Danse Macabre Bagian 1
Danse Macabre Bagian 2
Tidak ada sastrawan lain yang lebih pantas untuk disandingkan dengan tema macabre[1] selain Edgar Allan Poe. Pada bagian ketiga tulisan ini, kisah tentang satir kematian Edgar Allan Poe berjudul “The Masque of the Red Death” menjadi penutup rangkaian ulasan tentang danse macabre yang sebelumnya telah mengurai seni lukis, pahatan, dan musik. Selain ulasan singkat tentang satir kematian karya Poe, tulisan ini juga akan membahas perbedaan antara macabre, grotesque, dan gothic–tiga tema sentral dalam estetika Edgar Allan Poe.
Sebelum beranjak lebih jauh, harus diingat bahwa Edgar Allan Poe adalah banyak hal. Mengkategorikannya hanya sebagai penulis kisah horror dan misteri akan menihilkan bobot pengaruhnya dalam dunia kesusastraan modern juga sebagai salah satu jangkar aliran romantik. Dalam rentang hidupnya yang tidak lebih dari 40 tahun, Poe menulis ratusan essay, puisi, cerita pendek, kritik sastra, kumpulan surat, hingga jurnal. Karyanya diterjemahkan kedalam berbagai bahasa, termasuk Bahasa Perancis yang (tidak tanggung-tanggung) diterjemahkan oleh pengusung utama gerakan dekaden, Charles Baudelaire. Puisi terkenal Poe, The Raven, disetarakan dengan soliloqui Hamlet dalam drama Shakespeare. Entah berapa karya seni yang terlahir dari interpretasi atas puisi iconic tersebut–termasuk rangkaian sketsa yang digarap oleh Edouard Manet, pionir impressionisme Perancis. Bahkan pengaruh Poe hadir dalam ranah yang tidak disangka-sangka: fisika. Melalui puisi-prosa berjudul “Eureka: An Essay on the Material and Spiritual Universe”, Poe digadang-gadang sebagai sastrawan pertama yang berhasil menciptakan imaji tentang Big Bang, Lubang Hitam juga imaji tentang Partikel Tuhan.
Daftar pengaruh Poe dalam seni akan semakin panjang jika memasukkan media lain seperti film dan musik. Namun, untuk alasan praktikal (baca: kemalasan penulis), tulisan ini akan membatasi diri pada pembahasan tentang cerita pendek dan pengaruh estetika Poe dalam pendefinisian tema macabre, grotesque, dan gothic pada karya sastra. Cerita pendek Poe (khususnya kumpulan cerita pendek berjudul Tales of the Grotesque and Arabesque) memberikan gambaran akan ketiganya: Macabre, yaitu potret kematian yang dapat terjadi kapan saja, dimana saja dan pada siapa saja; Grotesque[2], yaitu eksposisi dunia setengah manusia setengah binatang yang tidak wajar, aneh serta immoral; juga Gothic[3], istilah yang pada awalnya digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang “tidak tersentuh seni klasik” namun kemudian mengalami evolusi makna menjadi penggambaran emosi kelam yang bersentuhan dengan unsur supranatural. Dengan kata lain, keberhasilan Poe dalam menciptakan dunia ganjil penuh misteri didasarkan pada kepiawaiannya dalam menarik garis persinggungan antara tiga pilar estetika tersebut–Macabre, seni yang bermain-main dengan tema kematian, Grotesque mengacu pada absurditas dunia, juga Gothic yang menceritakan tentang kehidupan, dengan segala “kesengsaraan” didalamnya.
Untuk lebih memperjelas perbedaan gagasan estetika macabre, grotesque, dan gothic, karya sastrawan lain dapat dijadikan pembanding. Sejarah sastra mencatat beberapa nama besar yang bersinggungan dengan tema gothik seperti: novel gothik “The Castle of Otranto” karya Horace Walpole, “The Mysteries of Udolpho” karya Ann Radcliffe, atau horror seperti “Dr. Jekyll and Mr. Hyde” karya Robert Louis Stevenson, juga “Dracula” karya Bram Stroker. Sedangkan tema Grotesque kerap disandingkan dengan “Hunchback of Notre Dame” karya Victor Hugo, puisi-puisi Alexander Pope, atau “Frankenstein” karya Mary Shelley. Adapun tema Macabre dapat dengan mudah dikenali dalam cerita pendek Poe berjudul “The Masque of the Red Death”. Cerita pendek ini berkisah tentang Pangeran Prospero yang mencoba mengelabui wabah kematian yang menjangkiti kerajaannya. Dengan mengumpulkan seribu orang bangsawan favoritnya, sang Pangeran lantas mengurung diri pada sebuah kastil mewah dan berpesta foya tiada henti (menurutnya, kematian tidak akan mampu menembus kemeriahan sebuah pesta). Namun ternyata ia salah, karena kemudian sosok misterius bertopeng merah hadir ditengah-tengah pesta. Sang Pangeran segera memerintahkan pengusiran yang sia-sia dan pada akhirnya memutuskan mengambil senjata untuk membunuh sang penyusup tersebut. Ia mengejarnya sekuat tenaga, namun ketika mencoba membuka topeng sang penyusup, disanalah ia berhadapan dengan kematian–karena ternyata wajah yang bersembunyi dibalik topeng adalah kematian yang datang menjemput.
Poe mempublikasikan The Masque of the Red Death pada tahun 1844, empat tahun setelah Tales of the Grotesque and Arabesque diterbitkan. Namun seperti karya-karya lainnya, cerita pendek inipun minim apresiasi dan penerbit menolak permintaan cetak ulang Poe. Baru setahun kemudian (1845) Poe mencicipi sedikit ketenaran melalui selebrasi puisi The Raven. Tapi itupun tidak lama, karena empat tahun setelahnya, Poe bertemu secara langsung dengan “sang topeng kematian”. Hingga kini, kematiannya masih misterius, seolah-olah sang penulis mencoba menuliskan satir di penghujung hayatnya. Penyebab kematian Poe tercatat dalam beragam cara: mulai dari kelainan otak, kolera, penyakit hati, rabies, tuberculosis, hingga bunuh diri. Tidak ada yang tahu pasti; satu-satunya yang pasti adalah kematian itu sendiri. Sebagaimana kalimat penutup Poe dalam The Masque of the Red Death: “And now was acknowledged the presence of the Red Death. He had come like a thief in the night”.
Sketsa Satir Kematian Edgar Allan Poe: The Masque of the Red Death
Sumber Bacaan:
Allen, H. (1938). The Complete Tales and Poems of Edgar Allan Poe. New York: The Modern Library.
Gale, R. L. (1970). Plots and Characters in the Fiction and Poetry of Edgar Allan Poe. Connecticut: Archon Books.
Hennessy, B. (1978). The Gothic Novel. London: Longman Group Ltd.
Sumber Gambar: Wikigallery
Keterangan:
[1] berasal dari Bahasa Arab, Maqabir, yang berarti pemakaman
[2] berasal dari bahasa Italia, Grotte, yang berarti gua
[3] diambil dari kata Goth, nama suku barbar pada abad pertengahan Eropa
kontak via editor@antimateri.com