Debu, Duka, Dsb: Sebuah Pertimbangan Anti-Theodise

God is a concept by which we meansure our pain
—John Lennon (1940-1980)

Saya mencoba menerka, kira-kira apa yang sedang dialami dan dipikirkan oleh Lennon ketika melontarkan pernyataan bernada sinis itu. Mungkinkah pada saat itu dia gamang dengan Tuhan dan desainnya yang adil? Atau mungkin saja pada saat itu Lennon sedang dalam keadaan tertekan sehingga ia mulai ragu dengan Tuhan yang pada akhirya membuatnya bekesimpulan seperti itu. Tapi sepertinya Lennon terlalu dangkal pada saat itu, dia lupa bahwa definisi “keadilan” dan “Tuhan” tak bisa diletakkan pada skala rasionalitas manusia. Selalu ada hal yang luput dari pengetahuan manusia.

Debu,Duka,Dsb.

Berbeda dengan Lennon, Goenawan Mohmad [ selanjutnya disingkat “GM” ] lewat bukunya “Debu,Duka,Dsb: Sebuah Pertimbangan Anti-Theodise” berusaha merenungi konsep keadilan Tuhan itu dengan renungan yang lebih mendalam. Konsep Theodise sendiri pada mulanya diperkenalkan oleh Leibniz lewat esainya yang berjudul Essais de Theodicee dalam bahasa perancis. Kata “theodise” berasal dari theos dan dike, “Tuhan” dan “keadilan”. Berangkat dari situ, GM berusaha merangkai hubungan antara keburukan, kekejian, dan bencana dengan Tuhan dan desannya yang adil.

Naskah buku ini sendiri ditulis oleh GM setengah tahun setelah tsunami menghantam Aceh dan beberapa tempat lain di sekitar Lautan Hindia.  Setelah bencana dahsyat yang menyentak pikiran dan perasaan itu, tentu saja banyak orang yang gamang dan bergulat dengan pertanyaan: Apakah Tuhan itu adil? Dan pertanyaan semacam ini tak bisa dijelaskan dengan jawaban yang tegas. GM berusaha menggiring kita pada kesadaran kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang pasrah dengan segala kehendaknya. Walaupun dalam buku ini ada kesan  fatalistik tapi GM juga tak hendak mengutuhkannya. GM juga memberi optimisme dalam setiap penutup. Manusia tetap bisa berharap.

Pada setiap fragmen tulisannya, GM sering membukanya dengan potongan-potongan sajak eksistensialis Chairil Anwar sebagai pengantar—dan tampaknya judul buku ini juga diilhami oleh salah satu sajak Chairil. Lalu ketika sudah bergulat dengan topik theodise ini, dia mencoba menautkannya dengan beberapa nukilan kisah.  Salah satunya adalah mitos Sisyphus dari Albert Camus.  Sisyphus yang dikutuk oleh para dewa untuk terus menerus mengangkat batu ke atas bukit adalah gambaran dari absurditas kehidupan. Tetapi walaupun begitu, Sisyphus tetap bahagia. Meskipun dia tahu jika itu pekerjaan yang sia-sia. Meskipun itu mustahil dan absurd.

GM sering memasukan nukilan kisah Sisyphus ini dalam beberapa tulisannya [ terlepas dari polemik yang terjadi antara GM dengan Martin Suryajaya ] dan rasa-rasanya kisah ini ditujukan untuk menuntun kita pada posisi sebagai seorang makhluk dihadapan Sang Pencipta Yang Maha Adil. Kita tentu tetap berjuang untuk bahagia walaupun pada akhirnya dibalik segala kehendaknya, entah itu bencana tsunami, gempa bumi, gunung meletus, kita menemukan kekejian, kepedihan, orang-orang baik yang mati. Tentu itu bukan celah dari desain Tuhan yang adil. Manusia adalah makhluk yang dhaif, dan Tuhan tetaplah adil walaupun Manusia tak bisa melihat letak keadilan itu. Dan sepertinya GM juga mengamininya seraya berbahagia :

“Walhasil, debu itu tak hanya terserak. Duka itu menghasratkan penebusan, meskipun penebusan itu bertaut dengan yang absurd dan mustahil. Namun, dengan hasrat yang tak pernah berhenti, manusia tak pernah tanpa empati. Juga tak pernah tanpa ironi.”

Buku ini bisa jadi rekomendasi untuk anda sekalian, anda yang sedang mencari jawaban dari bencana yang akhir-akhir ini melanda negeri tercinta ini. Apakah Tuhan adil?

           

Keterangan

Mohamad, Goenawan, 2013, Debu, Duka, Dsb: Sebuah Pertimbangan Anti-Theodise, TEMPO pt. grafiti pers

Share on:

7 thoughts on “Debu, Duka, Dsb: Sebuah Pertimbangan Anti-Theodise”

  1. Hidup dengan janji berarti hidup dalam iman, tapi bukan iman pada Tuhan yang telah selesai diketahui. Ini iman dalam kekurangan dan kedaifan—ikhtiar yang tak henti-hentinya, sabar dan tawakal, karena Tuhan adalah Tuhan yang akan datang, Tuhan dalam ketidakhadiran. Dari sini kita tahu para atheis salah sangka: mereka menuntut Tuhan sebagai sosok yang hadir dan ditopang kepastian. Sebenarnya mereka juga terkena waham, tertipu berhala.

    (Al-Ghazali dalam al-Maqsad al-Asnâ) | mungkin lebih tepatnya Teologi skeptis 😀 hehe

  2. mengesampingkan GM, saya keberatan konsepsi lenon di-sinis-i mad hehehe, kalo kata dylan mah:”don’t critisize what you don’t understand” cenah. ps: komenku yang awal becanda lho ya, jangan dianggap serius :p

  3. waduh, punten pisan atuh teh. aku mah gak ada niat ngeritik si lennon sbenernya. itu buat kalimat pembuka doang sebenernya. dan aku yakin, lennon itu bukan atheist, dia agnostik. karena beriman pada Tuhan tuh keniscayaan kan hehe. punten pisan, itu cuma intepretasi dari abg labil macam aku ini hehe.

  4. Kehidupan dunia memang absurd, tapi tidak seabsurd tulisan ini. Kenapa? Konfliktual, incommensurable, genesis, delusi.
    Pertama, contoh di paragraf awal penulis mengatakan “…dia lupa bahwa definisi “keadilan” dan “Tuhan” tak bisa diletakkan pada skala rasionalitas manusia”, namun setelahnya penulis mencoba merasionalisasikan tindakan Tuhan melalui kacamata Goenawan Mohamad.
    Kedua, pernyataan bahwa kegamangan selalu bersumber dari hubungan seseorang dengan Tuhan ataupun pengertian seseorang mengenai Tuhan dan keadilannya, tidak akan selalu berlaku semua orang apalagi pada seorang atheis seperti Lennon. Imagine ciptaan Lennon sering dianggap sebagai Indonesia Raya-nya kaum atheis, meletakkan humanisme setingkat lebih tinggi dari pada segala ideologi lain semacam agama, nasonalisme ataupun materialisme. Dua pandangan yang incommensurable berarti dua pandangan tersebut tidak bisa diletakan pada standar pengukuran yang sama.
    Ketiga, tulisan ini seperti mencoba mencabut segala pertimbangan baik itu kondisi sosial, historis, ideologis dan lainnya, sehingga memungkinkan terjadinya kesalahan interpretasi maksud dari seorang penulis dan filsuf yang diungkapkan. sebagai ilustrasi, secara sosial pengutipan mitos sisyphus oleh Camus dipakai untuk menentang pandangan anak muda yang merasa kehidupannya absurd mempertimbangkan melakukan bunuh diri seperti yang di sarankan oleh schopenhauer. Penulis yang mencoba untuk mengkonfirmasikan adanya pemikiran lebih dalam–dan juga tidak gamang–yang berbeda dengan Lennon, mengesampingkan keseluruhan essaynya Camus mengenai eksistensi manusia berkaitan masalah bunuh diri yang diagungkan oleh filsuf schopenhauer. Fokus dari essay tersebut bukanlah hubungan antara sisyphus dengan dewa yang menghukumnya, tetapi lebih kepada eksistensi manusia yang sebagaimana absurdnya kehidupan didunia, Camus selalu melihatnya lebih berharga daripada kematian. Secara historis, mitos sisyphus telah ada sejak zaman Yunani Kuno, oleh karenanya jika menginginkan interpretasi berbeda dengan camus, ada baiknya, jika kita mengambilnya langsung dari dialog plato ataupun ovid. Secara ideologis, ada semacam ilustrasi tersirat bahwa antara GM, Camus dan Leibniz memiliki pandangan ideologis yang sama. seperti yang kita ketahui, GM seorang Sunni, Camus seorang Ateis, dan Leibniz seorang Pananteis.
    Keempat, tulisan ini mencoba memberikan jawaban atas keterkaitan antara bencana yang melanda negeri ini dengan keadilan Tuhan. Dengan pandangan seperti itu sepertinya penulis terlalu berpikir dalam, dan tidak puas hanya jawaban sederhana seperti “shit happens”. Mengharapkan jawaban dari fisika, geologi, astronomi, iklim, bisa dimaklumi. dari Tuhan?

Leave a Comment