Aneh. Namun pada suatu titik, keanehan berubah menjadi sebuah hal yang lumrah karena terulang secara konstan dan tidak ada (inisiatif) perubahan. Kondisi ini terasa dalam banyak hal, salah satunya dalam kajian kebudayaan nusantara. Cobalah Anda telusuri dari buku ke buku, dari dokumen ke dokumen, dan Anda akan terhenyak (atau mungkin biasa saja) ketika menemukan bahwa penelitian tentang budaya nusantara kebanyakan dilakukan bukan oleh pribumi. Sebutkanlah sederet nama antropolog Indonesia seperti Clifford Gertz, Benedict Anderson, Niels Mulder, Elizabeth Inandiak, Claire Holt – yang semakin menjelaskan bahwa pribumi menjadi minoritas disini. Memang tidak ada yang salah dengan para Indonesianist tersebut, bahkan mungkin bagi sebagian hal ini adalah lumrah mengingat konstruksi sejarah bangsa dan eksotika (timur) yang selalu menjadi magnet bagi kutub lawannya. Ya, teori selalu menjadikan segalanya lumrah, dapat diterima. Namun marilah sejenak bertingkah naif layaknya anak-anak, yang dengan polos dapat mengatakan, “kok tarian Keris Bali yang ngomong Inggris?”.
Namun, terlepas dari gelitik yang muncul di atas, salah satu sumber referensi tentang kebudayaan nusantara, khususnya kebudayaan Bali, berhasil didokumentasikan dengan sangat baik oleh Margaret Mead, seorang antropologi dari Amerika yang banyak mempelajari tentang kebudayaan Timur. Beberapa bukunya Coming of Age in Samoa (1928) dan Growing Up in New Guinea (1930) mengkaji secara khusus kehidupan di wilayah Pasifik. Dan pada kunjungannya ke Indonesia, saat itu Hindia Belanda, dia tertarik untuk mendalami ritual Trance yang dilakukan di sebuah desa di Bali yang kemudian didokumentasikan dalam sebuah film yang berdurasi sekitar 21 menit. Film ini memberikan sebuah sumbangan berharga dalam dokumentasi budaya nusantara, khususnya budaya ritual Tari Keris atau Trance di Bali.
Film dokumentasi ini dimulai dengan keterangan tentang ritual Trance, yang dalam budaya Tari Bali dikenal dengan “tari keris”. Dalam tarian ini, pria dan wanita, dalam keadaan trance – sebuah ekstasi pantheisme, dimana kesadaran diambil alih oleh sesuatu di luar dari dirinya – menusukkan keris tajam ke dadanya. Di Bali, trance memiliki makna spiritual, sebuah pertarungan antara baik dan buruk dalam diri manusia. Untuk itu simbolisasi budaya Bali tentang keburukan dan kebaikan muncul pada awal ritual, Calon arang dan Barong, yang menari untuk membuka gerbang spiritual dan menghantarkan penari keris kedalam kondisi trance. Ritual trance dilakukan dibawah pengawasan seorang tetua yang bertugas membantu para penari untuk masuk dan keluar dari kondisi trance. Dan dalam kondisi ini, keris yang mereka tusukkan ke dada masing-masing, tidak menyebabkan luka sama sekali. Tradisi Bali menyebut ritual ini dengan “Ngurek” atau “Ngunying” yang berasal dari kata melubangi atau menusuk. Tradisi ini terus dipertahankan, bahkan di beberapa Desa menjadikan Ngurek sebagai ritual yang wajib dilaksanakan sebagai pengejawantahan pengabdian bagi Sang Hyang Widi.
Dokumentasi ini diambil di desa Pagutan pada tahun 1937, namun baru dirilis secara resmi pada tahun 1952. Dalam kebudayaan Indonesia sendiri, ritual Trance memiliki berbagai varian dan menempati posisi sakral sebagai upaya manusia untuk mencapai ekstase keilahian atau sebagai bentuk komunikasi dengan hal di luar dari dirinya. Jatilan dari jawa tengah dan Reog dari Ponorogo adalah bentuk lain dari ritual trance yang berkembang di Indonesia. Memang, untuk bentuk trance di atas atau yang lainnya pun telah banyak dikaji oleh peneliti dari luar Indonesia. Untuk sumbangsih tersebut apresiasi layak untuk diberikan. Namun tidak ada salahnya untuk membuat pengecualian bagi sesuatu yang lumrah. Bahwa adalah sangat baik kiranya ketika kebudayaan nusantara dikenal lebih baik oleh anak-anak bangsanya sendiri.
kontak via editor@antimateri.com
Wuih, tulisan yang menarik. Berdasarkan suatu penelitian, ternyata banyak sekali orang Indonesia yang melakukan penelitian dan tulisan tentang negerinya sendiri (politik, ekonomi, budaya, hukum, dan lain-lain), namun tidak pandai menjelaskannya lewat tulisan-tulisan sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para indonesianis yg Ali sebut diatas. Mungkin persoalannya terletak pada bahasa, keluwesan menulis, metodologi yang digunakan untuk membahas persoalan, dan keterbatasan untuk berpikir sebagai “orang dalam”.
penelitian siapa, siapa saja? Mungkinkah juga ada alasan lainnya seperti” just simply rubbish”?
hmmm, ga juga sih, ada yang bagus seperti Darmanto Jatman, Ong Hok Kam, Kuntowijoyo, dll, yang layak diapresiasi. cuma jumlahnya aja yang minim, tapi sama sekali bukan sampah 🙂
iya setuju pap, bahkan dalam hal edward said, dia harus jadi “outsider” dulu untuk membahas bangsanya nya sendiri. tapi jika itu layak dilakukan, saya rasa tidak ada salahnya 😉
Hahaha, santai bungali.. maaf ignoran, selain minim mungkin aksesnya juga sangat sulit didapat, jadi bagi orang kampung seperti saya mereka seperti tidak eksis.. wah kayaknya menarik juga kalo ada tulisan tentang mereke, betul gak ? Silakan bung ali mau ngbalakan?