Matisse’s La Danse from Syrian Museum series
(Sumber Foto: Skaalaa Alternative Magazine)
Perang, adalah sebuah kata yang memikul beban berat kemanusiaan. Di dalamnya ada darah yang tumpah, air mata membuncah dan udara yang penuh sesak dengan amarah. Perang mengkonfrontir kemanusiaan secara nyata: mengangkatnya tinggi-tinggi – yang dalam masa damai dihargai dengan sangat murah – lalu menginjak-nginjaknya di depan beribu pasang mata. Mata yang memandang lewat satelit menikmatinya sebagai hiburan ala film Holywood dengan kengerian yang dibuat-buat, lalu berkomentar (atau mengutuk) ala kadar – namun bagi mata yang melihat matinya kemanusiaan secara nyata, mereka tidak dapat lagi berkata-kata.
Salah satu mata tersebut adalah milik Tammam Azzam – seorang seniman asal Suriah yang menyaksikan secara langsung kekejian perang sipil di negaranya. Ia dan rakyat Suriah lainnya telah mengatakan “Cukup!” ketika empat orang terbunuh di Deraa pada Maret 2011 – insiden ini kemudian diingat sebagai awal dari perang sipil di Suriah. Mereka terus lantang berteriak “Cukup!” ketika kota-kota luluh lantak dan korban sipil berjatuhan, tapi perang membungkamnya jadi suara latar di belakang deru tank dan gempuran mortir. Di Suriah, menurut Azzam, kata-kata jadi tak bersuara – baik karena dibungkam atau karena kehilangan daya gambarnya terhadap kekejian – oleh karena itu ia memilih berbicara dengan bahasa lain.
Azzam berasal dari Suada, sebuah kota kecil yang berdekataan dengan Deraa, sehingga kotanya adalah satu diantara kota yang pertama kali dilanda gelombang perang. Ia mendokumentasikan segalanya – reruntuhan gedung dan segala aspek emosional yang runtuh bersamanya – dengan tujuan membuat sebuah seni bermuatan politis sebagai bentuk kritik anti perang. Dari hasil kerjanya muncullah foto-foto yang menjadi bukti tercerabutnya rasa aman dari wajah setiap orang, lalu berganti dengan wajah kengerian. Namun foto-foto tersebut, menurutnya bukanlah bentuk kritik yang efektif, karena manusia (terutama di Suriah) tidak lagi terkejut dengan kengerian yang menghampiri hampir setiap saat, maka ia membentuk sebuah konsep yang menjadi penawar bagi peperangan – “Love is the drug for the best and most effective political art”. Dari pandangan inilah kemudian dunia dikagetkan dengan visi ideal “the Kiss” milik Gustav Klimt muncul dengan latar reruntuhan gedung.
Pandangan Azzam ternyata tepat, ia menjadi sorotan dunia dan sekaligus menyuguhkan kritik bagi siapa saja yang melihatnya. Dunia – dengan segala bentuk mekanisme dan propaganda anti-perang[basa-basi]nya –disindir Azzam melalui sebuah ciuman. Ciuman dari rakyat Suriah untuk siapa saja yang berdiri diam di garis perbatasan – kawan sekaligus lawan yang menjadikan Suriah sebagai lahan perjudian. “The Kiss” milik Klimt melalui olahan interpretasi politik Azzam menjadi salah satu bentuk kritik pasifisme paling efisien yang muncul dalam perang Suriah. Lukisan tersebut – yang digabungkan dengan objek latar melalui teknik fotografi – tidak hanya ditujukan untuk memunculkan gaung anti-perang masyarakat Suriah, tetapi juga sebagai monumen cinta kasih dan kemanusiaan, yang berjuang untuk terus hidup dalam gempuran peluru yang menggebu.
Azzam yang kehilangan kata-kata, berhasil menemu bentuk protes dengan “bahasa” yang lebih menusuk – ironi. Atas kritik-kritiknya tersebut, Azzam dicekal untuk masuk kembali ke Suriah oleh rejim yang tengah berkuasa namun tetap lantang bersuara untuk Suriah dari pengungsiannya di Dubai. Selain dari karya Gustav Klimt, Azzam juga menggunakan karya-karya seniman lain dalam seni interpretasi multi-medianya, antara lain lukisan-lukisan Van Gogh, Monalisa karya Leonardo Da Vinci, Goya, Picasso dan Matisse. Karya lainnya yang luas dikenal berjudul “Matisse’s La Danse from Syrian Museum series”, sebuah foto berlatar reruntuhan museum seni yang oleh Azzam diberi eksposisi tragis – para penari dari Lukisan Mattise (The Dance) menari diatasnya – sebuah ritual yang mengingatkan kita pada kalimat yang meluncur dari seorang penyair pemabuk era 1970-an, Jim Morrison, yang berkata bahwa “hanya seni, lagu dan puisi yang selamat dari peperangan” – namun dalam karya Azzam, kemanusiaanpun bertahan, walau dengan luka-luka di sekujur tubuhnya.
kontak via editor@antimateri.com