Sebuah keinginan tiba-tiba yang muncul untuk mendengar bunyi Saxophone, membuat saya menghentikan upaya pemecahan rekor yang saya buat(-buat) sendiri, – untuk mendengarkan kembali album-album Led Zeppelin secara non-stop hingga petikan [dan gesekan] gitar Jimmy Page berubah menjadi lukisan post-impresionism ala Van Gogh. Tentu saja tidak ada saxophone dalam komposisi Zeppelin, maka untuk memenuhi kebutuhan mendesak tadi, saya memutar album Stan Getz dan Joao Gilberto (Getz/Gilberto, 1964). Album ini layaknya sebuah percakapan bossanova mengasyikan, dua orang musisi yang ditulis dalam bentuk partitur lagu – yang satu berbicara dengan nada tenor Saxophone, sedang yang lain menjawabnya dengan petikan gitar sentimentil, dan muncullah sebuah album jazz paling dikenal sepanjang masa.
Salah satu lagu fenomenal di album ini berjudul Girl from Ipanema, yang sempat mengantarkan bossanova jazz menjadi begitu digandrungi di seluruh dunia. Lagu-lagu lainnya pun tidak kalah kuat, P’ra Machucar Meu Coração, adalah sebuah komposisi “dingin” yang membekukan, sedang Corcovado (dalam versi inggris diberi judul Quiet Nights of Quiet Stars) adalah patokan jazz yang entah berapa ratus kali telah digubah ulang. Album ini adalah album jazz terakhir di eranya yang mendapatkan grammy award, sampai pada tahun 2008, 43 tahun kemudian, Herbie Hancock kembali memberi warna jazz pada musik populer. Namun, walaupun album ini ditempatkan sebagai salah satu album jazz/bossanova terbaik, kehebatannya justru terletak pada interaksi sederhana antar musisinya. Tidak ada atraksi gitar rumit dan Saxophone yang meminta perhatian berlebihan. Sepertinya, ketika album ini dibuat, semua yang terlibat berada pada mood pas untuk sebuah percakapan ringan, yang anehnya memiliki bobot tidak sembarangan.
Ketika pertama kali mendengarkan album ini, campuran berbagai ramuan musik langsung terasa didalamnya. Getz adalah seorang Amerika yang membawa beban budayanya tersendiri, sedangkan Gilberto adalah pioneer Bossanova – yang secara harfiah diartikan “trend baru”, kegilaan musik yang melanda Brasil pada tahun 1960-an. Selain keduanya, ada musisi lain yang ikut serta dalam percakapan lintas rasa ini, yaitu Antonio Carlos Jobim yang memainkan piano secara elegan, serta pembuat lirik Gene Jess, yang berhasil memberikan sentuhan kesenduan anarkis dalam lirik-liriknya – sebuah kesenduan khas yang muncul ketika mendengarkan jazz. Bagi Getz sendiri, album ini bukan kali pertamanya dalam mengeksplorasi akar musik Brasil, sebelumnya ia merilis Jazz-Samba pada tahun 1962, namun pada album inilah, Getz mencapai posisi puncak dalam kepiawaiannya meramu jazz campur aduk (jazz fusion).
Di luar keberhasilan Getz berinteraksi dengan Saxophonenya – dan keberhasilannya “bercakap-cakap” dengan berbagai jenis musik – Getz memiliki pandangan yang mengejutkan ketika ia berbicara tentang Saxophone. Menurutnya, Saxophone adalah sebuah instrument yang tidak sempurna – tapi begitu juga manusia, sehingga Getz menganggap bahwa bunyi yang paling mirip nyanyian hanya bisa muncul dari Saxophone. Mungkin karena itulah mengapa Saxophone selalu lirih. Gambaran yang memenuhi ruangan ketika ia ditiup, adalah gambaran ketidaksempurnaan dunia, yang selalu kita bawa kemana-mana. Dan Getz adalah satu diantara musisi yang berhasil memainkan ketidaksempurnaan itu, dengan kepiawaian yang nyaris sempurna.
kontak via editor@antimateri.com
ternyata bisa juga melangkah dari bowie, hehe..