan profesor ‘X’ yang mengundang Aki. Saya sendiri agak lupa namanya. Tapi yang saya ingat, Kiki dan Nini bercerita bagaimana Aki sempat sangat berteman baik dengan profesor ini. Hingga suatu saat hubungan pertemanan mereka terputus karena suatu hal.
“Aki sakit hati oleh dia (si profesor X). Dia pernah sebut Aki seorang ‘pembohong’ (liar)”, Aki berkata sambil mengekspresikan rasa sakit hati yang masih dirasakannya. Lanjutnya:
Aki dulu pernah diundang untuk menghadiri suatu pertemuan diluar kota (mungkin sekitar tahun 1980an). Dia minta Aki untuk datang ke kota tersebut dan janjian bertemu dengan dia di sana. Aki kemudian berangkat ditemani Nini kesana untuk memenuhi undangan, tapi ada musibah dijalan (mobil mogok) yang membuat Aki tidak bisa memenuhi undangan tersebut. Beberapa hari kemudian Aki menemui dia dan menjelaskan apa yang terjadi, tapi tidak dia tidak mau percaya dengan apa yang Aki katakan. Dia (profesor) malah panggil Aki ‘liar’. Aki sudah minta maaf sebelumnya, tetapi dia tidak mau terima dan terus menyebut aki ‘liar’. Aki sakit hati dan sejak itu tidak mau lagi join bekerja lagi dengan dia
Dalam adat istiadat masyarakat Barat, menepati janji dan tepat waktu adalah etika yang sakral. Jika seseorang datang terlambat atau absen dalam sebuah meeting atau janji, maka ia dianggap sebagai orang yang kasar (rude). Apa yang terjadi pada Aki adalah sebuah musibah. Di masa dimana handphone atau gadget semacamnya belum ada, sulit untuk bisa berkomunikasi dengan siapapun dan mengatakan bahwa ia sedang mengalami masalah di tengah jalan (mogok) yang menghalanginya bisa memenuhi undangan tersebut. Meskipun kejadian ini sudah berlalu cukup lama, Aki masih mengingatnya sebagai masa yang menyakitkan. Karena pertama ia dituduh ‘pembohong’, dan kedua, ia mesti kehilangan sahabatnya karenanya.
Pada tahun 2008, saya kembali main ke rumah Aki dan kali berbicara tentang sejarah Indonesia. Mulai dari era Sukarno sampai runtuhnya era Orde Baru Suharto. Meskipun Aki sudah sangat terlihat tua dan rapuh secara fisik, saya masih bisa melihat dan merasakan api semangat Aki yang masih membara ketika ia berbicara. Bahkan untuk seorang yang tua seperti beliau, ia masih bisa membuat candaan-candaan yang siapapun bisa dibuatnya tertawa. Seperti ketika saya bercerita tentang bagaimana Suharto ketika turun, tidak dikenai hukuman apapun oleh negara. Aki kemudian nyeletuk,
Suharto tidak dipenjara? Jangan lah.. Suharto jangan dipenjara. Kasihan dia kalo dipenjara… Kubur aja hidup-hidup..
Spontan saya dan kawan saya ngakak mendengar celetukan Aki.
Ah.. Aki. Betapa saya merindukan Aki. Saya masih ingat, hampir satu tahun semenjak itu, saya sempat menghilang karena ada perubahan besar dalam hidup saya yang mendorong saya harus kembali ke Indonesia dan menunda studi saya. Ketika saya kembali pada tahun 2009, keadaan Aki dan Nini berubah drastis.
Aki menjadi terlihat semakin tidak berdaya secara fisik. Ia duduk di kursi roda dengan punggung yang semakin merunduk. Di kedua bola matanya semakin terlihat irisan matanya dilingkari garis putih. Dan terkadang kedua tangan Aki sering bergetar karena sakit yang dideritanya. Meskipun demikian, otak Aki masih bekerja dengan sangat baik. Sambil sedih dan kecewa berat, Aki kemudian berkata pada saya,
Aki menjadi Invalid! Gara-gara Aki jatuh di tangga (depan rumahnya), kini Aki menjadi Invalid dan tidak bisa apa-apa.
Saya saat itu dapat merasakan bagaimana ia sangat kecewa dengan kondisi tubuhnya yang tidak bisa lagi mengakomodir keinginannya untuk terus beraktivitas seperti orang lain pada umumnya. Ia sangat kecewa karena tubuhnya tidak bisa lagi mengakomodir keinginan untuk terus berkarya. Tubuhnya invalid, tapi semangatnya tampak terus bersinar di mata saya.
Bayangkan oleh anda, bagaimana perasaan anda jika hidup dalam sebuah tubuh yang sudah tidak mampu berbuat banyak karena faktor usia, namun semangat untuk berkarya dan melakukan sesuatu masih terus hidup dan tak berubah? Itulah kira-kira yang dirasakan Aki saat itu.
Sebaliknya, kondisi fisik Nini Ati jauh lebih sehat daripada Aki. Dia masih bisa merawat Aki dan membuatkan air teh ketika saya datang berkunjung. Hanya saja, Nini sudah mulai pikun dan selalu mengulang-ngulang apa yang sudah diucapkannya sebelumnya. Hampir setiap 5 menit Nini Ati selalu bilang “Anak Nini (Bi Tati) menikah dengan anak Jendral (orang Australia/orang tuanya Jamie Aditya), tapi sekarang dia sudah gak ada”. Terus dan terus, ia mengulang ucapan ini. Terkadang sambil menunjukkan fotonya Bi Tati yang menikah dengan anak Jendral keturunan Australia ini. Bisa dilihat bagaimana Nini begitu kehilangan.
Pada tanggal awal Juli 2010, akhirnya saya berhasil menyelesaikan studi saya di ANU. Tapi tidak lama kemudian, saya mendapat berita sedih melalui milis Perhimpunan Pelajar Indonesia-Australia di Canberra (PPIA-Canbera), bahwa Aki Achdiat telah meninggal pada 8 Juli 2010 di Jindalee Nursing Home, Canberra karena serangan jantung. Aki wafat sebelum saya diwisuda. Saya merasakan kesedihan yang sangat mendalam. Ketika saya diwisuda dan dihadiri oleh Bapak dan kakak saya yang tinggal di Melbourne, kami langsung berziarah ke makam Aki. Ketika disana, saya masih tidak percaya bahwa Aki yang selalu senang bercanda tawa, dan berbagi obrolan intelektual kini terbujur kaku didalam kuburan dengan taburan bunga diatas kuburannya. Sesekali saya mengusap air mata saya, dan teringat pesan-pesan dan nasihat yang pernah disampaikannya ketika saya terakhir bertemu dengannya.
Hingga sekarang, saya tetap mengingat Aki sebagai sesosok api yang tak pernah padam hingga akhirhayatnya. Selain meninggalkan Bi Tati di Jindalee Nursing Home dan beberapa anak dan cucu cicitnya, Aki meninggalkan beberapa karya yang akan selalu hidup di kalangan pecinta sastra, antara lain Polemik Kebudayaan (1948), Atheis (1949), Bentrokan dalam Asrama (drama, 1952), Keluarga Raden Sastra (1954), Pakaian dan Kepalsuan (1956), Keretakan dan Ketegangan (kumpulan cerpen, 1956), Kesan dan Kenangan (1960), Debu Cinta Bertaburan (Novel, Singapura, 1973), Belitan Nasib (kumpulan cerpen, 1975), Pembunuhan dan Anjing Hitam (kumpulan cerpen, 1975), Pak Dullah in Extrimis (drama, 1977), Si Kabayan, Manusia Lucu (1996), Si Kabayan Nongol di Zaman Jepang, dan Manifesto Khalifatullah (novel, 2006).
Orang Bandung aseli yang gemar mendengar dan bermain musik, membaca dan hunting buku, menonton dan mengoleksi gambar bergerak. Kini sedang menimba ilmu di Ostrali.
harusnya ada gelar pahlawan sastra nasional yah 🙂
like….
Sedih. Jadi ingat eyang kakung saya yang juga masih punya semangat yang tinggi di usia 84 dan baru saja lulus S2 cumlaud. Kami ketemunya cuma lebaran saja 🙁
By the way, jadi anda pun dari kecil tidak mengenal Jamie Aditya (I am one of his fans 🙂 ) secara langsung yang ternyata sepupu anda sendiri? Hmmm.. So unique ya. Tetapi benar juga, buah itu jatuh tidak jauh dari pohonya. Keluarga anda termasuk orang2 yg talented. Nice!! 🙂
Salam kenal ?
Kita berarti saudara. Saya juga sedih ketika Aki meninggal. Tapi bersyukur sekali karena sempat membuat buku dengan Aki sebelum wafat. Memang semangat Akintidak pernah padam. Nuhun untuk tulisannya ya?