(Karena judul “H.C. Andersen dan Guntingan Kertas” terdengar membosankan)
Hans Christian Andersen memilih cara tidak biasa dalam merayakan kehidupan: yaitu melalui fantasi. Dan fantasi pulalah yang telah membawanya pada posisi terkemuka di lingkaran elit penulis Eropa. Koleksi dongengnya terhitung tidak kurang dari 3381–The Little Mermaid, The Little Match Girl, The Ugly Duckling, The Red Shoes, adalah empat yang paling mengemuka. Secara harfiah, karyanya hampir dapat ditemukan dimana-mana: dalam buku teks sekolah, buku cerita bergambar, hingga film-film garapan Holywood. Bahkan Wullschläger (2002) menyatakan bahwa dongeng-dongeng Andersen memenuhi fungsi sebagai collective consciousness–sebuah konsep Durkheimian tentang tatanan nilai, gagasan dan perilaku moral yang berlaku dalam masyarakat. Pengamat sastra, Jen Andersen (2002), memandang pengaruh karya Andersen sangat krusial dan menyebutnya sebagai proto-psikoanalisis–bahwa apa yang ditulis oleh Jung dan Freud tentang gejala psikologis pasien-pasiennya, telah dilakukan oleh Andersen melalui alusi putri duyung, Karen dalam The Red Shoes, juga dalam dongeng-dongeng lainnya. Bedanya, jika Jung dan Freud melakukan pembedahan jiwa di klinik tertutup, maka Andersen melakukannya di jalanan Kopenhagen. Pembacaan ini lantas membuat kita berpikir ulang tentang fantasi sang penulis: rasanya tidak bisa lagi memandang dongeng anak-anak Andersen sebagai sesuatu yang polos khas kanak-kanak. Pandangan ini diperparah (baca: didukung) oleh analisis Lapage (2006) tentang fungsi fantasi bagi Andersen. Menurutnya, fantasi dalam dongeng Anderson tidaklah ditujukan untuk membangun mimpi murni kanak-kanak, tapi sebagai katalis dalam menemu “lucid vision of the human condition”–dan siapapun tahu bahwa “kondisi manusia” tidak pernah sepenuhnya hadir dalam warna-warna lugu. Pada titik inilah fantasi mewujud dengan bentuk. Andersen, yang nampaknya memerlukan cara lain untuk menuangkan fantasinya, lalu mengambil gunting dan kertas, membentuknya menjadi potongan-potongan ajaib, dan hadirlah imaji-imaji sublim tentang “kondisi manusia”: hidup, namun gelap dan penuh realita ganjil. The Heartsnatcher (dalam gambar muka) adalah salah satu potongan kertas Andersen yang paling terkenal, sekilas saja kita tahu bahwa sang pembuat gambar tengah berada pada hari suram ketika membuatnya (pun pada potongan-potongan lain yang akan ditampilkan selanjutnya). Brust (1994) dalam bukunya tentang analisis kreasi gunting kertas Andersen, menyatakan bahwa anak-anak selalu mengerumuni Andersen ketika ia tengah membuat karya gunting kertasnya, persis seperti ketika ia mendongeng tentang The Snow Queen, The Naked King atau dongeng-dongeng lainnya. Membaca keterangan ini membuat bulu kuduk merinding, tidak ayal bahwa karya Andersen (baik dongeng, puisi, ataupun gambar gunting kertasnya) merupakan “pelajaran kehidupan pertama” bagi anak-anak. Mereka seakan dihadapkan pada papan peringatan sejak dini, yang berbunyi: Life is a shadow that flits away. In a night of darkness and woe (H.C Andersen, The Philosopher’s Stone).
H.C. Andersen dan Guntingan Kertas
Keterangan Gambar:
Papercuts by Hans Christian Andersen, seluruh gambar merupakan koleksi dari Museum Odense
Sumber Bacaan:
Andersen, Jen, 2002, Scissor Writing, Det Kongeline Bibliotek
Brust, Beth Wagner, 1994, The Amazing Paper Cuttings of Hans Christian Andersen. Boston: HMH Books for Young Readers
Lapage, Robert, 2006, Bedtime Stories, The Guardian
Wullschläger, Jackie, 2002, Hans Christian Andersen: The Life of a Storyteller, Chicago: University of Chicago Press
kontak via editor@antimateri.com