Of man’s first disobedience, and the fruit
Of that forbidden tree, whose mortal taste
brought death into the world
–Paradise Lost, Book I
Bait di atas merupakan kalimat pembuka dari kisah antihero nomor wahid karya John Milton–puisi tentang surga yang hilang dan pemberontakan Lucifer, Paradise Lost (1667). Epik ini pada mulanya dirangkai dalam sepuluh buku, namun pada terbitan ulang 1674, Milton merevisinya menjadi dua belas buku dengan tambahan argumen. Dalam perkembangan seni setelahnya, juga pada perkembangan karya populer, entah berapa banyak adaptasi yang lahir dari epik Milton: mulai dari drama, lukisan, hingga inspirasi dalam penciptaan musik. Analisis ilmiah pun tidak ketinggalan jumlahnya; beragam teori digunakan untuk mengkaji khasanah linguistik, seni sastra, hingga kajian lanskap sosial politik. Namun, tulisan singkat ini tidak akan membahas Paradise Lost melalui sisi yang terlampau rumit (seperti menggunakan teori sastra atau sebagainya), karena bagi pembaca awam seperti saya, impresi adalah segalanya. Seperti ungkapan Pullman (2005) ‘you’re already far closer to the poem than someone who sits there in silence looking up meanings and references and making assiduous notes’. Oleh karenanya, karya epik Milton akan saya jelajahi layaknya Huckleberry Finn yang berpetualang menikmati pemandangan dengan rakit yang melaju perlahan tanpa repot memikirkan tujuan. Bedanya, jika Huck mengajak pembaca menjelajah sungai Mississippi, Milton akan memandu kita dalam tur keliling surga dan neraka.
Ada trivial unik sebelum tenggelam dalam epik supra-dunia Milton: bahwa pada awalnya, tidak ada niatan bagi Milton untuk menulis tentang alusi surga dan neraka. Pada abad 17, ketika renaisans telah memasuki masa yang ajeg dan rasionalitas modern mulai memunculkan pucuk-pucuknya; penggunaan narasi biblikal adalah ketinggalan jaman. Rentang lima abad dari publikasi Divine Comedy karya Dante (1320), menjadikan epik surga dan neraka sebagai ‘a monument to dead ideas’ (Raleigh dalam Jordan, 2000). Statusnya sebagai sastrawan terkemuka menjadikan Milton paham betul akan peta sastra Inggris kala itu dan berniat membuat epik tentang pergulatan kekuasaan menggunakan alusi Raja Arthur–tema yang lekat dengan publik Inggris dan tidak out of date. Namun, pada awal prosesnnya (tepatnya 1652) Milton mengalami kebutaan dan epik raja diraja berubah menjadi epik tentang malaikat dan setan. Tidak ada pernyataan langsung dari sang pujangga tentang hubungan antara keterbatasan fisik dan arah karyanya–tapi dalam berbagai catatan yang dibuat sepeninggalan Milton, banyak yang memberi kaitan antara keduanya (Leonard, 2000). Pada kenyataannya, kritik bahwa karya Milton adalah monumen mati terbantahkan dengan sendirinya. Alih-alih terlupakan, Paradise Lost menjelma menjadi sastra yang mewakili zaman karena terbit ditengah berkecamuknya pertarungan hierarki antara Katolik dan Protestan. Pullman (2005) membuat pembacaan tentang semangat pembaharuan Milton yang tergambar melalui syair lirih Michael untuk Adam dan Hawa: ‘New heavens, new earth, ages of endless date/Founded in righteousness and peace and love/To bring forth fruits joy and eternal bliss’ (Paradise Lost, Book XII). Adapun Parry (dalam Corns, 2001) menempatkan Paradise Lost sebagai salah satu puncak sastra baroque yang berkembang pada abad 17.
Pada dasarnya, Paradise Lost merupakan kisah tentang pengusiran: atas Adam dan Hawa, dan juga sang Malaikat pembangkang (a.k.a Setan). Namun, ditengah keasyikan membaca, sebuah kesan muncul: bahwa dalam epik ini, tokoh utamanya adalah Setan, sedangkan tokoh lainnya (Tuhan, Manusia dan Malaikat) adalah pemeran pembantu saja. Ternyata kesan yang saya dapat mendapatkan konfirmasi dari pembacaan lain, diantaranya Pullman (2005) juga Abrahm & Greenblatt (2000) yang meletakkan Lucifer sebagai karakter utama dalam Paradise Lost mengacu pada proposi deskriptifnya yang melebihi deskripsi karakter lain. Sedikit saran: alangkah lebih baik jika kita tidak terjebak dalam kriteria ‘protagonist/antagonist’ ketika membaca epik Milton yang satu ini, karena nyata-nyata kita tengah berhadapan dengan kisah antihero nomor wahid.
Fallen cherub, to be weak is miserable
Doing or suffering: but of this be sure,
To do aught good never will be our task,
But ever to do ill our sole delight,
As being the contrary to his high will
Whom we resist.”
–Paradise Lost, Book I
Interpretasi Lukisan atas Kisah Antihero Lucifer dalam Epik Paradise Lost
Gambaran tentang Setan yang mengumpulkan legiun untuk melakukan pemberontakan merupakan benang merah dari keduabelas rangkaian buku Paradise Lost. Pemberontakan ini, yang tergambar jelas dalam narasi agama-agama Abrahamik, berubah menjadi aksi heroik ala rockstar yang mengguncang panggung surga, dunia dan neraka. Pullman (2005) memberikan sebuah anekdot bahwa siapa saja asyik membaca atau mendengarkan pembacaan Paradise Lost, pasti (sedikitnya) akan terbersit: ‘By God! I know not what the outcome may be, but this Lucifer is a damned fine fellow, and I hope he may win!’. Sebuah bait dapat memberi imaji atas anekdot tadi (yang juga mengingatkan pada lagu Sympathy for the Devil karya The Rolling Stones):
To be no more; sad cure; for who would lose,
Though full of pain, this intellectual being,
Those thoughts that wander through eternity,
To perish rather, swallowed up and lost
In the wide womb of uncreated night,
Devoid of sense and motion? and who knows,
Let this be good, whether our angry foe
Can give it, or will ever? how he can
Is doubtful; that he never will is sure.
–Paradise Lost, Book II
Untungnya, Pullman memberikan sebuah disclaimer penting sehingga anekdot tadi tidak perlu dibahas terlalu serius (apalagi dibawa kedalam kerangka ajaran keagamaan).
Terlepas dari impresi dan sentimen personal yang menikmati Paradise Lost layaknya buku petualangan, ternyata karya Milton memberikan sumbangsih lebih dari imajinasi dan keliaran bait. Jordan (2000) menyatakan bahwa karya Milton, khususnya Paradise Lost, merupakan ‘juru bicara’ bagi revolusi hak kemanusiaan di Inggris pada abad 17. Ia mengutip pernyataan William Haller: “His pamphlets, their influence enhanced and sustained by the poems which grew out of his revolutionary experience, would become one of the main channels by which Puritan revolutionary ideas in their most dynamic form would reach the age of John Locke”. Ketika Two Treatises of Government karya John Locke menjadi dasar bagi prinsip liberal, maka Paradise Lost karya Milton memberi landasan bagi kesadaran masyarakat tentang gagasan kebebasan alamiah manusia (the natural freedom of man). Selain prinsip kebebasan, bait dan alusi Paradise Lost juga berbicara tentang nilai individu, masalah dalam setiap relasi hierarkikal kekuasaan, maskulinitas dan feminisme, juga persepsi tentang hukum alam (natural law) (Jordan, 2000).
Melihat pengaruhnya yang luas, tidak ayal apabila Paradise Lost dinobatkan sebagai salah satu karya penting dalam sejarah sastra dunia. Namun, bagi saya pribadi, kesan terdalam bukan pada posisi pentingnya, tapi pada bait-bait lirih para makhluk yang kehilangan surga.
I sung of Chaos and eternal Night,
Taught by the heavenly Muse to venture down
The dark descent, and up to reascend,
Though hard and rare: thee I revisit safe,
And feel thy sovereign vital lamp; but thou
Revisit’st not these eyes, that roll in vain
To find thy piercing ray, and find no dawn.
–Paradise Lost, Book III
Sumber Gambar: Wikipedia Commons
Sumber Bacaan:
Abrahm, M.H. & Greenblatt, S. (eds). 2000. The Norton Anthology of English Literature. New York: Norton.
Jordan, M. (2000). Milton and Modernity: Politics, Masculinity and Paradise Lost. London: Palgrave Macmillan.
Leonard, J. 2000. Introduction. in Milton, J. Paradise Lost, New York: Penguin.
Parry, G. (2001). Literary Baroque and Literary Neoclassicism. dalam Corns, T. (2001) (ed.). A Companion to John Milton. Victoria: Blackwell Publishing Ltd.
Pullman, P. 2005. John Milton’s Paradise Lost. New York: Oxford University Press.
kontak via editor@antimateri.com