Edward, katakan saja memiliki hubungan ala punk-rock dengan Tuhan. Edward adalah seorang pemuda yang memiliki beribu akal bulus, punk-rock adalah gerakan anti kemapanan untuk membebaskan diri dari sentimentalia rock tahun 70-an[1], sedangkan Tuhan, adalah sebuah pengalaman imanen yang tidak pernah terpikirkan oleh Edward sebelum ia bertemu Alice. “Edward dan Tuhan” sendiri merupakan terjemahan dari cerpen karya Milan Kundera “Edward and God” yang terangkum dalam Laughable Loves[2], sebuah kumpulan cerita satir cinta bersama tiga penulis lain, yaitu Alice Munro, Gabriel Garcia Marquez, dan Naoya Shiga. Keempatnya memiliki latar belakang politik dan kultural yang berbeda, namun justru perbedaan tersebut memperkuat idiom bahwa dimana-mana cinta sama saja, penuh lelucon konyol yang membuat siapa saja bisa tersenyum di akhir cerita – sebuah kesempatan untuk menertawakan diri sendiri. Yang menarik dari “Edward dan Tuhan” Milan Kundera adalah kepiawaiannya yang berhasil membenturkan tiga mitos paling sakral umat manusia: Tuhan, Cinta dan Ideologi – lalu menjadikannya sebuah lelucon.
Cerita ini bersetting di Cekoslovakia di bawah rejim komunis pada pertengahan 1960-an, setting ini menjadi begitu penting bagi Kundera sebagai bentuk kritik bagi kolektivisme masyarakat komunis yang seringkali harus bersinggungan dengan pandangan individual, sebuah tema yang kerap muncul dalam karyanya yang lain seperti The Joke ataupun dalam karya fenomenalnya, The Unbearable Lightness of Being[3]. Begitupun dalam “Edward dan Tuhan”, gambaran tentang Tuhan tidak pernah menempati ruang kosong [politik]. Kisah ini berawal ketika Edward datang ke sebuah kota kecil untuk mengajar. Mendapatkan pekerjaan dalam kondisi masyarakat saat itu cukup sulit, tapi untuk itu, Edward tidak menemui masalah, ia dengan cerdiknya memanfaatkan kelemahan kepala sekolah yang haus akan darah muda untuk mengamankan posisinya. Pekerjaan Edward berjalan lancar, sampai plot cerita mempertemukannya dengan Alice, si gadis relijius. Disinilah konflik mulai (sedikit) agak rumit bagi Edward, karena diantara dia dan Alice, berdiri sosok Tuhan yang melarang Alice melakukan perzinahan – sedikit rumit, karena Tuhan dan segenap eksistensinya tidak terlalu dipikirkan Edward, kebingungannya lebih mengarah pada bagaimana mengakali Alice agar ia mau bercinta dengannya.
Untuk tujuan tersebut, Edward menggunakan pendekatan yang sama seperti ketika ia mendapatkan pekerjaan. Perbedanya adalah, jika untuk menggaet Sang Kepala Sekolah Edward memproklamirkan diri sebagai atheis-komunis tulen, maka untuk menggaet Alice, Edward adalah seorang pemuda yang relijius sampai ke tulang-benulang. Dalam usahanya ini Edward berhasil memanfaatkan Tuhan untuk menarik perhatian Alice – walau diiringi derita untuk memendam hasratnya –, sampai suatu saat Kepala Sekolah memergokinya keluar dari gereja dan alhasil ia mendapatkan ancaman pemecatan. Menghadapi hal ini, Edward sekali lagi memanfaatkan Tuhan, ia menyatakan kepada Sang Kepala Sekolah bahwa ia begitu tersiksa dalam dilemma antara kepercayaannya dan logika atheism yang diagungkannya. Pengakuan (omong kosong) ini ternyata membuahkan hasil, iba sang Kepala Sekolah, dan tubuh Alice – karena Alice ternyata begitu mengagumi keberanian Edward dan menganggapnya sebagai martir, sebuah keputusan yang membuat Edward bertanya-tanya, “Mengapa penderitaannya karena kesetiaan kepada keyakinan harus berakibat ketidaksetiaan Alice kepada hukum Tuhan?”.
Pada titik inilah Kundera mengingatkan kembali bahwa cerita ini adalah tentang Edward dan Tuhan. Karena setelah penyerahan diri Alice, perempuan muda tersebut tidak lagi penting. Gambaran ini adalah sebuah lelucon umum yang dapat dijumpai dimanapun, tapi Kundera tidak berhenti disana, karena bukan hanya Alice yang kehilangan eksistensi dalam pandangan Edward, tapi juga seluruh himpitan nilai kolektif masyarakat komunis yang tidak lagi ia pedulikan. Disinilah kemudian kita menemukan sebuah kisah cinta aneh antara Edward dan Tuhan, sebuah cinta ala punk-rock. Edward, layaknya seorang musisi punk-rock, menentang kemapanan Tuhan dan otoritas agamanya, tidak dengan menghapuskan Tuhan dari pikiran, tapi dengan mengolok-ngolok dan memanfaatkan untuk kepentingannya – sebagaimana kita tahu bahwa akar musik rock tetap diperlukan punk sebagai landasan deviasi, norma untuk dibengkokkan – begitupun pemahaman Edward akan Tuhan. Ekletisme yang pada awalnya merupakan bentuk pragmatisme dari persinggungan yang tidak disengaja, membawa Edward kedalam sebuah pemahaman tentang Tuhan yang jauh dari konvensional. Pada akhirnya, Edward larut dalam kisah cinta yang absurd, karena menurutnya “Tuhan semata-mata ada untuk mengganggu perhatian”. Sebuah ramuan Kundera akan pandangan tentang Tuhan, beserta segala lelucon didalamnya.
Referensi:
[1] Hebdige, Dick, 2007, “The Subculture of British Punk” dalam Rock History Reader, Routledge, New York
[2] Diterjemahkan menjadi Kisah-Kisah Cinta Ganjil, 2006, Banana Publisher
[3] Thomas, Robert, Milan Kundera and The Struggle of the Individual, 2007, Libertarian Alliance
kontak via editor@antimateri.com
God save Edward 😀