Murder Ballads: (Ceritanya) Perspektif Sosio-Musikologi

Musik merupakan sebuah institusi sosial–dan sebagaimana institusi pada umumnya, selalu ada aturan, pakem, stuktur, juga fungsi yang melekat. Sialnya, karena setiap institusi merupakan konstruksi sosial, maka penentuan nilai ‘baik dan buruk’ adalah pergulatan tanpa ujung. Demikian pula musik; keberadaanya bisa menempati posisi adiluhung setinggi awan-gemawan, tapi juga bisa ditemukan teronggok di selokan. Musik bisa ditemukan di gereja, namun juga ada di selubung sel penjara. Untuk keterkaitan musik dan spiritualitas, percaya deh, sudah banyak diperbincangkan–termasuk dalam beberapa tulisan terdahulu webzine ini. Namun, perhatian bagi musik yang teronggok di gorong-gorong, lagu-lagu aksi seorang bromocorah, atau senandung terakhir sebelum tiang gantungan, masih sangat minim. Tafsir untuk yang satu ini masih kalah jumlah walau praktiknya adalah hal yang lumrah. Saya sendiri sering membayangkan, jangan-jangan dibalik aksi Cain yang membunuh Abel, ada semacam ‘soundtrack’ (entah nyanyian burung atau sekedar gemeretak tanah yang terbelah :D) yang menjadi latar dan mendorong terjadinya pembunuhan pertama yang tercatat dalam kitab suci tersebut. Atau sebagaimana disampaikan oleh Gioia (2019), ‘the real history of music is not respectable’.

Untungnya, mengutip Aldous Huxley, selalu ada pintu masuk ke [alam] persepsi lain. Dan esay Budi Warsito dalam Zine Mancis adalah salah satunya. Ketika saya di ajak untuk bergabung sebagai penanggap tulisannya yang bertema kriminalitas yang terangkum dalam syair-syair lagu di Indonesia, saya langsung teringat satu kajian sosio-musikologi yang secara khusus membahas musik-musik bertema kejahatan atau dikenal dengan istilah musicriminology. Saya sendiri tidak tahu banyak soal musik Indonesia–untuk itu, saya serahkan ke Mas Budi dan para pengamat musik Indonesia sekalian saja. Tapi seperti biasa, dengan bekal rasa nekad dan sedikit tidak tahu malu, saya memberanikan diri untuk ikut nimbrung dan membagikan apa yang menjadi ketertarikan saya.

Sampailah penelusuran saya pada buku berjudul Crime and Music (2021), sebuah kumpulan tulisan yang digawangi dua professor kriminology, Dina Siegel dan Frank Bovenkerk, yang menelusuri perubahan konteks musik, dari fungsi struktur komunikasi (Georg Simmel), rasionalitas (Max Weber), artistik (Adorno), alat pembentukan kelas sosial (Pierre Bourdieu), musik sebagai budaya (Peter Manuel), hingga pencabangannya di ranah sosio-musikologi (David Herbert). Melalui konteks yang terakhir inilah, yaitu sosio-musikologi, diskursus antara musik dan kriminalitas mendapatkan ruang. Siegel dan Bovenkerk (2021) merangkum setidaknya lima pola umum dalam eksplorasi hubungan kompleks antara musik dan kriminalitas, antara lain: (1) kriminalisasi musik oleh kelompok atau tatanan nilai tertentu, (2) musik dan narasi kekerasan atau anti-kekerasan, (3) musik dan kejahatan terorganisir seperti halnya genre narcocorridos, (4) Musik yang mendukung genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan, dan (5) musik sebagai bentuk perlawanan.

Rasa-rasanya, kita tidak akan kehabisan contoh untuk kelima pola di atas. Beberapa diantaranya dapat diingat dengan mudah, seperti:

  • Punk adalah contoh bagaimana musik dikriminalisasi dan menjadi simbol deviasi sosial baik karena lirik, lagu, ataupun atribut disekitarnya.
  • Terdapat juga musik atau lagu bertema kekerasan atau dengan latar penjara (salah satu contohnya bisa ditanyakan pada fans Metalica yang tentu tidak asing dengan lagu St. Anger; lewat lagu ini, Metallica berhasil menyajikan emosi pengap serta kemarahan tertekan sosok-sosok di balik jeruji). Juga musik dan lagu tentang hukuman mati (seperti eksekusi Kusni Kadut, sosok antihero yang menjadi inspirasi bagi banyak syair lagu, dibahas lugas oleh Mas Budi dalam esainya)
  • Musik atau lagu dapat pula berkelindan dengan identitas ultra tertentu, seperti fenomena fascist neofolk, yang jadi playist wajib skinhead di seantero dunia.
  • Jangan lupa musik atau lagu rap ala gangsta atau drill music yang memang menjadikan kekerasan jalanan sebagai narasi utama dalam lirik lagu mereka.
  • Terakhir, namun tidak kalah menghentak, adalah musik atau lagu protes (yang tentu rentan dikriminalisasi oleh “sistem”). Untuk bentuk satu ini favorit saya adalah jajaran musik eksperimental yang lahir di theater bawah tanah Berlin, zodiac free arts club, yang kental dengan protes-protes politik di akhir era 1960an.  

Gambaran di atas cuma sekelumit saja, pada kenyataanya, irisan antara musik, lirik dan kriminalitas atau deviasi sosial dapat muncul dalam berbagai bentuk. Bahkan ada juga lagu yang relatif “lugu dan tidak berdosa” tapi memunculkan imaji kriminalitas atau kekerasan karena penggunaannya dalam film atau persinggungannya dengan fenomena tertentu. Simak saja lagu Singing in the Rain-nya Sinatra. Lagu ini akan bermakna lain setelah kita menonton Clockwork Orange besutan Stanley Kubrick. Atau–ambil contoh lainnya–bagaimana album satir The Idiot karya Iggy Pop menjadi mencekam ketika Ian Curtis, vokalis Joy Division, memilih untuk memutar album tersebut kala ia mengakhiri hidupnya.

Dalam konteks ini, musik, dan syair dalam lagu, tidak lagi berdiri sendiri. Ia masuk ke dalam ruang interpretasi, pengalaman, dan interaksi sosial. Sehingga lirik the Gift karya the Velvet Underground, bukan lagi soal kejutan kurang menyenangkan, tapi pembunuhan yang tidak disengaja. Atau lagu Shoplifters of The World Unite karya The Smiths bukan hanya soal tips dan trik ‘mengutil’, tapi protes politik atas kondisi ekonomi Inggris di bawah rejim Thatcher.

Lalu mengapa kita begitu tertarik pada keterhubungan antara musik dan kriminalitas? Salah satu jawaban adalah: karena kita kerap menaruh rasa penasaran pada apa yang di luar kebiasaan, dalam hal ini kriminalitas dan deviasi sosial. Namun, tidak semua orang punya nyali untuk berhadapan langsung dengan bentuk-bentuknya yang vulgar nan brutal. Alhasil, kita mencari tahu dari sudut lain. Disinilah musik juga lagu memainkan peran dengan memberikan sebuah ‘jarak aman’, dimana kita dapat mengenali, memaknai, dan mencoba memahami ragam bentuk kriminalitas.

Dalam esay berjudul Bandit-Bandit di Syair Lagu Indonesia (2024), Budi Warsito memberikan beberapa contoh, baik berupa syair-syair karikatur Benyamin hingga balada tentang pesakitan hukuman mati. Keduanya memiliki benang merah, karena terlepas dari genrenya, musik atau syair bertema kriminalitas sama-sama menyajikan hubungan antara manusia dengan budaya, politik, dan kondisi sosial. Perdebatan hukuman mati di Indonesia, misalnya, kerap berada pada titik jenuh dan menghilang sejalan dengan hadirnya fenomena lain yang lebih menarik perhatian. Namun melalui syair lagu, emosi dan respons masyarakat atas eksekusi mati, terekam dan menjadi artefak memori jaman yang berharga. Dalam konteks musicriminology, fungsi musik bukan hanya menggambarkan potret sosial, tapi juga berupaya memahami bagaimana musik mampu menjadi katalis moral panik, hingga justifikasi (setidaknya pemakluman) atas sebuah tindak kejahatan.

Disinilah kita harus mengakui peran dari musisi atau lyricist yang ikut andil dalam melakukan re-interpretasi tindakan kriminal. Banyak dari syair tentang kriminalitas–seperti yang diangkat Budi Warsito dalam esanyanya–disajikan dalam kadar yang begitu humanis. Konsekuensinya: kriminalitas bukan lagi soal ‘angka yang harus dikurangi’, tapi sebuah ‘wajah’ dengan ragam kisah dibelakangnya–atau dalam istilah musicriminology, ‘sebuah latar suara–a sonic background’. Ambil contoh Joe, dalam Hey Joe-nya Hendrix; melalui lagu tersebut, kita memahami, bahkan memaklumi mengapa sebuah kejahatan terjadi: ‘I’m going down to shoot my old lady. You know, I caught her messing around with another man’. Pada posisi inilah musicriminology bersuara lantang: yaitu tentang bagaimana musik memberikan ‘petunjuk’ atas sebuah tindakan kriminalitas.

Lalu, adakah musik atau lagu genre tertentu yang kerap mengangkat tema kriminalitas dalam lirik-liriknya? Eleanor Peters dalam The Use and Abuse of Music (2019) berpandangan bahwa terdapat beberapa genre yang mampu memunculkan agresivitas bahkan mendorong kekerasan, contohnya Heavy Metal atau musik Oi! yang mempopulerkan the white hate (walaupun menurut saya pendapat ini terlampau mengeneralisir). Kriminalitas dan agresivitas di seputaran genre tersebut muncul karena musik senantiasa melahirkan subkultur; dan Peters mengajak kita membayangkan, subkultur macam apa yang hadir dari lirik-lirik penuh kebencian. Namun, argumen Peters nampaknya masih memiliki kelemahan ketika dihadapkan pada konteks musik keagamaan tertentu yang mampu mendorong aksi terror bahkan bom bunuh diri.

Dengan demikian, walaupun terdapat upaya kolektif lintas disiplin untuk meletakkan jangkar keilmuan musicriminology, dapat dikatakan bahwa genre musik sulit untuk dijadikan patokan untuk mengenali emosi dan pengalaman. Karena bagaimanapun, kriminal atau bukan, music is in the ear of the beholder.

Catatan:
Esay ini merupakan sambung obrol dari sesi diskusi publik beberapa lalu yang diselenggarakan Banana Publisher tentang esay karya Mas Budi Warsito bertajuk ‘Bandit-bandit di Syair Lagu Indonesia’, Mancis, Banana Publisher (2024).

Sumber Gambar: The Old Guitarist, Pablo Picasso (Wikimedia Commons)

Sumber Bacaan:
Gioia, T. (2019). Music. A Subversive History. Basic Books.

Peters, E. (2019). The Use and Abuse of Music. Emerald Publishing.
Siegel, D., & Bovenkerk, F. (Eds.). (2021). Crime and Music. Springer.
Warsito, B. (2024). Bandit-bandit di Syair Lagu Indonesia. dalam Mancis. Banana Publisher

Share on:

Leave a Comment